Mengenal Para Ulama Besar Syiah (47)
Mirza Abolghasem Gilani atau dikenal dengan Mirza-ye Qomi penulis buku Qawanin al-Usul yang selama bertahun-tahun menjadi mata pelajaran utama hauzah ilmiah Syiah.
Mirza Qomi memiliki sifat-sifat dan akhlak mulia seperti berusaha keras dalam menuntut ilmu, sangat perhatian terhadap urusan umat muslim serta berani dalam menjelaskan kebenaran dan membelanya. Ilmu dan perilaku mulianya juga sangat berpengaruh dalam membimbing masyarakat dan pemerintah.
Salah satu karya penting Mirza Qomi adalah Ershade Nameh (Surat Bimbingan). Ulama besar Syiah ini dikenal sebagai sosok yang tak kenal lelah dalam memberi nasehat dan petunjuk serta amar makruf nahi munkar. Tanpa kenal takut kekuasaan dan dominasi para penguasa Qajar, beliau kerap memberi nasehat para raja dan memperingatkan supaya mereka tidak tenggelam dalam kezaliman dan bergelut dengan kekafiran dan penyimpangan agama. Ulama besar ini memiliku dua karya surat nasehat yang ditujukan kepada para penguasa Qajar yang sampai ke tangan kita saat ini. Salah satu surat tersebut ditulis ketika Mirza Qomi berusia 50 tahun dan ditujukan kepada Agha Mohammad Khan Qajar dan yang lain ditulis ketika ia berusia 80 tahun dan ditujukan kepada Fath Ali Shah Qajar. Kedua surat tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Ershad Nameh Mirza-e Qomi. Dan dicetak dengan nama ini.
Sepertinya surat pertama Ershad Nameh ditujukan kepada Agha Mohammad Khan Qajar, raja pertama dan pendiri Dinasti Qajar. Agha Mohammad Khan, seorang raja yang berhati dingin, meski ia memiliki kecenderungan terhadap agama, tapi mengingat kekurangan dan penyimpangan keyakinan serta tidak mendapat pendidikan yang benar terkait agama, ia menganggap dirinya layak untuk melakukan kezaliman.
Untuk membuat suratnya lebih efektif dan berpengaruh, di bagian pertama suratnya, Mirza Qomi menulis, "Surat ini bukan nasehat dari orang pintar kepada mereka yang bodoh, dan juga bukan untuk memberi petunjuk orang yang tersesat, tapi sekedar pembahasan dan musyawarah dua orang pintar, tanpa memandang dirinya seorang yang pintar atau marja."
Melalui retorikanya ini, marja Syiah ini sejatinya menghapus penentangan raja untuk menolak nasehat. Ia menyebutkan dirinya sebagai seorang hampa yang bersalah dihadapan Tuhan, dan ia serta raja adalah hamba yang memiliki kewajiban dihadapan Tuhan semesta alam. Ia kemudian mulai membahas masalah utama dengan mengingatkan dirinya tidak ada kesengajaan dalam menulis surat ini.
Setelah menulis pembukaan seperti ini, Mirza Qomi dengan berani dan transparan menyebutkan poin-poin sangat penting yang sejatinya dimaksudkan untuk menghilangkan kesesatan sang raja. Kesesatan yang mengijinkan benak raja untuk melakukan kezaliman dan despotisme.
Di antara kesalahan disengaja dan tidak disengaja raja muslim adalah ketika mendengar sebuah hadis yang menyebut raja adalah «ظل اللّه» (bayangan Tuhan), ia menganggap dirinya dapat melakukan apa saja dan tidak memiliki tanggung jawab dihadapan Tuhan dan makhluk Tuhan. Teks asli hadis yang diisyaratkan tersebut adalah Rasulullah Saw bersabda yang artinya, "Raja adalah bayangan Tuhan di bumi, di mana orang-orang yang tertindas berlindung kepadanya. Jika ia adil maka akan mendapat pahala dan terima kasih kepada orang-orang, tapi jika ia keluar dari keadilan, maka ia berdosa." Tapi masyarakat awam tidak mengetahui kelanjutan dari hadis tersebut dan hanya mendengar jumlah raja adalah bayangan Tuhan. Mirza Qomi di Ershad Namehnya menyebutkan makna sebenarnya dari jumlah "Bayangan Tuhan" supaya menyelamatkan pikiran raja dari penafsiran keliru dan memberi pelajaran kepada raja bahwa ia akan bertanggung jawab dihadapan Tuhan atas setiap perbuatannya.
Arti pertama dari raja bayangan Tuhan yang disebutkan Mirza Qomi adalah seperti ketika manusia berlindung di bawah rindangnya pohon saat matahari bersinar terik supaya aman dari suhu panas, karakter dan metode raja juga harus membuat hamba Tuhan berlindung kepadanya dari kezaliman. Arti kedua adalah mengingat bayangan setiap sesuatu memiliki kesamaan dengan pemilik bayangan meski tidak stabil, maka raja ketika sedang terpolusi dengan kepentingan fisik, harus menjadikan dirinya seperti Tuhan agar ia dapat disebut sebagai bayangan Tuhan. Dalam pengertian ketiga, Mirza mengatakan bahwa sebagaimana segala sesuatu dapat dipahami dari bayang-bayang segala sesuatu, raja harus bersikap dan bertindak sedemikian rupa sehingga keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dan pencipta agama dapat dipahami darinya. Terakhir Mirza menjelaskan bahwa "Raja adalah manifestasi supremasi kebenaran dan hukum, maksud beliau adalah raja yang taat agama, adil dan penuh kasih sayang bukan setiap raja zalim, kejam dan tidak beragama.
Keyakinan keliru yang ada saat itu dan sumber banyak kezaliman ketika itu adalah keyakinan ini bahwa karena Tuhan membuat raja kuat, maka apa yang ia lakukan adalah benar, jika sebaliknya, maka Tuhan yang Maha Kuat tidak akan menjadikan orang tersebut sebagai raja. Mirza Qomi dengan penjelasan ilmiah dan rasional serta sederhana telah membatalkan pemahaman keliru ini. Ia menulis, “Jika seseorang mengatakan bahwa karena sebuah kerajaan ditakdirkan, maka perlu bahwa perbuatan raja juga ditentukan (oleh Tuhan) dan Tuhan senang dengan semua perbuatannya.” Saya mengatakan kepadanya bahwa karena itu Firaun juga tidak boleh disalahkan, karena kerajaannya juga ditakdirkan, dan ini jelas bertentangan dengan agama."
Surat kedua yang dikenal dengan Shad Nameh (Surat Kesenangan) dari Mirza Qomi ditujukan kepada Fath-Ali Shah Qajar. Di zaman itu, kaum sufi berusaha keras untuk memasuki istana dan menebar pengaruhnya serta menyeret raja ke kubunya. Salah satu penyair terkenal sufi seraya mengirim buku dan catatan kepada raja berusaha menarik perhatiannya kepada aliran ini. Fath-Ali Shah memberi risalah (buku) tersebut kepada Mirza Qomi. Kemudian raja ingin Mirza memeritahu kepadanya hal-hal yang benar dan salah di risalah tersebut, karena ia mengenal Mirza sebagai seorang ulama yang pintar dan bertakwa.
Mirza yang saat itu telah berusia lanjut dan karena merasa bertanggung jawab atas masuknya pengaruh sufi ke istana dengan bersungguh-sunggung membalas permintaan raja tersebut dalam sebuah surat.
Tasawuf muncul di komunitas Muslim di akhir abad kedua hijriyah dan ditolak para Imam Maksum dan para ulama saat itu, karena pemikiran dan akidahnya yang menyimpang dari prinsip dan keyakinan Islam. Salah satu keyakinan keliru kelompok ini adalah manusia ketika sampai di satu titik derajat khusus irfan, maka ia tidak lagi membutuhkan untuk melakukan kewajiban agama seperti shalat dan puasa, atau memperhatikan hal-hal haram atau halal yang pada akhirnya ia dibebaskan untuk melakukan segala bentuk kesalahan dan kemunkaran. Keyakinan kaum sufi ini membuat mereka secara praktis keluar dari lingkaran agama. Dengan demikian, ulama Syiah sangat sensitif untuk memberi pencerahan kepada masyarakat atas penyimpangan ini.
Dalam surat ini, Mirza Qomi telah secara eksplisit menulis kepada Shah bahwa Anda tidak mengetahui masalah mistik, filosofis, dan yurisprudensi yang sebenarnya dan dikhawatirkan bahwa bergaul dengan orang-orang ini akan mengalihkan Anda dari mazhab Ahlul Bait as yang asli. Mirza mendorong raja untuk mempelajari kitab Haq al-Yaqin dan Ain al-Hayat tulisan Allamah Majlisi untuk membangun keyakinan agama yang benar, dan menekankan bahwa para sufi harus mendiskusikan masalah tersebut dengan orang seperti saya yang fasih dalam masalah mistik dan filosofis. Dalam kelanjutan suratnya, ulama besar ini memperingatkan raja untuk berhati-hati dalam hal ini, karena penyimpangan raja juga dapat menyebabkan orang menyimpang dari agama.
Di bagian lain surat Mirza Qomi, dia memperingatkan Shah untuk menentang kelompok yang mencoba secara tidak adil menyebut raja "Ulil Amri" dan tidak mengizinkan hal seperti itu. Penafsiran "Ulil Amri" diambil dari ayat 59 Surat An-Nisa' di mana Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu." Beberapa ahli tafsir Sunni menganggap "ulil amri" berarti penguasa dan pemimpin. Namun, ulama Syi'ah, mengutip hadits otentik dari Imam Baqir as dan Imam Ja'far as, menganggap arti "ulil amri" dalam ayat ini sebagai Imam maksum dari keluarga Nabi (Saw). Mirza Qomi meminta raja untuk tidak membiarkannya disebut ulil amri, karena ini akan menyebabkan kerusakan di masyarakat dan keyakinan rakyat.
Imam Hadi (as) mengatakan: "Jika bukan karena keghaiban Qaim (Imam Mahdi) yang jujur, akan ada ulama yang akan menyeru (orang-orang) dan membawanya ke keberadaannya dan membela agamanya dengan argumen ilahi, dan membebaskan hamba-hamba Allah yang tak berdaya dari cengkeraman setan dan pengikutnya, maka tak diragukan lagi seluruh manusia akan keluar dari agama Tuhan. "
Mirza Qomi adalah salah satu ulama yang menyeru manusia kepada Tuhan dan membela agama kebenaran. Setelah delapan puluh tahun menjalani kehidupan yang keras dan penuh berkah pada tahun 1231 H, ia menerima panggilan Tuhan dan kembali ke sisi-Nya. Acara tasyi jenazah ulama besar ini dihadiri sejumlah besar orang Syi'ah dan akhirnya dimakamkan di kota Qom dan dekat Haram Sayidah Ma'sumah.