Nov 14, 2023 10:47 Asia/Jakarta

Terlepas dari kenyataan bahwa 38 hari telah berlalu sejak operasi Badai Al-Aqsa dan reaksi rezim Zionis terhadap operasi ini dengan pemboman yang belum pernah terjadi sebelumnya di Jalur Gaza dan pembunuhan ribuan warga Palestina serta kehancuran besar-besaran di wilayah ini, beberapa negara Barat yang bersekutu dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, masih menentang gencatan senjata dalam perang berdarah ini.

Kanselir Jerman Olaf Scholz adalah salah satu penentang keras gencatan senjata segera di Jalur Gaza.

Kanselir Jerman mengatakan pada hari Minggu (12/11/2023) bahwa dia tidak menganggap seruan untuk segera melakukan gencatan senjata di Jalur Gaza adalah hal yang benar. Karena hal ini akan memberikan kesempatan kepada gerakan Hamas untuk mendapatkan kembali kekuatan.

Pada saat yang sama, ia mendukung pemberhentian perang jangka pendek kemanusiaan untuk mengangkut korban luka dan mengirimkan bantuan kepada penduduk Jalur Gaza.

Kanselir Jerman Olaf Scholz

Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak, ketika menentang gencatan senjata dalam perang Gaza, memecat seorang pejabat pemerintah karena menyerukan gencatan senjata "permanen" di Gaza.

London menolak menyerukan diakhirinya perang di Gaza, dan hanya menawarkan “jeda” terbatas untuk memungkinkan bantuan mencapai wilayah yang terkepung.

Pada tanggal 30 Oktober, Paul Bristow, seorang perwakilan konservatif Inggris diberhentikan dari jabatannya sebagai penasihat swasta parlemen di Kementerian Ilmu Pengetahuan Inggris.

Perkembangan tersebut terjadi beberapa hari setelah ia menulis surat kepada Rishi Sunak dan meminta gencatan senjata jangka panjang antara rezim Zionis dan kelompok perlawanan Palestina.

Dalam suratnya yang setebal dua halaman kepada Perdana Menteri Inggris yang berasal dari Partai Konservatif, Paul Bristow berargumentasi bahwa “gencatan senjata permanen akan menyelamatkan nyawa dan menjaga bantuan kemanusiaan tetap menjangkau mereka yang paling membutuhkan”.

Namun, Sunak secara eksplisit membela aksi militer Israel terhadap Hamas setelah operasi kelompok tersebut pada tanggal 7 Oktober, dan tidak menyerukan gencatan senjata sepenuhnya, tetapi hanya untuk "jeda jangka pendek", yang berbeda dengan gencatan senjata.

Amerika Serikat, sebagai pendukung paling penting rezim Zionis, sangat menentang gencatan senjata apa pun dalam perang Gaza hingga beberapa hari yang lalu.

Terlepas dari kenyataan bahwa 38 hari telah berlalu sejak operasi Badai Al-Aqsa dan reaksi rezim Zionis terhadap operasi ini dengan pemboman yang belum pernah terjadi sebelumnya di Jalur Gaza dan pembunuhan ribuan warga Palestina serta kehancuran besar-besaran di wilayah ini, beberapa negara Barat yang bersekutu dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, masih menentang gencatan senjata dalam perang berdarah ini.

Berdasarkan apa yang disebut sebagai hak Israel untuk mempertahankan diri, mereka memberi lampu hijau kepada Tel Aviv melakukan tindakan kriminal, seperti menyasar rumah sakit dan tempat berkumpulnya para pengungsi Gaza yang mengungsi di tempat-tempat milik PBB.

Sekalipun demikian, Joe Biden baru-baru ini menyerukan gencatan senjata selama tiga hari di Gaza demi membebaskan para tawanan, yang tentu saja mendapat tentangan keras dari Netanyahu.

Namun, pada Jumat, 10 November, Biden mengklaim bahwa rezim Zionis menyetujui "gencatan senjata kemanusiaan" di Gaza setelah mendapat tekanan dari Washington.

Klaim ini dibuat ketika Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri rezim Zionis telah menekankan bahwa "tanpa pembebasan tawanan Israel, gencatan senjata tidak akan terjadi di Gaza".

Meskipun Biden melakukan perjalanan ke Palestina Pendudukan pada awal perang Gaza dan di bawah serangan roket di Tel Aviv oleh Hamas untuk bertemu dan menyatakan dukungan kepada Netanyahu serta menyatakan komitmen Washington untuk melindungi Israel, tapi Perdana Menteri Zionis malah tidak bersedia menerima permintaan yang bahkan tidak begitu mendasar dari Presiden Amerika Serikat, yaitu bersedia melakukan gencatan senjata kemanusiaan dengan tujuan membebaskan tawanan.

Patut dicatat bahwa Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang baru-baru ini ingin menghentikan serangan di Gaza, telah mundur dari sikapnya menyusul reaksi rezim Zionis.

Dalam sebuah wawancara, dia mengatakan bahwa Israel harus berhenti membunuh anak-anak dan perempuan di Gaza karena "tidak ada pembenaran" atas pemboman tersebut dan gencatan senjata akan menguntungkan Israel.

Namun pada hari Minggu, Macron berubah 180 derajat dalam percakapan telepon dengan Presiden Zionis, Isaac Herzog.

Presiden Prancis Emmanuel Macron

Macron mengklaim bahwa dia tidak menganggap Tel Aviv bertanggung jawab atas penganiayaan terhadap warga sipil Palestina yang tidak bersalah dalam serangan Israel terhadap Hamas.

Hal ini menunjukkan bahwa lobi-lobi Zionis berpengaruh dalam kancah politik negara-negara Eropa, termasuk Prancis, dan mau tidak mau menempatkan para pemimpin negara-negara tersebut pada jalur yang berpihak pada posisi yang sama dengan sikap rezim Zionis.

Tags