Snapback, Upaya Tak Berdasar AS Pulihkan Sanksi terhadap Iran
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo mengadakan konferensi pers pada hari Kamis (20/8/2020) setelah bertemu dengan anggota Dewan Keamanan PBB dan menyerukan pemulihan sanksi terhadap Republik Islam Iran.
Enam hari setelah upaya pemerintahan Presiden Donald Trump untuk memperpanjang embargo senjata terhadap Iran gagal dalam kekalahan yang memalukan di Dewan Keamanan PBB, Pompeo pergi ke markas besar PBB pada hari Kamis untuk mencoba lagi upaya serupa.
Namun kali ini, Pompeo melangkah lebih jauh, dia mendorong Dewan Keamanan PBB tidak hanya memperpanjang embargo senjata terhadap Iran yang akan berakhir pada 18 Oktober 2020, tetapi juga memulihkan semua sanksi terhadap Tehran yang sempat dihentikan lima tahun lalu oleh Dewan Keamanan PBB.
Penangguhan sanksi tersebut merupakan bagian dari Resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB, yang mendukung perjanjian multinasional -yang secara resmi dikenal sebagai JCPOA (Rencana Aksi Komprehensif Bersama)- untuk membatasi program nuklir Iran.
Namun para diplomat Eropa, Cina dan Rusia - kekuatan lain yang menjadi perantara kesepakatan selama pemerintahan Obama - mempertanyakan legalitas permintaan tersebut karena AS tidak lagi menjadi bagian dari perjanjian nuklir JCPOA.
Dalam suratnya kepada para pemimpin PBB, Pompeo mengutip di antara contoh-contoh yang disebutnya sebagai "tak terbantahkan" dari ketidakpatuhan Iran terhadap perjanjian nuklir seperti pengayaan uranium Tehran di luar batas JCPOA sebesar 3,67%, akumulasi cadangan uranium yang diperkaya yang melebihi 300 kilogram, dan akumulasi air berat "berlebih".
Dengan demikian, Pompeo untuk pertama kalinya menggunakan apa yang dikenal sebagai "snapback". Ini adalah ketentuan dalam resolusi PBB yang menetapkan bahwa jika ada "Negara peserta JCPOA" yang memberi tahu Dewan Keamanan tentang pelanggaran signifikan kesepakatan nuklir oleh Iran, sanksi yang dicabut pada Januari 2016 akan secara otomatis diberlakukan kembali dalam waktu 30 hari kecuali Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang berlawanan.
Namun pemerintahan Trump telah menarik diri dari JCPOA pada Mei 2018 dan kemudian secara sepihak memberlakukan kembali sanksi sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai kampanye "tekanan maksimum" terhadap Iran.
Duta Besar Republik Islam Iran untuk PBB Majid Takht Ravanchi menyatakan bahwa AS telah mendiskualifikasi dirinya sendiri dari mekanisme "snapback" dengan menarik diri dari kesepakatan nuklir JCPOA.
"AS bukan peserta JCPOA dan tidak memiliki hak untuk memicu apa yang disebut mekanisme snapback, dan interpretasi sewenang-wenangnya atas resolusi 2231 tidak dapat mengubah kenyataan ini," kata Majid Takht Ravanchi.
Dia menambahkan, kami sangat yakin bahwa surat yang dikirim oleh AS hari ini kepada presiden Dewan Keamanan dan semua referensi di dalamnya batal demi hukum, dan semua itu tidak memiliki kedudukan dan dasar hukum.
Sementara itu, negara-negara lain yang menjadi perantara perjanjian nuklir JCPOA: Inggris, Cina, Perancis, Jerman dan Rusia, bersama dengan Uni Eropa bersikeras bahwa AS tidak dapat memaksakan sanksi internasional pada kesepakatan yang tidak lagi diakui.
"AS tidak dapat dianggap sebagai peserta JCPOA," kata Komisi Eropa dalam sebuah pernyataan, mengacu pada perjanjian nuklir JCPOA. Oleh karena itu, lanjut pernyataan itu, kami menganggap bahwa AS tidak dalam posisi untuk menggunakan mekanisme yang disediakan untuk para peserta JCPOA, termasuk snapback sanksi.
Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan, langkah ilegal AS untuk menyalahgunakan mekanisme yang terdapat dalam perjanjian nuklir JCPOA guna memulihkan sanksi terhadap Iran, tertolak.
Zarif dalam suratnya kepada Presiden Dewan Keamanan PBB pada hari Kamis, 20 Agustus 2020 menegaskan bahwa AS tidak memiliki hak untuk memulihkan sanksi terhadap Iran, oleh karena itu, langkah AS itu harus ditolak oleh Dewan Keamanan dan masyarakat internasional.
Pasca keluar dari kesepakatan nuklir JCPOA pada Mei 2018, AS terus berusaha agar perjanjian ini berakhir dan akan disepakati perjanjian baru. Langkah pertama yang diambil AS adalah menerapkan tekanan maksimum dan sanksi ekonomi di berbagai sektor terhadap Iran.
Apa yang dilakukan AS tersebut sebenarnya merupakan penggaran nyata terhadap JCPOA, sebab, perjanjian ini telah menjamin kepentingan ekonomi Iran. Karena kebijakan tekanan maksimum terhadap Iran gagal, maka Brian Hook yang menjadi penanggung jawab kebijakan ini terpaksa mengundurkan diri dari pemerintahan Trump.
Setelah langkah pertama gagal, para pejabat AS melakukan perjalanan ke beberapa negara Eropa untuk meyakinkan negara-negara itu agar mendukung draf resolusi di Dewan Keamanan PBB guna memperpanjang embargo senjata terhadap Iran. Namun setelah draf resolusi itu diajukan ke Dewan Keamanan PBB pada pekan lalu, hanya satu negara kecil yang mendukungnya, sehingga AS lagi-lagi gagal dalam upayanya tersebut.
Sejak keluar dari JCPOA, langkah-langkah anti-Iran yang diambil AS di Dewan Keamanan PBB selalu gagal. Setelah kegagalan-kegagalan yang dialami, kini Washington akan mengambil langkah tak berdasar lagi dengan mengadukan Iran ke Dewan Keamanan PBB karena dianggap AS melanggar perjanjian nuklir JCPOA, di mana ini tidak memiliki dasar hukum, karena AS sendiri telah keluar dari perjanjian ini.
AS masih berusaha menggunakan Resolusi 2231 Dewan Keamanabn PBB terkait JCPOA untuk mendukung langkahnya dengan alasan bahwa sebelumnya, AS adalah anggota perjanjian nuklir tersebut. Ini jelas bertentangan dengan JCPOA sendiri, dan aggota lainnya dari perjanjian tersebut juga menegaskan bahwa AS tidak lagi memiliki hak untuk menggunakan mekanisme snapback.
Bagi masyarakat internasional, bukan rahasia lagi bahwa AS sering menyalahgunakan dan menginjak-injak mekanisme dan aturan internasional. Dalam kondisi seperti ini, komunitas internasional tentunya harus berkomitmen untuk menegakkan hukum dan peraturan, perjanjian dan kesepakatan, dan peraturan yang berlaku di antar negara-negara, di mana fakta ini menunjukkan "tidak" pada kebijakan AS yang merusak fondasi stabilitas dan keamanan global. (RA)