Amerika Tinjauan dari Dalam, 10 Maret 2019
-
Presiden AS, Donald Trump dan Ketua DPR AS, Nancy Pelosi
Dinamika Amerika Serikat pekan lalu diwarnai sejumlah isu penting antara lain: Ketua DPR AS mengumumkan kesiapannya melawan Trump dalam masalah kondisi darurat, dan mantan ketua tim kampanye Trump divonis penjara.
Selain itu, jumlah pejabat Gedung Putih yang mengundurkan diri bertambah, anggota Kongres menekan wakil Muslim di DPR AS, dan sanksi AS terhadap Rusia tidak efektif.
Ketua DPR AS Umumkan 'Perang' Lawan Trump
Ketua DPR Amerika Serikat, Nancy Pelosi menyatakan akan melawan Trump di Kongres maupun pengadilan, jika Presiden AS memveto resolusi anggota dewan perwakilan rakyat negara ini yang menentang kondisi darurat.
"Kami akan bertempur dengan Donald Trump di Kongres maupun pengadilan untuk menunjukkan bahwa sepak terjang presiden dari partai Republik keliru, dan kubu Republik juga tahu masalah tersebut," ujar ketua DPR-AS hari Senin (4/3).
"Kondisi darurat akan melemahkan sistem pengawasan kita," tegasnya.
Menurut Nancy, para senator Republik meminta Trump memcabut kondisi darurat, sebab langkah tersebut bertentangan dengan undang-undang dasar AS.
Pekan lalu, DPR AS mengesahkan ketetapan yang menentang kondisi darurat dan para senator pun siap untuk mengesahkan aturan sejenis. Tapi Presiden AS, Donald Trump tidak menerimanya dan mengancam akan memveto ketetapan tersebut.
Sementara itu, Senat Amerika Serikat siap menyatakan penolakan terhadap situasi darurat nasional yang dideklarasikan Presiden Donald Trump demi mendapatkan dana untuk membangun tembok di sepanjang perbatasan dengan Meksiko.
"Saya pikir jelas Senat punya cukup suara untuk meloloskan resolusi penolakan," ujar pemimpin Senat AS, Mitch McConnell AFP, Senin (4/3).
Resolusi penolakan ini sudah diloloskan oleh Dewan Perwakilan AS yang dikuasai oleh Partai Demokrat pada pekan lalu. Dewan Perwakilan lantas menyerahkan draf resolusi itu ke Senat yang akan menggelar pemungutan suara pada pekan ini.
Pada Februari lalu, Presiden AS mengumumkan kondisi darurat untuk menjamin anggaran pembangunan dinding pemisah di perbatasan negara ini dengan Meksiko.
Mantan Ketua Tim Kampanye Trump Divonis Penjara
Mantan ketua tim kampanye Presiden Donald Trump dalam pemilu Amerika Serikat pada 2016 lalu, dijatuhi hukuman penjara 47 bulan atas tuduhan kejahatan pajak dan penipuan bank.
Paul Manafort diklaim bekerja untuk politikus Ukraina yang memiliki hubungan dengan Rusia. Jaksa menuding Manafort menggunakan akun bank asing di Siprus untuk menyembunyikan lebih dari 55 juta dolar milik sejumlah politikus Ukraina agar tak diketahui aparat. Manafort masih akan menghadapi sidang pembacaan putusan untuk kasus kedua pada pekan depan dengan hukuman maksimal 10 tahun penjara.
Selain kasus Ukraina ini, Manafort juga sedang menjalani persidangan terkait penyelidikan intervensi Rusia dalam pemilu 2016 demi kemenangan Trump. Penyelidikan yang dipimpin oleh jaksa khusus, Robert Mueller, ini tak hanya menyeret nama Manafort, tapi juga wakilnya, Rick Gates, serta empat mantan rekan Trump. Mantan Penasihat Keamanan Nasional era Trump, Michael Flynn, sudah mengaku bersalah karena berbohong mengenai kontaknya dengan pejabat Rusia. Kini, ia sedang menunggu sidang putusan hukuman.
Sementara itu, mantan pengacara Trump, Michael Cohen, akan memulai hukuman tiga tahun penjaranya pada 6 Mei mendatang. Ia divonis terkait kasus pengemplangan pajak, kontribusi ilegal dalam kampanye, dan berbohong kepada Kongres. Mantan penasihat kebijakan luar negeri dalam tim kampanye Trump, George Papadopoulos, juga sudah mengaku bersalah dan sedang menunggu putusan pengadilan. Penasihat Trump lainnya, Roger Stone, juga sedang menunggu sidang pembacaan putusan.
Lagi, Petinggi Gedung Putih Mengundurkan Diri
Wakil kepala staf Gedung Putih dan direktur komunikasi Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Bill Shine mundur dari jabatannya. Langkah itu diumumkan oleh sekretaris pers Gedung Putih Sarah Sanders jelang akhir pekan ini. Mantan eksekutif Fox News ini bergabung dengan Gedung Putih pada Juli 2018.
Shine mengajukan pengunduran dirinya kepada Trump pada Kamis (7/3), namun baru diumumkan Gedung Putih sehari setelahnya. Dia memilih keluar dari Gedung Putih agar bisa bergabung dengan kampanye pemilihan presiden 2020 mendatang sebagai penasihat senior.
Pengunduran diri Bill Shine menambah daftar panjang pejabat tinggi Gedung Putih di era Trump. Sebelumnya sekitar 25 orang telah meninggalkan jabatannya di era Trump di antaranya: James Mattis dari jabatan menteri pertahanan, Jeff Sessions dari jabatan Jaksa Agung, Nikki Haley sebagai Duta Besar AS untuk PBB, Scott Pruitt sebagai Administrator Presiden Donald Trump pada Badan Perlindungan Lingkungan (EPA), Thomas Bossert selaku penasihat keamanan dalam negeri AS dan lainnya.
Anggota Kongres AS Tekan Wakil Muslim
Anggota Kongres Amerika Serikat dalam sebuah langkah kontroversial meratifikasi resolusi mengecam sikap anti Zionis anggota Muslim Kongres ini. Nancy Pelosi, ketua DPR AS dan seluruh anggota senior Partai Demokrat menyusun draf resolusi mengecam sikap Ilhan Omar yang mengkritik rezim Zionis Israel. Para pemimpin kubu Demokrat sampai saat ini masih ragu apakah mereka akan mencantumkan nama Ilhan Omar di resolusi tersebut atau tidak.
Sebelumnya, dua anggota senior Demokrat merilis statemen mengkritik Ilhan Omar karena sikapnya yang anti Israel dan memintanya untuk meminta maaf. Ilhan Omar merupakan perempuan berhijab pertama di Kongres AS yang mendapat serangan keras dari Lobi Zionis di Amerika karena sikapnya yang anti Israel.
Sejumlah kandidat pilpres Amerika Serikat menyatakan dukungannya terhadap sikap Ilhan Omar.Menurut laporan laman The Hill, Senator Bernie Sanders yang baru-baru ini secara resmi menyatakan kesiapannya untuk mencalonkan diri sebagai kandidat presiden di pemilu 2020, dalam statemennya mengecam serangan terhadap Ilhan Omar dan mendukung wakil Kongres beragama Islam ini.
"Kita tidak boleh menyamakan kritik legal terhadap pemerintah Benjamin Netanyahu dengan anti Israel," papar Sanders.
Sementara itu, Senator Kamala Harris, kandidat presiden dari kubu Demokrat di pemilu internal kubu ini untuk pilpres 2020 mengatakan, fokus kritik terhadap Ilhan Omar telah membahayakan wakil Muslim ini, dan hal ini sama sekali tidak dapat diterima.
"Semua orang berhak berbicara mengenai anti Zionis, rasisme dan seluruh fanatisme," tekan Harris.
Sanksi AS terhadap Rusia Tidak Efektif
AS menjatuhkan sanksi terhadap Rusia dengan berbagai dalih sejak 2011 yang mencapai 62 buah. Sanksi tersebut semakin meningkat di tahun 2014 setelah meletus krisis Ukraina, terutama bergabungnya Krimea dengan federasi Rusia. Tidak hanya itu, AS juga menjatuhkan sanksi baru terhadap Rusia dengan alasan intervensi Moskow dalam pemilu presiden AS yang mulai dijalankan sejak Agustus 2017.
Presiden AS, Donald Trump memperpanjang sanksi terhadap Rusia selama setahun mendatang. Sanksi ini pertama kali dijatuhkan di era Barack Obama pada 6 Maret 2014. Sanksi yang dikeluarkan berdasarkan instruksi Presiden AS ini memberlakukan pembekuan aset Rusia dan cekal terhadap nama-nama pihak tertentu di negara ini yang masuk dalam daftar sanksi.
Sesuai pernyataan Gedung Putih yang mengacu pada instruksi presiden AS tertanggal 6 Maret 2014, ancaman non-konvensial dan luar biasa terhadap keamanan dan kebijakan luar negeri AS sebagai alasan untuk memperpanjang dan melanjutkan sanksi kepada Rusia.
Target sanksi tersebut untuk memaksa Moskow menerima tuntutan AS. Masalah ini kembali ditegaskan Presiden AS, Donald Trump yang mengatakan tidak akan mengambil keputusan untuk mencabut sanksi terhadap Rusia, tapi hal itu hanya bisa dilakukan jika pihak Rusia mengambil langkah yang sejalan dengan kepentingan AS.
Klaim intervensi Rusia dalam pemilu presiden AS 2016 menjadi salah satu alasan meningkatnya sanksi AS terhadap Rusia. Selain itu, pada Maret 2018, Amerika Serikat dengan beberapa negara Eropa dan Kanada mengusir sejumlah diplomat Rusia dari negara mereka karena dugaan peran Moskow dalam pembunuhan mantan mata-mata Rusia, Sergei Skripal di Inggris.
Beberapa anggota Kongres AS juga berusaha untuk meningkatkan sanksi terhadap Rusia. Senator Demokrat, Bob Menendez dan senator Republik Lindsey Graham berada di garda depan menyusun ketetapan sanksi finansial AS terhadap sektor energi Rusia dan tokoh-tokoh politik serta anggota keluarga mereka. Kedua senator ini melancarkan aksinya di Kongres AS dengan menggunakan aturan "Pertahanan Keamanan AS Melawan Agresi Rusia".
Namun, sanksi AS terhadap Rusia tidak seefektif yang diklaim Washington. analis ekonomi Rusia, Yuri Kofner mengatakan, "Sebagian besar sanksi terhadap Rusia bersifat simbolis, dan hanya sanksi terhadap kerja sama sistem perbankan Rusia dengan Bank Dunia yang berpengaruh,".
Sebagian ekonom percaya bahwa pemerintah Moskow tidak begitu tergantung pada pembiayaan eksternal, sehingga sanksi AS terhadap Rusia tidak terlampaui signifikan mempengaruhi finansial dan ekonomi Rusia. Selama beberapa tahun terakhir, volume perdagangan antara Rusia dan Amerika Serikat menurun drastis, dan ketergantungan pemerintah Rusia terhadap pembiayaan bank-bank dari luar negeri telah diminimalisasi. Dengan demikian, efektivitas sanksi AS terhadap Rusia masih menimbulkan pertanyaan besar.(PH)