Upaya Macron untuk Menjustifikasi RUU Anti-Islam di Perancis
Anti-Islam telah meningkat di Eropa sejak 9/11, dan serangan ekstremis Daesh (ISIS) di beberapa negara Eropa, seperti Perancis dan Inggris, telah mempercepat Islamophobia dan permusuhan terhadap Muslim. Pemerintah Perancis sekarang bermaksud untuk mengintensifkan pendekatan anti-Islam dengan mengeluarkan undang-undang.
Presiden Perancis Emmanuel Macron pada hari Jumat (02/10/2020) berusaha menjustifikasi RUU anti-Islam di negara itu. Selain meluncurkan RUU terbaru, Macron mengklaim berusaha memerangi istilah ekstremisme Islam di Perancis. "Islam adalah agama yang mengalami krisis di seluruh dunia saat ini. Kami tidak melihat masalah ini hanya di negara kami sendiri," kata presiden Perancis. Menurutnya, "Sekularisme adalah dasar dari Perancis bersatu." Macron telah mengklaim bahwa dia bermaksud untuk mencegah agen asing mempengaruhi Muslim di negara itu.

RUU tersebut umumnya tentang memperkuat sekularisme dan memisahkan lembaga-lembaga keagamaan, termasuk gereja, dari negara, tetapi juga termasuk melawan investasi asing dalam membangun masjid swasta dan sekolah agama serta menghadapi para imam berkebangsaan asing di Perancis. Kamel Kabtane, pengelola masjid Lyon menjawab klaim ini bahwa tujuan dari RUU itu untuk memerangi separatisme dalam masyarakat Perancis. Menurutnya, "Apa yang menyebabkan perpecahan? Bukan Muslim yang harus disalahkan, mereka hanya menginginkan persatuan."
Klaim absurd Macron tentang situasi kritis Islam di dunia telah dibuat sementara, bertentangan dengan kata-katanya yang tidak berdasar, statistik menunjukkan pertumbuhan Islam yang cepat di Eropa dan peningkatan jumlah Muslim, dan tentu saja ini adalah tren yang dapat dilihat di seluruh dunia. Sementara Macron mengklaim melawan apa yang dia sebut sebagai Islam ekstrem.
Padahal, dengan melihat berbagai peristiwa dalam dekade terakhir menunjukkan bahwa beberapa negara Eropa seperti Perancis dan Inggris bersama dengan Amerika Serikat telah memainkan peran kunci dalam penyebaran kelompok teroris takfiri seperti ISIS. Tujuan Barat adalah untuk mencapai target regional mereka, terutama memerangi poros perlawanan di Asia Barat, dengan bermaksud menggulingkan pemerintah Suriah yang sah, dengan menggunakan alat-alat ekstremis Takfiri.
Namun, bukan hanya mereka tidak mencapai tujuan ini, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, teroris ISIS telah mengalihkan serangan mereka ke pendukung Eropa mereka dan melakukan banyak tindakan teroris di dalamnya. Nyatanya, api yang dinyalakan negara-negara Eropa telah membakar mereka sendiri.
Masalah lain adalah bahwa Macron, saat mempresentasikan rencana barunya, mengklaim telah menetapkan pemisahan politik dan agama atau sekularisme dan juga melemahkan lembaga-lembaga Islam seperti masjid, yang secara praktis dibiarkan terbuka oleh pemerintah Perancis untuk tindakan anti-Islam. Contoh nyata dari ini adalah langkah baru-baru ini oleh Charlie Hebdo untuk menerbitkan ulang kartun menghina Nabi Muhammad Saw.

Setelah protes yang meluas di dunia Muslim terhadap tindakan menghina Charlie Hebdo, Macron secara terang-terangan menyebut berucap kufur sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Macron mengklaim, "Saya di sini untuk membela kebebasan ini." Tidak jelas apa yang dia maksud dengan kebebasan. Apakah menghina dan mengejek kesucian satu setengah miliar Muslim merupakan tanda kebebasan di Perancis?
Jika memang demikian, mengapa penulis dan cendekiawan seperti Roger Garaudy yang mempertanyakan Holocaust dijatuhi hukuman penjara? Faktanya, konsep kebebasan dari sudut pandang politisi seperti Macron adalah konsep yang sepihak, yaitu kebebasan di bidang anti-Islam.