Krisis Politik di Inggris
(last modified Tue, 10 Jul 2018 08:21:04 GMT )
Jul 10, 2018 15:21 Asia/Jakarta
  • Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson.
    Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson.

Pemerintah Inggris terjebak dalam krisis politik setelah dua menterinya mundur pada waktu yang berdekatan. Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson memutuskan mundur hari Senin (9/7/2018) sebagai protes terhadap proposal Perdana Menteri Theresa May, yang ingin mempertahankan hubungan yang erat dengan Uni Eropa pasca Brexit.

Sehari sebelumnya, Menteri Inggris untuk Urusan Brexit, David Davis juga mundur sebagai bentuk protes terhadap proposal tersebut. Wakil Menteri untuk Urusan Brexit, Steve Baker juga memilih mengundurkan diri.

Aksi protes ini terjadi meskipun Theresa May pada Jumat lalu mengklaim bahwa seluruh anggota kabinetnya telah menyetujui dokumen terkait pelaksanaan dokumen Brexit.

Kantor PM Inggris pada hari Senin menyatakan Jeremy Hunt telah ditunjuk sebagai menlu baru negara ini. Hunt sebelum ini menjabat sebagai menteri kesehatan Inggris.

Proposal May tentang masa depan hubungan Inggris dengan Uni Eropa pasca Brexit mendapat kritikan dari sebagian pendukung keras Brexit di pemerintah. Mereka mendesak pemutusan total hubungan Inggris dengan Uni Eropa dan kemudian mendefinisikan ulang hubungan tersebut.

Mereka menuding May – yang menginginkan "penarikan lunak" dari Uni Eropa – telah tunduk di hadapan tuntutan blok Eropa.

PM Theresa May.

Johnson mengeluh bahwa proposal May untuk Brexit akan mengubah Inggris menjadi koloni Uni Eropa. Menurutnya, Brexit seharusnya tentang peluang dan harapan. Ini harus menjadi peluang untuk melakukan sesuatu yang berbeda, menjadi lebih gesit dan dinamis.

Saat ini May menghadapi situasi yang sangat sulit. Di satu sisi, kubu penentang dari kalangan internal konservatif kecewa terhadap langkah-langkah dan kepemimpinan perdana menteri, terutama mengenai Brexit. Di sisi lain, oposisi Inggris khususnya Partai Buruh memanfaatkan kesempatan ini untuk menekan May dan pada akhirnya memaksa dia mundur.

Oposisi berpendapat bahwa pemerintahan konservatif gagal menyepakati dokumen Brexit dan mundurnya dua menteri menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki rencana yang jelas dan disetujui oleh seluruh anggota kabinet.

Ketua Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbyn mengkritik keras May dengan mengatakan, "Dua tahun dari referendum penarikan Inggris dari Uni Eropa telah berlalu, di mana mayoritas memilih Brexit. Tetapi, selama masa itu kita hanya menyaksikan pertikaian dan perselisihan di pemerintah ketimbang memperjelas kesepakatan dengan Uni Eropa."

Selama dua tahun terakhir, Inggris menghadapi berbagai masalah seperti ketidakstabilan dalam ekonomi dan perdagangan, ketidakjelasan status perbatasan antara Irlandia Utara dan Republik Irlandia, serta masa depan pekerjaan dan investasi yang tidak jelas.

Persoalan itu disebabkan oleh tidak adanya visi yang jelas tentang proses Brexit, tidak teratasinya masalah saat ini antara Inggris dan Uni Eropa, dan yang paling penting adalah ketidakpastian tentang masa depan kegiatan perusahaan-perusahaan Eropa dan Inggris pasca Brexit.

Pengunduran diri tersebut mengindikasikan dalamnya perpecahan di kabinet Inggris. Langkah serupa tampaknya juga akan diambil oleh menteri-menteri lain dalam waktu dekat ini.

Sejumlah anggota partai konservatif telah mengajukan sebuah proposal kudeta politik terhadap May dan jika ini disetujui, maka ia terpaksa harus mengundurkan diri.

Jika skenario ini terjadi, bukan hanya masa depan politik Inggris, tetapi dokumen Brexit dan pelaksanaannya juga akan menghadapi masa depan yang suram. (RM)

Tags