Ketika Theresa May Memperingatkan Konsekuensi Penolakan Kesepakatan Brexit
(last modified Mon, 07 Jan 2019 10:06:11 GMT )
Jan 07, 2019 17:06 Asia/Jakarta
  • Theresa May, Perdana Menteri Inggris dan masalah Brexit
    Theresa May, Perdana Menteri Inggris dan masalah Brexit

Masalah keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit adalah masalah paling penting bagi rakyat negara ini dan menjadi perhatian mendasar bagi Uni Eropa.

Terlepas dari kesepakatan yang dicapai antara London dan Brussels pada akhir 2018, Theresa May, Perdana Menteri Inggris akan menunda pemungutan suara pada Januari 2019 dengan prediksi pemungutan suara di Majelis Rendah Inggris akan berakhir negatif bagi kesepakatan ini. Theresa, dalam sikap terbarunya mengeluarkan peringatan tentang konsekuensi berbahaya dari penolakan terhadap kesepakatan Brexit.

Theresa May, Perdana Menteri Inggris pada hari Ahad (06/01) di London mengatakan, Inggris akan menjadi tanah air yang tidak diketahui jika parlemen menolak kesepakatan Brexit.

Theresa May, Perdana Menteri Inggris di Majelis Rendah Inggris

Sementara kurang dari 3 bulan lagi Inggris harus keluar dari Uni Eropa, tepatnya pada bulan Maret 2019, sementara status kesepakatan Brexit antara London dan Brussels tidak jelas dan Theresa tidak dapat memenangkan dukungan parlemen. Perdana menteri Inggris telah menunda pemungutan suara terkait kesepakatan ini, yang semestinya dijadwalkan pada Desember 2018. Theresa May yakin bahwa dia akan menghadapi kekalahan besar dalam hal pemungutan suara seperti itu. Dia bermaksud untuk mendapatkan lebih banyak jaminan dari para pemimpin Eropa sebelum pemilihan pertengahan Januari 2019 agar mendapatkan dukungan anggota parlemen. Kesepakatan Brexit membutuhkan 320 suara mendukung dari total 650 anggota parlemen untuk mendapatkan pengesahan akhir.

Sekalipun demikian, Theresa harus mengatasi penentangan mayoritas anggota partainya dengan kesepakatan Brexit antara Inggris dan Uni Eropa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anggota partai konservatif menentang perjanjian ini. Sebuah survei terhadap 1.215 anggota partai konservatif menunjukkan bahwa 59% anggota partai menentang pemilihan dan hanya 38 % yang kesepakatan tersebut.

Perdana Menteri Inggris sangat menyadari bahwa perjanjian saat ini antara Brussels dan London tentang Brexit, mengingat kekurangannya, tidak memiliki banyak kesempatan untuk disetujui parlemen. Karena alasan ini, ia bertemu dengan para pemimpin Uni Eropa pada bulan Desember 2018 untuk mendapatkan jaminan lebih lanjut dari kesepakatan Brexit. Dia percaya bahwa jaminan ini diperlukan untuk meyakinkan Parlemen Inggris demi meloloskan "RUU Brexit". Tetapi Uni Eropa telah menyatakan ketidaksetujuannya yang tegas dengan negosiasi ulang perjanjian dengan Inggris.

Profesor Heinz Gartner, akademisi di Universitas Wina dalam wawancaranya bulan Januari 2019 mengatakan, "Kesepakatan tersebut tidak akan dinegosiasikan lagi oleh Uni Eropa. Karena dalam hal ini Uni Eropa akan kehilangan reputasinya."

Sementara dengan mencermati bahwa semakin dekatnya tenggat waktu implemenasi kesepakatan Brexit, yaitu akhir bulan Maret 2019, ada rasa tidak aman yang meningkat di antara warga Inggris dan meningkatnya permintaan mereka untuk mendapatkan kewarganegaraan di negara-negara Eropa lainnya. Mereka terutama takut akan konsekuensi negatif di sektor ekonomi dari pelaksanaan Brexit tanpa kesepakatan dengan UE.

Brexit

Keluar tanpa kesepakatan dengan UE akan memiliki konsekuensi yang signifikan bagi perekonomian Inggris, yang juga akan mempengaruhi kehidupan warganya. Tampaknya, Theresa telah menghadapi situasi yang sangat kompleks dan sulit, yang sepertinya tidak ada solusinya, khususnya tanpa perubahan mendasar dalam kesepakatan saat ini yang menguntungkan London, maka pengesahan perjanjian ini di parlemen tampaknya sangat tidak mungkin.

Tags