Mengenal Para Ulama Besar Syiah (44)
Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita' termasuk ulama besar dan marja Syiah di abad 13 H dan murid terkenal Allamah Wahid Behbahani dan Allamah Bahrul Ulum. Setelah meninggalnya sang guru (Allamah Bahrul Ulum), Syeikh Kashif al-Ghita' menggantikannya sebagai pemimpin dan marja Syiah.
Ja'far bin Khidr bin Yahya Janani Hilli Najafi, atau yang dikenal dengan Syeikh Ja'far Najafi dengan gelar Kashir al-Ghita', Syeikh Kabir dan Syeikh al-Masyayikh, termasuk ulama dan marja besar Syiah di abad ke-13 H.
Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita' dilahirkan tahun 1154 H di kota Najaf, Irak. Nasab dan silsilahnya sampai kepada Malik al-Ashtar, sahabat setiap dan komandan kuat pasukan Imam Ali bin Abi Thalib as. Ayah beliau bernama Khidr dan termasuk ulama serta orang zuhud saat itu. Khidr bin Yahya warga kota Hilla dan pergi ke kota Najaf untuk belajar serta tinggal di kota ini.
Syeikh Ja'far juga dilahirkan di kota Najaf dan memulai pelajaran agamanya di Hauzah Ilmiah Karbala. Selanjutnya ia pergi ke kota Najaf dan belajar dari berbagai guru besar di Hauzah Najaf. Lambat laun, reputasi ilmu dan keutamaan Kashif al-Ghita' menyebar di seminari-seminari (Hauzah), dan para ulama dari berbagai agama dan sesepuh agama mereka mengakuinya sebagai ulama dan cendekiawan Syiah yang tak terbantahkan.
Dia melakukan perjalanan ke negara-negara Islam termasuk Hijaz, Iran dan Palestina dan pengikut Syiah di berbagai bagian negara Islam berkenalan dengan lautan pengetahuan dan kepribadiannya yang saleh dan efektif. Oleh karena itu, Kashif al-Ghita' praktis menjadi marja kaum Syi'ah di dunia. Luasnya pengaruh dan penerimaannya di kalangan masyarakat menyebabkan para penguasa negara-negara Islam memberinya tempat khusus.
Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita memiliki banyak karya di bidang ilmu-ilmu agama seperti fikih dan ushul fikih. Karya terkenal beliau adalah "Kashf al-Ghita 'aan Mubhamat al-Syariah al-Gharra' ". Syeikh Ja'far dikenal dengan panggilan Kashif al-Ghita' juga karena karyanya ini.
Kitab Kashf al-Ghita' tercatat sebagai kitab terpenting Syiah di bidang akidah, fikih dan usul fikih, serta memiliki keistimewaan tersendiri. Kitab ini ditulis dalam tiga bidang, akidah, usul fikih dan bab-bab fikih, serta membuktikan kebenaran Syiah Itsna Asyariah. Pentingnya dan kelengkapan buku ini di kalangan ulama dan ahli hukum Syi'ah sedemikian rupa sehingga dikutip bahwa Syeikh Morteza Ansari, seorang ahli hukum terkenal dan tak tertandingi dari abad ketiga belas, mengatakan: "Jika ada yang tahu aturan dan prinsip-prinsip buku ini, menurutku dia adalah seorang mujtahid.”
Menariknya, Kashif al-Ghatta' menulis buku ini saat bepergian ke Iran, sementara dia tidak membawa buku lain selain buku "al-Qawaid" karya Allamah Hilli, dan ini menunjukkan sejauh mana ulama besar Syiah ini menguasai ilmu agama khususnya ilmu fikih. Dia sendiri telah mengklaim bahwa jika semua buku fikih berada di luar jangkauan saya, saya masih akan dapat menulis semua bab dan topik fikih dari awal hingga akhir. Keahlian ilmiah dan yurisprudensinya dikonfirmasi oleh para ahli hukum zaman itu dan setelahnya.
Salah satu aktivitas penting Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita' adalah memperluas dan memperkokoh metodologi usuli dan melawan arus Akhbari di bidang fikih. Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa di abad 11 H, konfrontasi antara kelompok usuli dan Akhbari sangat serius dan sedikit demi sedikit ideologi Akhbari menang atas ideologi Usuli. Namun sejak awal abad ke-13 dan dengan perjuangan Allamah Wahid Behbahani, ideologi Usuli mulai kuat. Ulama besar ini dengan mendidik murid mumpuni dan menulis karya besar, mampu memperkuat sendi-sendi pemikiran usuli dan salah satu muridnya, yakni Allamah Kashif al-Ghita mampu memainkan peran penting dalam memajukan tujuan gurunya tersebut.
Akhbari dan Usuli, dua arus pemikiran di bidang fikih Syiah, dan masing-masing memiliki metodologi berbeda untuk memahami hukum agama, tapi tidak memiliki perbedaan di bidang teologi dan akhlak. Di antara pendukung setiap pemikiran ini, terdapat nama ulama besar, cendikiawan dan arif besar, yang tanpa fanatisme bersedia mengemukakan pandangannya dan membelanya. Hal ini merupakan sumber penting bagi mazhab Syiah.
Tapi seperti ideologi lainnya, ada sejumlah pengikutnya yang memilih metode radikal dan kurang adil. Salah satu perbedaan terpenting antara kedua aliran ini adalah bahwa kaum Akhbari percaya bahwa sumber utama untuk menemukan perintah-perintah agama hanyalah hadits dan riwayat, dan dalam memahami riwayat, mereka menganggap zahir hadits saja sudah cukup dan menolak campur tangan akal, argumentasi dan kajian riwayat. Mereka menganggap seluruh hadis di empat kitab utama Syiah (Kutub Arbaah) seluruhnya sahih, dan bahkan meyakini untuk memahami al-Quran dibutuhkan adanya hadis di penafsirannya. Dengan demikan mereka mengharamkan ijtihad dan lemah dalam menjawab isu-isu baru.
Namun, kaum Usuli memiliki pandangan yang berbeda, mereka percaya bahwa sumber utama untuk menemukan ajaran agama adalah Al-Qur'an, hadits, akal, dan Ijma. Mereka percaya bahwa akal dengan sendirinya dapat menjadi sumber untuk menemukan ajaran agama, tapi akal yang sehat dan terdidik, asalkan digunakan dengan benar, yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan tertentu. Mereka telah memperkenalkan aturan yang disebut hubungan antara akal dan wahyu, yang menurutnya, apa pun yang ditentukan syariat, akal juga mengaturnya, dan apa pun yang ditentukan oleh akal, itu juga diterima oleh syariat. Selain itu, kaum usuli (fundamentalis) percaya bahwa akal memainkan peran penting dalam memahami hadis dan Al-Qur'an.
"Ijma" adalah salah satu dari empat sumber kaum usuli untuk menemukan ajaran agama, dan itu berarti bahwa jika tidak ada cukup bukti dan narasi Al-Qur'an tentang suatu masalah, ada cara lain untuk menemukan pendapat agama di kasus tersebut dan bahwa semua ulama harus mencapai satu pendapat tentang apa pendapat Imam (as) tentang masalah tertentu. Perbedaan ijma' antara Sunni dan Syi'ah adalah bahwa kaum Sunni dalam ijma' tidak memperhatikan penemuan pendapat Imam Maksum (as) dan percaya bahwa segala sesuatu yang dikatakan semua ulama karena itu adalah kesepakatan para ulama, maka itu benar, tetapi Syi'ah percaya bahwa ijma' (konsensus) para ulama hanya benar ketika didukung oleh pendapat Imam Maksum.
Dengan kata lain, ketika kita tidak memiliki ayat Al-Qur'an atau hadits yang jelas tentang suatu masalah, para ulama, dengan pengetahuan dan keahliannya mereka yang lengkap tentang Al-Qur'an dan hadits, sampai pada kesimpulan bahwa pendapat para Imam maksum dalam hal ini adalah ini. Ketika semua ulama mencapai satu kesimpulan dalam kasus seperti itu dalam suatu periode, kesimpulan ini wajib sebagai perintah agama. Ulama Akhbari menentang akal dan ijma’ meskipun keduanya merupakan salah satu sumber fikih, tidak membolehkan ijtihad dan taqlid dari non-maksum.
Syeikh Ja'far, yang merupakan salah satu peserta pendidikan sekolah usuli di hadapan Allamah Wahid Behbahani, memiliki kehadiran yang kuat dan efektif dalam proses ini. Pada saat itu, wakil dan sesepuh kelompok Akhbari, Syekh Mohammad bin Abdul Nabi Neyshabouri, yang dikenal sebagai Mirza Mohammad Akhbari, yang sangat menentang kaum fundamentalis, yaitu pendukung akal dan penalaran, dan dalam oposisinya tidak segan-segan menggunakan kesalahan, fitnah atau penghinaan terhadap ulama. Jika Syekh Mohammad berhasil membuat orang pesimis tentang metode usulitidak dan ijtihad, maka ijtihad, dengan kata lain, menggunakan akal dalam memahami agama dan aturan-aturan agama, akan berkembang untuk waktu yang lama dan membuka jalan bagi pemahaman yang dangkal dan penyimpangan terhadap agama.
Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita' melakukan yang terbaik untuk menghadapi arus ini dan Syeikh Muhammad Akhbari. Dia menulis sebuah buku berjudul "Kashf al-Ghita' tentang kekurangan Mirza Muhammad" di mana dia menyerang ide-ide tak berdasar Mirza Mohammad Akhbari dan mengklarifikasi kekurangannya kepada semua orang. Mirza Mohammad merasa terancam tinggal di Irak dan datang ke Iran untuk menggunakan dukungan Fath-Ali Shah, tetapi Kashif al-Ghita' menulis buku yang menolak ideologi Mirza Mohammad Akhbari kepada Fath-Ali Shah agar Mirza Mohammad Akhbari tidak menemukan pangkalahnnya di Iran.
Hal ini menyebabkan Fath-Ali Shah menarik dukungannya. Syekh Ja'far menulis karya-karya lain yang menolak keyakinan Akhbariun dan melakukan banyak upaya dalam ceramah dan diskusi dan secara praktis untuk menginformasikan orang-orang dan ulama tentang metode ijtihad dan berkahnya, serta kekurangan dan aib dari mengabaikan akal dan nalar dalam memahami agama, yang sangat efektif melemahkan aliran Akhbari dan menyebarkan metode ushuli (fundamentalisme).
Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita' seorang ulama sosial dan politik yang selain aktif di bidang ilmiah, juga sangat memperhatikan urusan orang muslim. Ia bahkan memakai pakaian perang untuk keselamatan kaum Muslim dan menjaga nyawa serta kehormatan mereka. Beliau juga tidak enggan menjalin hubungan konstruktif dan efektif dengan para penguasa. Oleh karena itu, ia berulang kali berhasil mencegah terjadinya perang dan pertumpahan darah di antara penguasa Islam.