Berita / Dunia
Klaim Perdamaian Trump Bersamaan dengan Berlanjutnya Agresi AS di Suriah
Pars Today – Presiden Amerika ketika mengonfirmasikan kemajuan perundingan perdamaian di Asia Barat dan dimulainya babak kedua gencatan senjata di Gaza dalam waktu dekat, serangan koalisi pimpinan Amerika di Suriah terus berlanjut, dan kritik dalam negeri atas perang bersejarah Amerika dalam mengobarkan krisis di kawasan meningkat drastis.
Asia Barat kembali menyaksikan pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan dari para pejabat Amerika. Sementara Presiden Amerika Serikat berbicara mengenai keberhasilan diplomasi perdamaian, operasi militer negara tersebut di kawasan terus berlanjut tanpa henti. Kontradiksi ini, ditambah dengan pengungkapan baru mengenai peran Washington dalam pembentukan kelompok-kelompok teroris, membuat sikap Amerika Serikat menghadapi pertanyaan-pertanyaan serius. Dalam laporan Pars Today ini, Anda dapat membaca perkembangan terbaru mengenai kehadiran Amerika di Asia Barat.
Klaim Perdamaian di Gaza di Tengah Lanjutan Kekerasan
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dalam wawancara dengan para wartawan di Gedung Putih mengklaim bahwa "situasi bagi perdamaian di Timur Tengah berjalan dengan baik" dan bahwa segera "tahap kedua dari kesepakatan gencatan senjata Gaza" akan dilaksanakan. Ia tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai klaim tersebut.
Pernyataan ini muncul sementara, menurut laporan lapangan, rezim Zionis — sekutu utama Amerika di kawasan — bahkan tidak mematuhi tahap pertama gencatan senjata tersebut. Setelah pelaksanaannya, serangan tetap berlanjut yang mengakibatkan gugurnya hampir 400 warga Palestina serta melukai sedikitnya seribu orang.
Pertentangan antara klaim perdamaian dan realitas di lapangan ini telah menimbulkan keraguan serius terhadap kredibilitas pernyataan diplomatik Washington.
Tindakan Militer Amerika Serikat di Suriah Berlanjut
Seiring dengan klaim perdamaian yang disampaikan Trump, sumber-sumber lokal di Suriah melaporkan dua serangan udara baru oleh koalisi internasional yang dipimpin Amerika di pinggiran kota Raqqa. Serangan tersebut menargetkan wilayah Al-Mansurah di bagian barat dan gurun Ratlah di barat daya kota, yang menunjukkan berlanjutnya intervensi militer Washington di Suriah.
Amerika Serikat memulai operasi militernya di Suriah sejak tahun 2014 dengan dalih memerangi kelompok teroris Daesh (ISIS). Namun, berbagai laporan mengungkapkan adanya korban sipil serta kerusakan infrastruktur vital akibat serangan-serangan tersebut. Kajian independen menunjukkan bahwa tindakan koalisi pimpinan Amerika mengandung unsur kejahatan perang dan menimbulkan tantangan serius terhadap legitimasi kehadiran militer negara itu di Suriah.
Pengungkapan Internal: AS dan Perannya dalam Terorisme di Kawasan
Pengungkapan yang dilakukan oleh para politisi Amerika di tengah hiruk-pikuk pemilu negara itu menjadi bukti nyata dukungan Amerika terhadap terorisme di Asia Barat. Pengungkapan tersebut senantiasa menyoroti kebijakan ganda Washington di kawasan. Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa setelah peristiwa 11 September, dengan melakukan invasi ke wilayah tersebut, Amerika justru menjadi faktor utama ketidakstabilan.
Hal yang patut dicermati adalah peran historis Amerika sendiri dalam menciptakan dan mendukung kelompok-kelompok seperti Al-Qaeda untuk menghadapi Uni Soviet, yang kemudian berbalik menjadi konfrontasi dengan “mantan murid” mereka. Kemunculan ISIS, yang bahkan Trump pernah menyinggung keterlibatan pemerintahan Obama dalam hal itu, dijadikan alasan untuk intervensi lebih lanjut di Irak dan Suriah.
Pengungkapan-pengungkapan ini semakin memperkuat pertanyaan mendasar mengenai tujuan sebenarnya dari kehadiran militer Amerika yang begitu luas di kawasan.
Dualitas dalam Strategi Regional
Pendekatan Amerika Serikat saat ini di Asia Barat disertai dengan kontradiksi yang jelas. Di satu sisi terdapat klaim sebagai mediator perdamaian, sementara di sisi lain operasi militer terus berlanjut dan dukungan diberikan kepada sekutu-sekutu yang tidak mematuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Dualitas ini, ditambah dengan pengungkapan mengenai peran historis Washington dalam pembentukan kelompok-kelompok ekstremis, telah merusak kredibilitas diplomasi Amerika. Tampaknya, selama kepentingan geopolitik Washington lebih diutamakan daripada hak-hak bangsa-bangsa di kawasan, klaim perdamaian yang disampaikan Trump maupun pejabat Amerika lainnya tidak akan mampu membuka jalan menuju stabilitas yang berkelanjutan di Asia Barat. (MF)