Mengapa Inggris Dilanda Krisis Pembunuhan terhadap Perempuan?
Gerakan "Counting Dead Women" di Inggris melaporkan bahwa sejak awal tahun 2025 hingga 4 September, sebanyak 51 perempuan dan gadis Inggris berusia di atas 13 tahun telah tercatat menjadi korban pembunuhan oleh satu atau lebih pria.
Tehran, Parstoday- Laporan pembunuhan dan kematian terkait kekerasan dalam rumah tangga di Inggris diterbitkan dengan keterlambatan, sehingga banyak data untuk tahun 2025 belum sepenuhnya tersedia. Namun, berdasarkan sumber-sumber dan laporan resmi, fenomena femisida —pembunuhan terhadap perempuan oleh pria— dalam beberapa tahun terakhir di negara ini dapat dianalisis secara lebih jelas.
Menurut laporan Gerakan Counting Dead Women untuk periode Januari hingga awal September 2025, jumlah korban mencapai 51 orang. Sementara itu, berdasarkan data dari Office for National Statistics (ONS) untuk tahun yang berakhir pada Maret 2024, terdapat 108 kasus pembunuhan domestik di Inggris dan Wales; dari jumlah tersebut, 83 korban adalah perempuan dan 25 laki-laki.
Pada Maret 2025, Laporan Tahunan keempat “Domestic Homicide Project” dirilis. Laporan ini mencakup kematian yang terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga dari 1 April 2020 hingga 30 Maret 2024, dengan hasil 262 kematian yang dikaitkan dengan kekerasan domestik. Dari jumlah itu, 98 kasus merupakan dugaan bunuh diri korban kekerasan (suspected victim suicides), 80 kasus pembunuhan oleh pasangan atau mantan pasangan, dan 39 kasus pembunuhan oleh anggota keluarga dewasa lainnya.
Pada September 2025, organisasi Femicide Census menerbitkan data final untuk tahun 2022, yang menunjukkan bahwa 122 perempuan di Inggris dibunuh oleh laki-laki, di mana 62 di antaranya dibunuh oleh pasangan atau mantan pasangan mereka. Organisasi Women’s Aid mengonfirmasi temuan ini dan menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan masih terjadi secara sistematis di Inggris, dengan hambatan besar dalam upaya pencegahan dan perlindungan bagi para korban.
Salah satu temuan penting dalam laporan ini menunjukkan bahwa keputusan perempuan untuk mengakhiri hubungan atau berusaha keluar darinya merupakan faktor risiko utama dalam kasus pembunuhan oleh pasangan. Dalam banyak kasus, korban sedang mencoba untuk meninggalkan hubungan sebelum dibunuh.
Dalam laporan berjudul “Prevalence of Non-Fatal Strangulation in the UK: April 2025”, diulas fenomena pencekikan non-fatal —yaitu serangan yang tidak menyebabkan kematian tetapi menimbulkan risiko tinggi bagi korban. Laporan ini menunjukkan bahwa banyak perempuan Inggris yang menjadi korban kekerasan domestik mengalami pencekikan non-fatal sebelum akhirnya dibunuh. Karena itu, sejak tahun 2021, Inggris menetapkan pencekikan non-fatal sebagai tindak pidana terpisah yang dapat dihukum hingga lima tahun penjara.
Baru-baru ini, Parliamentary Research Office Inggris menerbitkan laporan berjudul “Violence Against Women and Girls in 2025” yang meninjau kondisi terkini, komitmen pemerintah, serta tantangan kebijakan dalam isu ini. Laporan tersebut mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan mencakup hampir 20 persen dari seluruh tindak kriminal yang tercatat di Inggris dan Wales.
Pemerintah Inggris baru-baru ini berkomitmen untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan hingga separuh dalam sepuluh tahun ke depan. Namun, National Audit Office pada awal tahun ini menyatakan keraguannya terhadap efektivitas strategi-strategi pemerintah sebelumnya dalam menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan meningkatkan keamanan psikologis dan sosial mereka di lingkungan keluarga maupun masyarakat.(PH)