Mengapa Trump Gagal Mengakhiri Perang Ukraina?
https://parstoday.ir/id/news/world-i180234-mengapa_trump_gagal_mengakhiri_perang_ukraina
Majalah The Atlantic dalam sebuah laporan analitis menulis bahwa Donald Trump telah kecewa dalam upayanya mengakhiri perang antara Rusia dan Ukraina.
(last modified 2025-11-13T05:24:13+00:00 )
Nov 13, 2025 12:14 Asia/Jakarta
  • Mengapa Trump Gagal Mengakhiri Perang Ukraina?

Majalah The Atlantic dalam sebuah laporan analitis menulis bahwa Donald Trump telah kecewa dalam upayanya mengakhiri perang antara Rusia dan Ukraina.

Tehran, Parstoday- The Atlantic melaporkan Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, membayangkan bahwa ia dapat mewujudkan perdamaian antara Moskow dan Kyiv melalui sebuah kesepakatan sederhana, namun kini ia telah memahami bahwa memaksa Rusia mundur atau berdamai jauh lebih sulit daripada yang dibayangkannya.

Trump, menurut persepsinya sendiri, ingin mengakhiri perang dengan mengakui pencapaian teritorial Rusia dan memberikan beberapa keuntungan ekonomi kepada negara tersebut, namun Vladimir Putin, Presiden Rusia, tidak bersedia menerima kompromi semacam itu.

Presiden Amerika Serikat, dalam upaya mengubah arah, telah mengatakan kepada Putin bahwa ia mungkin akan memberikan rudal jarak jauh Tomahawk kepada Ukraina, dan sebagai imbalannya meminta Volodymyr Zelensky, Presiden Ukraina, untuk menyerahkan sebagian wilayah timur. Namun tidak satu pun dari tindakan ini menghasilkan hasil apa pun. Trump membatalkan pertemuan dengan Putin dan mengatakan ia tidak ingin membuang waktunya. Ia menegaskan bahwa dirinya selalu memiliki hubungan baik dengan Putin, tetapi kali ini kenyataannya mengecewakan.

Analisis The Atlantic menunjukkan bahwa satu-satunya perubahan nyata dalam suasana negosiasi berasal dari pihak Ukraina. Kyiv, yang sebelumnya mensyaratkan jaminan keamanan penuh dari Amerika Serikat sebagai syarat mengakhiri perang, kini menerima bahwa gencatan senjata tanpa prasyarat dapat menjadi langkah awal. Perubahan taktis ini membuat Rusia tampak sebagai penghalang utama perdamaian, namun Trump tetap belum mampu memberikan tekanan nyata terhadap Moskow.

Para analis dari lembaga Brookings Institution mengatakan bahwa Trump masih terjebak dalam anggapan bahwa ia dapat menyelesaikan perang struktural dengan logika transaksi dagang, padahal perang Ukraina berkaitan dengan kekuasaan, identitas, dan masa depan tatanan Eropa, bukan sekadar wilayah. Dewan Hubungan Luar Negeri Amerika Serikat juga dalam sebuah catatan menulis bahwa perjanjian damai apa pun tanpa keterlibatan aktif Eropa tidak akan memiliki keberlanjutan, karena benua tersebut memikul beban utama rekonstruksi dan keamanan kawasan.

Menurut para pakar Atlantic Council, jika Amerika Serikat mengarahkan proses menuju kompromi sepihak dengan Rusia, kredibilitas NATO akan melemah dan posisi Barat di Eropa Timur akan terancam. Saat ini Eropa melihat dirinya berada pada posisi yang harus menjadi pelaku utama, bukan sekadar penonton, dalam menentukan masa depan perdamaian.

Laporan-laporan dari lembaga Carnegie juga menunjukkan bahwa Moskow untuk saat ini tidak berminat menghentikan perang dan menginginkan jaminan jangka panjang untuk membatasi pengaruh NATO. Di sisi lain, Zelensky berada di bawah tekanan politik dan militer dalam negeri dan berbicara mengenai gencatan senjata sementara pasukannya mundur di front timur.

Seorang analis Financial Times menulis bahwa meskipun Trump mungkin tidak mencapai hasil segera dalam beberapa bulan mendatang, ia dapat menciptakan ruang dialog dan menjadikan inisiatif perdamaian ini sebagai modal diplomatik untuk kelanjutan masa kepresidenannya. Tujuan utamanya bukanlah kemenangan Ukraina, tetapi mengembalikan diplomasi Amerika ke panggung yang menurutnya telah merosot pada era Biden. Beberapa penasihat dekat Trump mengusulkan diadakannya pertemuan internasional untuk perdamaian dengan partisipasi Eropa, Cina, dan negara-negara Asia Barat, agar penghentian perang segera dapat diterima berdasarkan garis medan saat ini.

Para pengkritik di Washington memperingatkan bahwa kesepakatan semacam itu berarti mengukuhkan kemenangan relatif Rusia dan mungkin hanya menghasilkan gencatan senjata sementara, bukan perdamaian yang berkelanjutan. Menurut para pengamat, Trump terjebak di antara dua tujuan: di satu sisi ingin menggambarkan dirinya sebagai presiden pembawa damai, namun di sisi lain tidak ingin terlihat lemah di hadapan Putin.

Laporan The Atlantic menyatakan bahwa Trump kemungkinan tidak akan mampu mengakhiri perang dalam jangka pendek, namun dapat membangun landasan militer dan diplomatik bagi dialog nyata pada paruh kedua masa jabatannya.

Lembaga CSIS menegaskan bahwa kunci perdamaian di Ukraina bukan pada transaksi instan, tetapi pada rekayasa keamanan yang bertahap dan penuh kesabaran. Ukraina harus memperoleh jaminan yang nyata, Eropa harus menerima beban finansial, dan Amerika Serikat harus menunjukkan bahwa ia tetap memimpin blok Barat. Jika tidak, perjanjian antara Trump dan Putin berpotensi menjadi awal dari babak baru ketidakstabilan di Eropa, bukan akhir perang.(PH)