Dua Jalan Rusia di Idlib
Presiden Rusia dan Turki mencapai kesepakatan dalam masalah gencatan senjata di Idlib. Langkah ini dilakukan setelah pasukan Suriah bersama sekutunya termasuk Moskow, meraih kemenangan signifikan dalam operasi militer penumpasan teroris di daerah terakhir yang menjadi markas teroris di barat laut Suriah.
Rusia dan Turki membentuk pusat militer bersama untuk memantau gencatan senjata di Idlib. Namun, aksi bersenjata para teroris di wilayah itu terus berlanjut yang memicu reaksi keras Moskow. Kementerian Luar Negeri Rusia dalam sebuah pernyataan Senin, 16 Maret 2020, mengecam berlanjutnya aktivitas kelompok-kelompok teroris bersenjata, termasuk Tahrir Al-Sham di Idlib. Moskow menilai milisi teroris mengambil keuntungan dari ketentraman sementara setelah gencatan senjata di Idlib dengan menyiapkan kekuatan baru untuk menyerang pasukan Suriah.
Rusia menegaskan bahwa para pelaku kekerasan dan teror apapun kewarganegaraannya harus diadili atas kejahatan mereka. Oleh karena itu hanya ada dua pilihan; penumpasan teroris jika mereka melancarkan perlawanan bersenjata, atau menyeret mereka ke meja hijau sesuai hukum yang berlaku.
Rusia sebagai salah satu pemain kunci dalam konflik Suriah telah berada di negara ini sejak September 2015, untuk mendukung operasi militer penumpasan teroris di Suriah, termasuk Idlib.
Sebagai sekutu Damaskus, Moskow tidak hanya menyalahkan Turki atas dukungannya terhadap kelompok teroris di Suriah dan pertempuran di Idlib. Lebih dari itu, Rusia juga mendukung operasi militer Suriah untuk membebaskan wilayahnya dari cengkeraman teroris. Sebagaimana ditegaskan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, "Militer Suriah berhak menumpas teroris di Idlib,".
Kini, para teroris dalam kesulitan besar di Idlib. Dalam perspektif Rusia, para teroris ini dibunuh, ditangkap atau diseret ke meja hijau atas kejahatan yang mereka lakukan. Namun, dalam perspektif Barat-Arab, juga Turki, para teroris harus dilindungi dan dibiarkan hidup di Suriah demi melemahkan pemerintahan Damaskus. Padahal, kelompok teroris semacam Front al-Nusra yang memiliki anggota ribuan warga asing dinyatakan sebagai kelompok teroris oleh PBB. Masalahnya, kelompok teroris yang masih bercokol di Suriah ini didukung penuh Ankara dan Washington.
Selama perang Suriah berkecamuk, poros Barat-Arab, juga Turki, selalu berusaha menjadikan isu kemanusiaan sebagai dalih untuk mendukung kelompok teroris di Suriah. Pada saat yang sama, banyak teroris yang aktif di Idlib merupakan warga Rusia, Kaukasia, dan Asia Tengah yang memicu kekhawatiran Moskow.
Para pejabat tinggi Rusia mengkhawatirkan kembalinya para teroris dari Suriah ke negara-negara ini akan membuka babak baru aksi-aksi terorisme. Oleh karena itu, keterlibatan Moskow mendukung penumpasan teroris di Idlib yang merupakan pangkalan terakhir teroris di Suriah, sebagai langkah Rusia menyelamatkan bangsa dan negaranya sendiri dari potensi ancaman terorisme.(PH)