Jul 22, 2023 18:28 Asia/Jakarta
  • Gedung Putih.
    Gedung Putih.

Ada sejumlah berita penting mengenai peristiwa yang terjadi selama sepekan terakhir di Amerika Serikat (AS), termasuk pemboikota pidato Presiden Israel Isaac Herzog oleh anggota DPR AS.

Sampai saat ini empat anggota DPR Amerika menyatakan akan memboikot pidato presiden Israel selama kunjungannya ke Amerika Serikat.

Presiden Israel Isaac Herzog dijadwalkan akan menyampaikan pidato di DPR dan Senat AS Rabu depan serta bertemu dengan Presiden AS Joe Biden di Gedung Putih.

Menurut laporan IRIB, Alexandria Ocasio-Cortez, Cori Bush, Jamaal Bowman dan Ilhan Omar, empat anggota DPR Amerika yang akan memboikot pidato presiden Israel Rab udepan di Kongres sebagai protes atas kejahatan rezim Zionis terhadap hak bangsa Palestina.

Cori Bush menjelaskan bahwa kabinet Israel bertanggung jawab atas penerapan apharteid dan rasisme, serta pelanggaran terhadap hak bangsa Palestina.

Bush seraya menyatakan dirinya akan absen saat pidato Herzog menambahkan bahwa DPR tidak oleh menjadi tribun bagi presiden sebuah rezim yang tidak pernah menghormati hak asasi manusia.

Sementara itu, Ilhan Omar seraya menjelaskan bahwa dirinya tidak menemukan alasan untuk hadir di Kongres untuk mendegarkan pidato presiden rezim yang ia boikot.

Omar lebih lanjut menjelaskan, Herzog dijadwalkan akan menyampaikan pidato mewakili kabinet paling radikal dan ekstrim dalam sejarah Israel, apalagi rezim ini memutuskan untuk menghapus impian dan cita-cita bangsa Palestina dalam membentuk negara indepeden.

Kunjungan presiden Zionis ke Amerika digelar ketika Biden menyebut kabinet Israel saat ini sebagai pemerintahan paling radikal, dan menolak mengundang Benjamin Netanyahu untuk berkunjung ke Washington karena kebijakannya.

Mengapa Warga AS Semakin Pesimis Soal Kondisi Demokrasi di Amerika?

Hasil survei terbaru menunjukkan bahwa mayoritas orang dewasa di Amerika Serikat percaya bahwa undang-undang dan kebijakan negara ini memiliki kinerja yang buruk dalam memberikan kepentingan publik warga negara dalam berbagai masalah, mulai dari ekonomi hingga pengeluaran pemerintah bagi kebijakan imigrasi dan kontrol senjata.

Menurut jajak pendapat ini, yang dilakukan bersama oleh Associated Press dan Pusat Penelitian Publik NORK, hanya sekitar satu dari 10 orang Amerika yang memberikan penilaian tinggi terhadap cara kerja demokrasi di negara ini atau untuk memberikan kepentingan terbaik bagi warga negara.

Secara keseluruhan, sekitar separuh orang Amerika (49 persen) mengatakan bahwa demokrasi tidak berjalan dengan baik di negara mereka, dan hanya 10 persen yang tidak setuju dan percaya bahwa demokrasi berjalan "sangat" atau "sangat baik" di Amerika. Dan 40% berpendapat bahwa demokrasi "agak" baik di negara mereka.

Hampir setengah dari peserta survei ini menilai kinerja dua partai utama Amerika di bidang demokrasi itu buruk, sehingga 47% menyatakan bahwa Demokrat tidak berkinerja baik dalam menjaga nilai-nilai demokrasi, bahkan lebih tinggi lagi. persentase - yaitu, 56% - orang Amerika berbagi pendapat yang sama tentang Partai Republik.

Secara umum, temuan survei ini menunjukkan ketidaksukaan masyarakat Amerika yang meluas terhadap politik di negara dua kutub yang sedang mengalami masalah seperti wabah virus Corona, inflasi, dan resesi ekonomi.

Tampaknya suasana dua kutub politik yang ekstrem di Amerika Serikat dalam bentuk konfrontasi antara Demokrat dan Republik, yang kristalisasinya dapat dilihat sebagai serangan verbal dan kontra-pernyataan Joe Biden dan Donald Trump terhadap satu sama lain dan pertukaran tudingan besar terhadap pihak lain, menimbulkan kecurigaan yang semakin meningkat di negara yang telah mengklaim kepemimpinan demokrasi liberal di dunia terkait keadaan demokrasi di negara ini.

Dengan cara ini, dalam bayang-bayang peristiwa beberapa tahun terakhir, masyarakat Amerika menjadi lebih meradang dan telah terbentuk dua kutub yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal yang menarik adalah bahwa baik Biden maupun Trump mengklaim mendukung demokrasi Amerika dan menempatkan pihak lain yang membahayakan demokrasi

Terlepas dari retorika tersebut, realita demokrasi di Amerika Serikat telah sangat lemah, dalam bayang-bayang perkembangan tiga tahun terakhir, terutama setelah pemilihan umum presiden November 2020 dan peristiwa setelahnya, yakni pengumuman hasil resmi pemilu ini dengan kemenangan Biden. Kemudian dibarengi dengan penolakan oleh Trump yang dilanjutkan dengan memprovokasi para pendukungnya untuk melakukan protes massal.

Akumulasi peristiwa ini akhirnya berujung pada insiden 6 Januari 2021, yaitu penyerbuan pendukung Trump ke Kongres AS. Dengan demikian, pada kenyataannya hanya nama demokrasi yang tersisa di negara kapitalis terbesar di dunia itu.

Selain itu, kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya perang saudara di Amerika semakin hari semakin meningkat. Survei warga Amerika pada September 2022 menunjukkan bahwa 43 persen dari mereka berpikir kemungkinan akan ada perang saudara di negara itu dalam dekade berikutnya.

Hasil survei terbaru menunjukkan bahwa mayoritas orang dewasa di Amerika Serikat percaya bahwa undang-undang dan kebijakan negara ini memiliki kinerja yang buruk dalam memberikan kepentingan publik warga negara dalam berbagai masalah, mulai dari ekonomi hingga pengeluaran pemerintah bagi kebijakan imigrasi dan kontrol senjata.

Pesimisme orang Amerika tentang berfungsinya demokrasi di negara ini bahkan lebih negatif pada beberapa isu tertentu.

Sekitar dua pertiga orang dewasa Amerika mengatakan bahwa kebijakan imigrasi, anggaran pemerintah, kontrol senjata, dan kebijakan aborsi tidak mencerminkan pandangan publik. Dan jumlah yang hampir sama memiliki pendapat seperti itu tentang keadaan ekonomi. Lebih dari separuh orang Amerika juga mengatakan bahwa kebijakan Amerika Serikat tidak mencerminkan sikap masyarakat Amerika di bidang kesehatan dan lingkungan.

Yang penting, Trump, sebagai faktor terpenting dalam mengganggu tatanan politik Amerika, tidak hanya menjadi kandidat pemilu presiden Amerika lagi, tetapi dalam berbagai kesempatan, ia telah mempertanyakan kebijakan dan tindakan internal dan eksternal dari pemerintah Biden, dari masalah imigran ilegal hingga perang di Ukraina.

Pada saat yang sama, dia mengklaim bahwa Biden, sebagai seorang Demokrat, telah membahayakan Amerika dengan mengajukan rencana kepada Kongres yang menurut dia dan beberapa Republikan terinspirasi oleh ide-ide sayap kiri.

Di sisi lain, Biden menegaskan bahwa Trump dan para pendukungnya dalam bentuk gerakan "Make America Great Again" merupakan bahaya besar bagi demokrasi di Amerika Serikat dan ingin membuat Amerika Serikat kembali ke belakang.

Apa pun kebenarannya, dapat dipastikan bahwa demokrasi Amerika telah menghadapi krisis identitas yang belum pernah terjadi sebelumnya dan masing-masing dari dua faksi, Demokrat dan Republik, menganggap diri mereka sebagai pendukungnya dan menggambarkan pihak lain sebagai ancaman bagi demokrasi.

Kesenjangan ini telah ada di tingkat negara bagian Amerika dengan cara yang sama dan telah menyebabkan kebijakan dan pendekatan yang bertentangan dari negara bagian yang dikuasai Republik dan Demokrat dalam berbagai masalah, termasuk aborsi.

Bagaimanapun, jika hingga saat ini AS mengklaim sebagai pemimpin sistem demokrasi liberal di dunia, perkembangan beberapa tahun terakhir menunjukkan betapa demokrasi di negeri ini bermasalah dan terancam.

Masalah ini telah berkembang sedemikian rupa sehingga Kamala Harris, Wakil Presiden Amerika Serikat, juga mengumumkan bahaya dalam hal ini.

Dalam sebuah wawancara pada akhir Desember 2021, menanggapi pertanyaan tentang apa ancaman keamanan nasional terbesar bagi Amerika, Harris mengatakan, Lemahnya demokrasi di Amerika merupakan ancaman keamanan bagi negara ini.

fox

Fox News: Sanksi AS terhadap Iran dan Rusia Gagal

Televisi Fox News dalam laporannya mengakui bahwa Washington gagal dalam menerapkan sanksi terhadap Tehran dan Moskow.

Seperti dilaporkan IRNA, televisi Amerika ini menunjukkan bagaimana Iran melewati sanksi AS dan menulis, "Moskow telah belajar dari Tehran dengan cara ini."

Dalam laporan ini dikutip ucapan Mantan dubes AS di Polandia, Daniel Fried yang menyinggung bahwa Rusia tengah menciptakan jaringan aliansi alternatif di dunia, mengatakan, "Selain Beijing, Tehran pastinya membantu Moskow, dan ini adalah aliansi kemudahan."

Behnam Ben Taleblu, anggota Yayasan Pembela Demokrasi (FDD) dalam laporan ini mengakui, Rusia mengambil taktik yang dikuasai Iran, sementara juga terus memperdalam hubungan keamanan, ekonomi, dan politik dengan Tehran. Iran memiliki kelas penghilang sanksi tingkat lanjut yang saat ini membantu melatih Rusia.

Menurut saluran berita Amerika ini, sejak pengenaan kembali sanksi AS, Iran telah melewati sanksi ini dengan mentransfer minyak dan produksi minyak negara itu telah mencatat rekor tertinggi baru meskipun ada tekanan ganda.

Dalam laporan Fox News juga menyinggung pengakuan Mike Lawler, anggota DPR Amerika dari Partai Republik yang mengatakan, Iran mempermalukan sanksi Amerika dan juga sekutu Washington.

Fox News juga menulis bahwa Iran dan Rusia baru-baru ini menghubungkan sistem perbankan mereka untuk menghadapi sanksi AS.

Tags