Kontrak Gas Besar antara Rezim Israel dan Mesir di Ambang Keruntuhan
-
Kontrak gas
Pars Today - Harian Al-Araby Al-Jadeed menulis bahwa ketegangan politik dan keamanan antara rezim Israel dan Mesir terkait Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai kini telah merembet ke sektor ekonomi, dan salah satu kontrak gas terbesar antara Tel Aviv dan Kairo kini berada di ambang keruntuhan.
Menurut laporan IRNA hari Sabtu (22/11/2025) mengutip situs Al-Araby Al-Jadeed, salah satu kontrak terbesar ekspor gas alam rezim Israel ke Mesir kini berada di fase krisis serius. Nilai kontrak tersebut sekitar 35 miliar dolar, yang bertujuan menyalurkan lebih dari 130 miliar meter kubik gas ke Mesir hingga tahun 2040, dan kini berubah menjadi alat tekanan politik bagi kabinet Benjamin Netanyahu.
Kelompok garis keras di Wilayah Pendudukan Palestina berpendapat bahwa kelanjutan ekspor gas ke Mesir akan memperkuat ekonomi Kairo, sesuatu yang menurut mereka menghambat rencana untuk menekan Gaza dan menghilangkan hambatan terhadap upaya pemindahan paksa penduduk Gaza. Kelompok ini juga khawatir bahwa di masa depan harga gas bagi “Israel” tidak akan lagi adil.
Berdasarkan kontrak itu, Israel seharusnya mengekspor sekitar 1,8 miliar kaki kubik gas per hari. Namun kini kontrak itu memasuki kebuntuan politik dan teknis yang rumit di Wilayah Pendudukan.
Menurut sumber-sumber di Kementerian Perminyakan Mesir, jumlah gas yang saat ini diimpor dari Israel berkisar antara 850 juta hingga 1 miliar kaki kubik per hari, sesuai perjanjian tahun 2019 yang mulai berlaku pada 2020. Namun rezim Israel tidak memenuhi komitmen baru dalam amendemen kontrak Juli 2025—yang mencakup peningkatan bertahap ekspor gas hingga mencapai 1,8–2 miliar kaki kubik pada 2026.
Laporanini menyebutkan bahwa pihak Israel awalnya mengaitkan pengurangan ekspor ini dengan masalah teknis dan menyatakan bahwa masalah itu akan selesai pada Oktober. Namun kemudian terungkap bahwa kabinet Netanyahu dan beberapa komite Knesset bermaksud menghentikan tahap lanjutan perjanjian itu karena perselisihan politik dengan Mesir soal kondisi Gaza dan kehadiran militer Mesir di Sinai. Mereka juga ingin melakukan renegosiasi terkait harga gas di masa mendatang.
Keinginan Mesir untuk Mundur dari Kontrak Gas dengan Israel
Al-Araby Al-Jadeed melanjutkan bahwa meskipun perusahaan pengelola ladang gas Leviathan bersikeras menjalankan kontrak itu, terdapat banyak indikasi bahwa Mesir tengah mempersiapkan pengurangan besar impor gas dari Israel, bahkan kemungkinan penghentian relatif impor hingga musim panas 2026.
Laporan itu menambahkan bahwa Mesir baru-baru ini mengadakan tender untuk membeli tiga kargo LNG dari pasar spot, dan secara paralel menyepakati impor 20 kargo lainnya dari perusahaan Arab Saudi, Prancis, Belanda, dan Azerbaijan hingga akhir tahun.
Selain itu, perjanjian untuk mengimpor sekitar 125 kargo LNG pada 2026 juga sudah ditandatangani untuk mengantisipasi kekurangan pasokan dari Israel. Saat ini Mesir menjadi importir gas alam terbesar di Timur Tengah dan berencana mengadakan tender bulanan untuk mendapatkan harga termurah.
Semua ini terjadi dua bulan setelah aliran normal gas dari sumur Tamar dan Leviathan kembali pulih, yang membuat Mesir mengurangi impor LNG. Selain itu, konsumsi energi menurun pada musim gugur dan produksi listrik tenaga air meningkat karena naiknya permukaan Sungai Nil, sehingga kebutuhan impor tidak meningkat.
Hossam Arafat, pakar energi, mengatakan bahwa Israel secara hukum dapat membatalkan bagian tambahan kontrak tanpa membayar kompensasi karena bagian itu hanya berupa “nota kesepahaman tidak mengikat” dan belum diterapkan. Namun pembatalan ini tidak memengaruhi kontrak utama yang berlaku hingga 2035 dan mencakup pasokan sekitar 1 miliar kaki kubik gas per hari senilai 15 miliar dolar. Kontrak itu juga pernah beberapa kali terganggu oleh perang Gaza atau serangan rudal Iran terhadap Israel.
Ia menambahkan bahwa kabinet Netanyahu telah menjadikan perjanjian ekonomi ini sebagai alat politik untuk mempertahankan dukungan sayap kanan ekstrem dan menghindari tekanan hukum akibat kasus-kasus korupsi dan kritik terkait keamanan.
Menurutnya, kelompok sayap kanan Israel dengan menghambat kontrak gas, berusaha mempertahankan situasi perang di Gaza dan menciptakan ketegangan dengan Mesir agar dapat dimanfaatkan dalam politik domestik mereka.
Tekanan terhadap Kabinet “Israel” untuk Melanjutkan Kontrak Gas
Arafat melanjutkan bahwa Netanyahu tidak dapat menghentikan ekspor gas ke Mesir sepenuhnya, karena perusahaan-perusahaan internasional yang menjadi mitra ladang Leviathan, khususnya perusahaan Amerika, Chevron, telah memberi tekanan besar pada kabinet rezim Israel. Mereka telah melakukan investasi besar di sumur itu, dan satu-satunya jalur ekonomi yang layak untuk mengekspor gas adalah melalui jaringan penyaluran gas Mesir. Opsi lain terlalu mahal atau sama sekali tidak memiliki kapasitas ekspor.
Para mitra sumur Leviathan telah meminta kabinet Israel untuk secara resmi menyetujui, sebelum 30 November, rencana pengembangan sumur itu dan pembangunan jalur pipa darat baru menuju perbatasan Mesir. Penundaan dari pihak Israel dapat menghentikan ekspor gas selama beberapa tahun dan menyebabkan kerugian besar bagi para investor asing.
Laporan ini menunjukkan bahwa Menteri Energi Amerika Serikat mendukung kontrak tersebut dan memberikan tekanan diplomatik agar “Israel” mematuhi kewajibannya. Sebab, jika rezim Israel membatalkan kontrak tersebut, mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengekspor volume gas sebesar itu ke negara lain dan tidak memiliki fasilitas yang diperlukan untuk melakukan pencairan gas.
Menurut laporan ini, seorang pejabat perusahaan gas Mesir juga mengatakan bahwa ancaman rezim Israel untuk mengekspor gas melalui rute Siprus atau Yunani dan menyalurkannya ke Eropa lebih bersifat propaganda. Pembangunan jaringan itu membutuhkan investasi sekitar 10 miliar dolar dan secara ekonomi tidak menguntungkan.
Pejabat ini menambahkan bahwa sikap diam pemerintah Mesir terhadap ancaman Israel adalah langkah yang disengaja agar Netanyahu tidak dapat memanfaatkan reaksi Mesir secara politis.
Menurutnya, jika “Israel” benar-benar menghentikan ekspor gas, dunia akan memahami ketidakpatuhan Tel Aviv terhadap pelaksanaan kontrak-kontrak internasional.
Ia juga mengingatkan bahwa gas dari sumur Tamar dan Leviathan telah bertahun-tahun tidak dimanfaatkan setelah ditemukan, dan baru setelah kontrak ekspor ke Mesir dan Yordania sejak 2019 sumur itu dapat dioperasikan. Karena itu, “Israel” tidak dapat begitu saja menghentikan ekspor, sebab mereka tidak memiliki pasar alternatif untuk volume gas sebesar itu.
Mesir dan Upaya Mengurangi Ketergantungan pada Gas “Israel”
Sementara itu, laporan menunjukkan bahwa di Mesir tengah berlangsung serangkaian pertemuan intensif yang melibatkan para komandan militer, pakar ekonomi, dan para ahli energi untuk merumuskan langkah-langkah mengurangi ketergantungan pada gas serta menyediakan tambahan anggaran 3 miliar dolar yang diperlukan untuk membeli LNG yang dibutuhkan negara hingga 2026.
Program-program ini mencakup pencarian alternatif bagi gas yang sebelumnya dikirim dari “Israel” ke fasilitas pencairan gas Damietta dan Idku di Delta Nil untuk kemudian diekspor ke Eropa.
Mesir juga berupaya menandatangani kontrak jangka panjang untuk impor LNG hingga 2030 serta melakukan diversifikasi sumber energi.(sl)