Amerika Tinjauan dari Dalam 24 Agustus 2019
Transformasi Amerika sepekan terakhir diwarnai oleh sejumlah isu penting di antaranya keinginan pemerintah Trump untuk memperpanjang secara permanen undang-undang penyadapan publik dan penekanan AS pada revisi mendasar negosiasi perdagangan dengan Cina.
Selain dua isu tersebut, pekan lalu juga dibahas tentang Trump yang mengumumkan rencana anti-imigrasi lain dan kritik ulang Trump kepada negara-negara anggota NATO.
Keinginan Pemerintah Trump Memperpanjang Secara Permanen UU Penyadapan Publik
Pemerintahan Trump menginginkan Kongres untuk secara permanen memperpanjang undang-undang yang memungkinkan Badan Keamanan Nasional (NSA) mengumpulkan informasi dan merekam percakapan telepon jutaan warga AS. Menurut situs Hill, Dan Coats, mantan Direktur NSA Amerika Serikat yang menghabiskan hari-hari terakhirnya di kantor, menulis sepucuk surat kepada para senator AS yang mendesak Kongres untuk mencabut semua ketentuan yang disebut "Kebebasan AS". Mengadopsi dan memperpanjang hukum yang berlaku hingga akhir tahun.
Para republikan senior dikatakan telah mendukung Coats dalam komisi-komisi utama yang mengawasi pengesahan undang-undang tersebut. Surat Coats yang ditujukan kepada anggota senior Komisi Intelijen dan Kehakiman Senat mengatakan, "Dukungan untuk Komunitas Intelijen dan Pemerintah akan diperpanjang secara permanen." Saya mengumumkan ketentuan Undang-Undang Kebebasan Amerika, yang akan berakhir pada Desember 2019. Undang-undang ini memberikan fungsi intelijen utama kepada komunitas intelijen dan kami ingin bekerja dengan Kongres dalam ratifikasi dan perpanjangan permanennya."
Direktur Keamanan Nasional AS dalam suratnya menyatakan bahwa program rekaman percakapan telepon telah dihentikan, tetapi pemerintah seharusnya diizinkan untuk melanjutkan program tersebut jika perlu. Ia mengklaim, Badan Keamanan Nasional AS menangguhkan program penyimpanan rincian percakapan telepon dan detil percakapan telepon yang didapatkan akan dihapus dalam kerangka undang-undang ini.
Polisi Federal Amerika Serikat (FBI) juga telah mengikuti jalur yang sama dengan Badan Keamanan Nasional AS dalam memberikan akses ke informasi dan interaksi online kepada warga Amerika, meskipun dengan dalih memerangi terorisme. Dalam konteks ini, inisiatif baru FBI dengan membuat alat baru bagi organisasi polisi ini dapat mengakses semua profil pengguna di jejaring sosial, dan bahkan dapat mengekstraksi alamat email, ID pengguna, nomor telepon, dan banyak lagi.
Alat ini memungkinkan untuk melacak orang berdasarkan lokasi mereka dan mengakses riwayat jejaring sosial dan riwayat penggunaan media sosial dari siapa pun. Menyusul peristiwa 11 September 2001, pemerintah federal AS, dengan dalih memerangi terorisme, memberlakukan undang-undang baru yang didukung Kongres untuk dapat mengakses informasi komputer dan internet warga yang tentu saja di akhir periode kepresidenan Obama telah diusahakan untuk mengurangi cakupan langkah-langkah tersebut. Namun, pada masa pemerintahan Donald Trump, masalah memata-matai warga Amerika di Internet, dan terutama media sosial, telah mengambil dimensi baru.
AS Merevisi Ssecara Mendasar Negosiasi Perdagangan dengan Cina
Presiden AS Donald Trump telah melakukan langkah penerapan tarif baru dalam perdagangan dengan mitra dagang AS, terutama Cina, yang mengarah ke perang dagang besar antara dua kekuatan ekonomi utama dunia, sejalan dengan kebijakan proteksionis ekonomi yang ia yakini akan memperkuat ekonomi AS. Namun, prospek resesi telah melemahkan sikap Washington, dan sekarang ada pembicaraan tentang perombakan mendasar negosiasi perdagangan dengan Cina.
Berbicara tentang konsekuensi negatif dari perang perdagangan AS-Cina untuk ekonomi dunia, Larry Kodlo, Penjabat Dewan Ekonomi Nasional AS, mengatakan, "Kami bermaksud untuk secara mendasar merevisi pembicaraan perdagangan dengan Cina dan berharap untuk mencapai kesepakatan baru dengan Beijing."
Perkembangan ekonomi baru-baru ini di pasar saham dan kemungkinan resesi untuk Amerika Serikat dan reaksi Cina terhadap perang tarif Trump tampaknya menjadi faktor kunci dalam perputaran AS dan kesediaannya untuk bernegosiasi kembali dengan Cina. France 24 melaporkan, "Menyusul jatuhnya indikator ekonomi global yang dipengaruhi oleh perang dagang antara dua raksasa ekonomi utama, Amerika Serikat sekarang berusaha memikirkan kembali cara negosiasinya dan perang dagang antara dirinya dan Beijing."
Trump membayangkan bahwa ia berada dalam perang dagang dengan Cina dan mampu membuat Beijing bertekuk lutut dengan mengenakan tarif baru pada barang dan produk Cina. Namun, perhitungan Presiden AS yang kontroversial itu tidak benar dan kebijakan perdagangannya yang keras tidak berhasil. Trump mengakui pada Selasa, 20 Agustus, bahwa kebijakan perdagangan agresifnya terhadap Cina justru menciptakan penderitaan ekonomi bagi orang Amerika, tetapi kebijakan ini penting dan esensial untuk kepentingan jangka panjang.
Dalam kondisi sepert ini, dimana penerapan tarif perdagangan yang berat terhadap Cina telah memberikan tekanan besar pada para pelaku industri, pasar keuangan dan konsumen Amerika. Trump sendiri mengklaim, "Saya tidak membayangkan bahwa negara kita sedang berada pada bahaya resesi ekonomi dan bila Bang Sentral Amerika Serikat memangkas suku bunga, ekonomi kita akan kembali bergairah."
Faktanya, para konsumen, produsen produk-produk yang bagian-bagiannya didatangkan dari Cina dan begitu juga para petani Amerika adalah yang paling menderita dari konfrontasi dagang antara Washington dan Beijing. Trump khawatir bahwa penurunan ekonomi pada hari pemilihan akan membuatnya semakin sulit dan para pemilih yang tidak bahagia bersamanya akan memilih saingannya dari Demokrat. Tentu saja, Trump telah memperingatkan bahwa penurunan ekonomi akan menanti Amerika jika dia tidak terpilih kembali. Tentu saja, ini hanya klaim, dan yang penting dalam pemilu presiden pada November 2020 kembali pada kepuasan atau ketidakpuasan pemilih terhadap situasi ekonomi Amerika.
Trump Mengumumkan Rencana Anti-imigrasi Lain
Pemerintahan Trump pada hari Rabu mengatakan bahwa pihaknya akan mengambil langkah-langkah untuk memungkinkan negara itu menahan anak-anak imigran tanpa dokumentasi hukum untuk jangka waktu tidak terbatas. Kebijakan baru yang akan berlaku dalam 60 hari ke depan, akan membatasi lamanya waktu anak-anak atau keluarga mereka ditahan. Menurut surat kabar US Today, langkah ini yang oleh pejabat Kementerian Kemanan Dalam Negeri Amerika bakal mendapat tantangan hebat di pengadilan federal akan mengakhiri batas penahanan 20 hari bagi anak-anak imigran dan keluarga mereka.
Berbicara kepada wartawan di Gedung Putih pada hari Rabu, Trump mengatakan lebih sedikit imigran ilegal mencoba memasuki Amerika Serikat ketika langkah-langkah keamanan diperketat di perbatasan selatan AS dan upaya untuk dinding pembatas. Trump mengaku khawatir tentang anak-anak imigran, tetapi tugas Kongres AS untuk memperbaiki undang-undang suaka dan imigrasi. Menurut Trump, "Kami sangat kuat dalam masalah perbatasan. Saya memikirkan anak-anak imigran. Saya sangat kesal tentang mereka. Orang-orang ini melakukan perjalanan 2 ribu mil yang mengerikan ini. Tetapi yang terjadi adalah ketika mereka menyadari bahwa perbatasan sedang ditutup dan tembok pembatas sedang dibangun, mereka kemudian menyerah."
Di bawah Perjanjian Flores, pemerintah AS tidak diizinkan untuk menahan anak-anak imigran selama lebih dari 20 hari. Trump dan Republikan lainnya sejauh ini menyatakan kemarahan atas kebijakan itu dan mengatakan hukum seperti itu akan membuat imigran ilegal yang ingin masuk ke Amerika Serikat membawa anak. Trump juga mencoba tahun lalu untuk memperpanjang masa penahanan anak-anak imigran yang ditahan hingga lebih dari 20 hari. Namun rencananya menemui perlawanan. Rencana itu muncul di tengah kecaman luas terhadap pemerintah Trump karena buruknya kondisi fasilitas penahanan imigrasi AS.
Sejauh ini, banyak anggota dari kubu Demokrat di DPR yang menyatakan kemarahannya terkait kondisi di pusat-pusat penahanan imigran yang buruk. Beberapa penasihat Trump telah mencari solusi selama berbulan-bulan untuk memberikan wewenang negara bagian AS untuk mencegah anak-anak imigran ilegal dari mendaftar di sekolah umum. Tetapi ketika menjadi jelas bahwa upaya seperti itu bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung pada tahun 2006 untuk menjamin akses ke sekolah-sekolah umum, mereka meninggalkan gagasan itu. Sejak memasuki persaingan pemilu, Trump telah berulang kali mengumumkan bahwa ia akan menentang imigrasi ilegal setelah memenangkan pemilihan AS. Dia bahkan berusaha membangun tembok pembatas di sepanjang perbatasan Meksiko.
Trump Kembali Mengritik Negara-negara Anggota NATO
Presiden AS Donald Trump pada hari Rabu, 21 Agustus, mengeluarkan tweet lagi yang mengkritik negara-negara Eropa yang menjadi anggota Organisasi Perjanjian Atlantik Utara (NATO). Donald dalam tweetnya menulis, Denmark hanya mengalokasikan 1,35% dari PDB untuk mendanai NATO. Mereka adalah negara kaya dan mereka harus menaikkannya mencapai tingkat 2%. Kami masih melindungi Eropa dan hanya 8 dari 28 negara anggota NATO yang berkontribusi 2% untuk pengeluaran. Jumlah yang dibayarkan AS jauh, jauh lebih tinggi. Karena tindakan saya, negara-negara ini telah setuju untuk membayar seratus miliar dolar lebih, tetapi belum mencapai tingkat yang seharusnya mereka bayar untuk dukungan militer kita yang luar biasa.
Donald Trump telah berulang kali dan dalam berbagai kesempatan sejak peresmian kampanye pemilu presiden AS pada tahun 2016, dan pada beberapa kesempatan, mengritik sejumlah anggota Eropa NATO yang tidak peduli untuk mencapai tujuan mereka, termasuk mengalokasikan dua persen dari PDB mereka untuk pertahanan, dan juga mengkritik militer serta keterlibatan mereka yang tidak memadai dalam pembiayaan NATO. Pembicaraan Trump lebih banyak tertuju kepada Jerman sebagai ekonomi terbesar di Eropa adalah yang paling tidak banyak dilakukan dalam praktiknya, meskipun Kanselir Angela Merkel berjanji untuk meningkatkan pengeluaran militer. Sikap Trump ini mendapat dukungan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg.
Trump sebelumnya menyatakan bahwa dari 28 anggota NATO, 23 masih belum mengalokasikan dua persen dari PDB mereka untuk urusan militer dan memperingatkan bahwa mereka akan "ditangani" jika mereka tidak memenuhi kewajiban mereka kepada NATO. Banyak anggota NATO memperhatikan sikap negatif Trump terhadap NATO. Setelah mengambil alih kekuasaan, Trump menggambarkan NATO sebagai organisasi "ketinggalan jaman" yang akan menimbulkan biaya besar bagi Amerika Serikat dan mengatakan tidak akan lagi mendukung militer.
Sikap presiden AS sebagai kekuatan militer terbesar di dunia mengejutkan anggota NATO lainnya. Namun, pada bulan April 2008, ia mengubah sikapnya dan menyatakan pada pertemuan dengan para pemimpin NATO bahwa ia tidak lagi menganggap organisasi itu tidak perlu dan mendukungnya. Namun, pada KTT G-7 di Kanada, Trump sekali lagi menyerang NATO dan menyebutnya sebagai organisasi yang buruk dan sangat mahal untuk Amerika Serikat.
Menurut pakar hubungan internasional, Iraj Mazarei, "Kebijakan ganda Trump terhadap NATO, yang sebagian besar berasal dari pencarian keuntungan dan prospek yang menguntungkan, telah membingungkan para anggota organisasi ini dan menyebabkan beberapa keputusan strategis yang penting, ketika diimplementasikan, organisasi akan menghadapi tantangan yang akan melihat lebih banyak perbedaan ini dalam waktu dekat.