Tantangan Pengurangan Senjata Nuklir
Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengklaim bahwa Rusia tidak tertarik pada dialog lebih lanjut yang ditujukan untuk pengurangan persenjataan nuklir.
"Ketika saya pertama kali terpilih sebagai Presiden AS, perjanjian START-II [Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis] yang bertujuan mengurangi stok senjata nuklir AS dan Rusia dilaksanakan. Saya pikir kita bisa bergerak maju, tapi Moskow sejauh ini tidak menunjukkan ketertarikannya," kata Obama dalam wawancara dengan televisi NHK Jepang, Sabtu (21/5/2016).
Obama mengatakan bahwa pada saat yang sama ada kemajuan dalam situasi perlucutan senjata nuklir di dunia, di mana kekuatan-kekuatan utama nuklir tidak membangun senjata baru.
Rusia dan AS sebagai dua negara dengan stok persenjataan nuklir terbesar di dunia, memiliki kesepakatan tentang pengaturan jumlah hulu ledak nuklir. Berdasarkan perjanjian New START yang ditandatangani Moskow dan Washington pada tahun 2010, kedua pihak harus membatasi jumlah rudal balistik berhulu ledak nuklir maksimal 1.550 buah. Mereka juga harus membatasi jumlah sistem roket jarak jauh dan pembom berat sebanyak 700 unit.
Obama melontarkan klaim seperti itu terhadap Rusia ketika AS sendiri – sebagai salah satu kekuatan utama nuklir – melaksanakan program besar-besaran untuk peremajaan dan pengembangan lebih lanjut persenjataan nuklir.
Menurut para pejabat Rusia, meskipun adanya langkah-langkah internasional untuk memangkas cadangan senjata nuklir terutama pelaksanaan Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT), namun AS justru bertekad untuk mempertahankan arsenal nuklirnya.
Kebijakan itu diambil dengan alasan keberadaan program modernisasi nuklir di negara-negara rival AS khususnya Rusia dan Cina, di mana kedua negara tersebut khususnya Rusia mengalokasikan dana besar untuk modernisasi pasukan nuklir strategisnya.
Rusia ingin meremajakan lebih dari 70 persen dari arsenal nuklir strategisnya sampai tahun 2020. Meski demikian, AS – jika dibandingkan dengan Rusia – memiliki program yang jauh lebih luas untuk modernisasi nuklirnya. Kantor Akuntabilitas AS dalam laporannya pada Agustus 2015 menyatakan bahwa program 25 tahun modernisasi nuklir akan menelan biaya lebih dari 293 miliar dolar.
Wakil Menteri Pertahanan AS, Bob Work pada Juni 2015 mengatakan, AS memerlukan dana lebih dari 270 miliar dolar untuk memodernisasi angkatan penangkal nuklirnya sampai tahun 2035.
"Sebuah kekuatan penangkal nuklir yang kuat akan tetap penting untuk keamanan nasional AS di masa mendatang. Ini adalah prioritas utama untuk Departemen Pertahanan," tegas Bob Work.
Dapat dikatakan bahwa meskipun adanya upaya internasional untuk mengurangi cadangan persenjataan nuklir, namun kekuatan-kekuatan nuklir dunia tetap ingin memodernisasi program senjata nuklirnya. Dalam hal ini, lima negara yang dikenal sebagai kekuatan utama nuklir yakni; AS, Rusia, Cina, Perancis, dan Inggris, sedang membangun senjata nuklir baru atau menempatkan sistem peluncur nuklir atau menyusun program untuk melakukan itu.
Pada dasarnya, negara-negara tersebut tidak serius memikirkan masalah pengurangan arsenal nuklir atau menetapkan jadwal untuk penghancuran senjata nuklirnya. Jadi, tudingan Obama terhadap Rusia hanya sebuah langkah pasif untuk menyudutkan posisi Moskow, tanpa sedikit pun menyinggung program luas Washington untuk pengembangan senjata nuklirnya. (RM)