Trumpisme vs Merkelisme Ekonomi
Menjelang penyelenggaraan KTT G20 di Hamburg, muncul dua pemikiran ekonomi berhadap-hadapan di kutub yang berbeda, dan berseberangan.
Satu kubu menjadi pendukung globalisasi yang dipimpin Angela Merkel, dan di pihak lain penentangnya yang dikomandoi Donald Trump dengan proteksionismenya. Oleh karena itu, di panggung ekonomi politik internasional muncul istilah Merkelisme vs Trumpisme.
Proteksionisme yang diusung AS dan Brexit di Inggris menunjukkan sebuah penolakan terhadap proses globalisasi yang dianggap merugikan kepentingan nasionalnya. Bagi mereka, globalisasi hanya akan menurunkan kemampuan perekonomian negaranya. Sebab, dibukanya kran impor komoditas dari luar negeri dipandang akan melemahkan produksi dalam negeri.
Menurut mereka, globalisasi akan menyebabkan kekuatan tradisional sistem internasional menurun dan menguntungkan kekuatan ekonomi baru. Masalah ini berakibat buruk bagi industri domestik, dan menghilangkan lapangan kerja yang mengancam keamanan ekonomi dan sosial. Oleh karena itu, orang semacam Trump menentang segala bentuk kesepakatan internasional yang dianggap merugikan kepentingan nasional AS, termasuk perjanjian perubahan iklim Paris dan kesepakatan lainnya.
Sementara itu kubu pendukung globalisasi berkeyakinan, tanpa penyatuan pasar dan kontrak kesepakatan bilateral dan multilateral, berlanjutnya pertumbuhan ekonomi di dunia tidak akan terwujud, dan perdamaian dunia yang berkesinambungan tidak akan tercapai. Mereka meyakini berlanjutnya globalisasi akan menciptakan lapangan kerja baru, pemangkasan biaya produksi, dan peningkatan standar internasional, serta pengentasan kemiskinan dan kelaparan di tingkat dunia. Dengan demikian, kesepakatan internasional seperti Uni Eropa, Nafta, dan Trans-pasifik memiliki kedudukan khusus dalam pandangan mereka.
Terlepas dari kubu mana yang paling sesuai dengan realitas dunia saat ini, tampaknya gap antara Merkelisme dan Trumpisme semakin menganga. Contohnya, partai demokratik Kristen Jerman yang menjadi kendaraan politik Merkel dalam pemilu tahun 2017 mengganti terma "sahabat" menjadi "mitra" untuk mendeskripsikan posisi AS. Hal ini menunjukkan bahwa Jerman sebagai motor penggerak perekonomian Uni Eropa berupaya memisahkan dirinya dari AS. Jerman berharap kepada Perancis dengan terpilihnya Emmanuel Macron sebagai presiden Perancis, dan AS membenamkan harapannya kepada Inggris dengan brexitnya.
Volker Tyier, kepala perdagangan luar negeri kamar dagang dan industri Jerman mengkritik kebijakan proteksionisme dan pengaruh buruknya terhadap perdamaian global. Ia mengatakan, kita hidup di dunia ketika perang ekonomi tidak bisa dihindari. Meskipun KTT G20 tidak bisa menjelaskan nasib friksi antara Merkelisme dan Trumpisme, tapi tingkat kedekatan negara-negara dunia dengan dua kutub ini akan membantu memetakan sistem ekonomi global.