Bendungan Renaissance: Ancaman bagi Perdamaian atau Peluang bagi Pembangunan?
https://parstoday.ir/id/news/world-i176788-bendungan_renaissance_ancaman_bagi_perdamaian_atau_peluang_bagi_pembangunan
Bendungan Renaissance, proyek pembangkit listrik tenaga air terbesar di Afrika, diresmikan oleh pemerintah Ethiopia pada hari Selasa.
(last modified 2025-09-10T13:04:31+00:00 )
Sep 10, 2025 19:58 Asia/Jakarta
  • Bendungan Renaissance
    Bendungan Renaissance

Bendungan Renaissance, proyek pembangkit listrik tenaga air terbesar di Afrika, diresmikan oleh pemerintah Ethiopia pada hari Selasa.

Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed, meresmikan Bendungan Renaissance setelah 14 tahun pembangunan, yang telah menjadi sumber kontroversi selama bertahun-tahun di antara negara-negara di kawasan ini. Bersamaan dengan peresmian bendungan ini, Mesir mengirimkan surat kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menyebut tindakan Ethiopia sebagai pelanggaran hukum internasional yang jelas dan menyatakan bahwa Bendungan Renaissance tidak akan memiliki implikasi hukum maupun politik bagi negara tersebut maupun Sudan.

Bendungan Renaissance, yang dikenal sebagai "Bendungan Renaissance Besar Ethiopia", dirancang untuk menyediakan energi bagi Ethiopia dan negara-negara tetangga. Para pejabat Ethiopia, yang membela proyeknya, yakin bahwa bendungan itu tidak hanya akan menyediakan listrik bagi jutaan orang di negaranya, tetapi juga akan memungkinkan Ethiopia mengekspor kelebihan listrik ke negara-negara tetangga.

Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed, secara konsisten memuji bendungan ini sebagai peluang bersama untuk pembangunan dan menegaskan bahwa bendungan ini tidak menimbulkan ancaman bagi negara-negara di hilir.

Namun, terlepas dari semua pernyataan pejabat Ethiopia, Mesir sangat prihatin dengan pembukaan bendungan tersebut. Mesir, yang mendapatkan seluruh air tawarnya dari Sungai Nil, telah lama menentang proyek tersebut. Kini, Kementerian Luar Negeri Mesir telah menekankan bahwa proyek tersebut melanggar perjanjian historis yang telah ditandatangani tentang pembagian air Sungai Nil. Mesir memandang tindakan Ethiopia sebagai pelanggaran hukum internasional dan hak-hak negara-negara hilir, dan telah menekankan bahwa segala konsekuensi dari proyek tersebut akan ditanggung oleh Ethiopia.

Dari perspektif Kairo, pengurangan aliran Sungai Nil dapat berdampak buruk bagi pertanian, pasokan air minum, dan stabilitas sosial. Mesir telah berulang kali menekankan bahwa Sungai Nil bukan hanya sumber daya alam, tetapi juga bagian dari identitas historis dan peradabannya. Para pejabat Mesir, termasuk Presiden Abdel Fattah al-Sisi, telah memperingatkan bahwa ketahanan air Mesir merupakan "garis merah" dan jika terancam, mereka akan mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan hukum internasional.

Dalam beberapa tahun terakhir, Mesir juga telah berupaya mencapai kesepakatan yang mengikat tentang cara mengisi dan mengoperasikan bendungan melalui diplomasi multilateral, termasuk mediasi oleh Amerika Serikat, Uni Afrika, Rusia, dan UEA, tetapi upaya-upaya ini sejauh ini belum berhasil.

Mesir, yang populasinya tumbuh pesat hingga lebih dari 100 juta jiwa, bergantung pada Sungai Nil untuk lebih dari 90 persen kebutuhan airnya. “Sekitar 93 persen wilayah Mesir berupa gurun dan hampir tidak ada yang tinggal di sana. Kita semua, 107 juta orang, tinggal di sepanjang Sungai Nil. Peradaban Mesir dibangun di Sungai Nil. Sungai Nil adalah kehidupan kita,” kata Abbas Sharaki, seorang profesor di Universitas Kairo di Mesir.

Profesor universitas ini memperingatkan bahwa bendungan tersebut akan menyimpan 64 miliar meter kubik air yang biasanya mengalir ke Mesir. Ini merupakan kerugian besar bagi Mesir.

Sudan juga memiliki tempat khusus dalam persamaan ini. Di satu sisi, negara ini prihatin dengan dampak lingkungan dan potensi risiko dari salah urus bendungan, terutama dalam hal banjir dan keamanan bendungan di hilir. Di sisi lain, Sudan dapat diuntungkan oleh listrik murah dan kendali yang lebih baik atas sumber daya air, terutama di wilayah perbatasan dengan Etiopia.

Oleh karena itu, posisi Sudan telah berfluktuasi dalam beberapa tahun terakhir, terkadang mendekati Mesir dan terkadang mendukung posisi Etiopia, tetapi kini telah menyatakan penentangannya.

Etiopia telah meningkatkan ketegangan di kawasan dengan meresmikan Bendungan Renaisans Besar Etiopia pada hari Selasa, sementara kesepakatan yang komprehensif dan mengikat belum tercapai antara Etiopia, Mesir, dan Sudan.

Dalam hal ini, tampaknya hanya melalui diplomasi yang efektif dan kerja sama regional solusi untuk krisis yang kompleks ini dapat ditemukan. Setiap intervensi asing dan kurangnya koordinasi di antara negara-negara yang berkepentingan, terutama dalam pengelolaan sumber daya air bersama, tidak hanya mengancam stabilitas regional, tetapi juga akan mempersulit tercapainya kesepakatan berkelanjutan yang dapat diterima oleh negara-negara yang berkepentingan.(sl)