Des 10, 2019 16:16 Asia/Jakarta
  • kemajuan iptek Iran
    kemajuan iptek Iran

Pertumbuhan stabil dan cepat produksi ilmu pengetahuan di Iran dalam dua dekade terakhir mendapat apresiasi dari tokoh dalam dan luar negeri. Majalah New Scientist mengumumkan, dalam kurun waktu 30 tahun, sejak 1980 hingga 2010, pertumbuhan output ilmu pengetahuan Iran 11 kali lipat lebih banyak dari rata-rata dunia.

Peningkatan 50 kali lipat aktivitas publikasi dalam waktu dua dekade sejak 1998 sampai 2017 (berdasarkan situs Scimago) menjadi bukti lahirnya kemampuan ilmu pengetahuan luar biasa di dunia ini. 
 
Selain itu terjadi penambahan sedikit jumlah makalah ilmiah dengan perbaikan indeks-indeks kualitas seperti h-index dan sumbangan makalah menarik dunia.
 
Menurut data yang dirilis Islamic World Science Citation Center, ISC, pada tahun 2017 di bidang makalah ilmiah menarik dunia, Iran menduduki peringkat 33 dan di antara negara-negara Muslim berada di posisi kedua. 
 
Pertumbuhan jumlah universitas, anggota staf akademik perguruan tinggi dan penerimaan mahasiswa baru untuk jenjang program pascasarjana, serta penganugerahan bantuan kepada mereka, di antara faktor-faktor yang mendorong perbaikan kondisi produksi ilmu pengetahuan di Iran.
 
Scimago Lab, sebagai salah satu pusat survey sains dunia, juga mengukur kemampuan negara-negara di bidang ilmu pengetahuan dengan berbagai indeks evaluasi. Berdasarkan hasil pemeringkatan Scimago, Iran dari sisi publikasi ilmu pengetahuan pada tahun 2017 menduduki peringat ke-16 dunia.
 
Menurut situs SCI, Iran dari sisi jumlah publikasi, dalam 10 tahun terakhir di bidang teknik berada di peringkat 12, di bidang teknik material di urutan ke-11, di bidang kimia di posisi ke-12 dan di bidang matematika di peringkat ke-14 dunia. 
 
Begitu juga di bidang fisika, farmasi dan toksikologi, ilmu komputer, geologi, mikrobiologi dan ilmu antariksa, Iran menduduki peringkat pertama di antara negara-negara Muslim.
 
Tingkat pertumbuhan produksi ilmu pengetahuan Iran di kawasan, beberapa tahun lebih cepat dari yang diperkirakan dengan mendahului Turki tahun lalu.
Publikasi ilmu pengetahuan, hasil riset yang diterbitkan dan kuantitas serta kualitasnya dapat menjadi indeks yang menunjukkan kemampuan penelitian sebuah negara. 
 
Salah satu sistem evaluasi publikasi ilmu pengetahuan adalah "profil sitasi" yang dikirim ke dewan juri sehingga setelah proses evaluasi dan didapatkannya kualitas yang diperlukan, nama pemiliknya dipublikasikan. 
 
Oleh karena itu partisipasi dalam profil sitasi ini menunjukkan kredibilitas pihak yang melakukan publikasi. Situs Web of Science dan Scopus termasuk dua penyedia sistem evaluasi paling kredibel di dunia.
 
Di antara bukti lain yang menunjukkan pertumbuhan kuantitas dan kualitas publikasi ilmu pengetahuan Iran dalam beberapa tahun terakhir adalah kajian terkait tingkat "faktor dampak" publikasi ini. 
 
Faktor dampak merupakan salah satu indeks untuk mengukur pertumbuhan ilmu pengetahuan sebuah negara dengan mengukur dampak sebuah publikasi ilmiah terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan membandingkannya dengan publikasi-publikasi lain. 
 
Indeks ini menjadi indikator banyaknya kutipan atau sitasi pada satu kurun waktu tertentu, biasanya dua tahun, terhadap makalah-makalah ilmiah yang dipublikasikan.
 
Di belahan dunia lain, Jo Cameron, seorang perempuan berusia 71 tahun asal  Inverness, Skotlandia, dianggap berbeda dengan orang lain, perbedaannya adalah bahwa dalam kehidupan sehari-hari, dia sering tidak merasa sakit walau ada bagian tubuh yang mengalami cedera.
 
Bilapun mengalami sakit, dia lebih cepat sembuh dibandingkan kebanyakan orang lain, dan juga tidak mengalami rasa takut atau kecemasan berlebihan seperti yang dialami orang lain. 
 
Sekarang para ilmuwan menemukan bahwa ini disebabkan karena di dalam tubuh Cameron terjadi mutasi gen sehingga apa yang dirasakannya berbeda dengan kebanyakan orang lain.
 
Jo Cameron (duduk di tengah)

Ketika berusia 65 tahun, Jo Cameron harus menjalani operasi karena cedera serius di tangannya namun para dokter yang menanganinya baru menyadari bahwa selama ini Cameron tidak pernah menggunakan obat penghilang rasa sakit sama sekali.

 
"Ketika [dokter] menemukan saya tidak pernah meminum [obat penghilang rasa sakit], dia memeriksa riwayat medis saya dan menemukan saya tidak pernah meminta obat penghilang rasa sakit," kata Jo Cameron kepada BBC.
 
Karena para dokter menyadari bahwa apa yang terjadi pada Cameron adalah hal yang aneh, dia kemudian dirujuk ke ahli genetika nyeri di University College London (UCL), yang meneliti DNA-nya untuk menentukan apa yang membuatnya begitu unik.
 
Mereka kemudian menemukan adanya dua keanehan dalam susunan genetika Jo Cameron. Pertama ada perubahan pada gen yang disebut FAAH, yang merupakan pusat pengaturan sensasi rasa sakit, suasana hati dan ingatan. Penemuan kedua lebih mengejutkan lagi para peneliti.
 
Mutasi gen yang dialami Jo Cameron menekan rasa sakit, sehingga membuatnya tidak membutuhkan pil pereda nyeri (Pexels/JESHOOTS, CC0). Kondisi ini dijuluki FAAH-OUT di mana sebagian para peneliti menduga gen itu sebagai 'gen sampah' yang tidak berfungsi.
 
Sekarang mereka memperkirakan bahwa FAAH-OUT ini adalah gen yang mengatur tinggi rendahnya rasa sakit, suasana hati dan ingatan dalam tubuh kita.
 
Di dalam tubuh Cameron, gen ini bermutasi sehingga pengaturan itu tidak berjalan normal, akibatnya Cameron misalnya tidak merasa sakit walau kulitnya terbakar, atau kalaupun mengalami luka-luka, dia akan sembuh dengan cepat tanpa meninggalkan bekas luka.
 
"Dia melaporkan banyak mengalami luka bakar dan luka lainnya tanpa rasa sakit, sering mencium dagingnya yang terbakar sebelum menyadari adanya luka di badannya dan bahwa luka-luka ini sembuh dengan cepat dengan sedikit atau tanpa meninggalkan bekas luka," kata laporan itu.
 
Dia melaporkan pernah memakan cabai Scotch Bonnet dan tidak mengalami rasa tidak nyaman, kecuali sempat merasakan 'sensasi pedas' sesaat di mulutnya.
 
Dia mengaku pernah mengalami kehilangan memori yang berlangsung lama, dia juga melaporkan tidak pernah merasa panik, bahkan dalam situasi berbahaya atau ketakutan, seperti dalam kecelakaan lalu lintas di jalan yang terjadi baru-baru ini.
 
Para peneliti percaya mutasi itu mungkin diturunkan dari ayah Jo Cameron, yang juga jarang meminta obat penghilang nyeri. 
 
Hasil uji DNA yang kemudian diterbitkan dalam British Journal of Anesthesia,  mengungkapkan dua mutasi yang secara bersamaan menekan rasa sakit dan kecemasan, di sisi lain meningkatkan rasa senang, penyembuhan luka, dan kehilangan ingatan.
 
Para peneliti mengatakan penemuan ini dapat membantu menyoroti peran genetika dalam manajemen nyeri dan percaya mungkin ada lebih banyak orang yang memiliki mutasi yang sama.
 
"Orang-orang dengan kepekaan yang langka terhadap rasa sakit dapat berharga untuk penelitian medis seiring dengan kita mempelajari bagaimana mutasi genetik mereka berdampak pada bagaimana mereka mengalami rasa sakit," kata peneliti utama studi tersebut, James Cox.
 
James Cox mengatakan temuan ini dapat berkontribusi pada riset klinis terhadap rasa nyeri pasca operasi dan rasa gelisah. 
 
"Kami berharap seiring berjalannya waktu, temuan kami dapat berkontribusi pada penelitian klinis untuk rasa sakit dan kecemasan pasca operasi, dan kemungkinan nyeri kronis, PTSD dan penyembuhan luka, mungkin melibatkan teknik terapi gen," imbuhnya.
 
"Implikasi untuk temuan ini sangat besar," kata Devjit Srivastava, penulis laporan ini.
 
Menurutnya, temuan ini mengarah pada penemuan baru penghilang rasa sakit yang berpotensi menawarkan penghilang rasa sakit pasca operasi dan juga mempercepat penyembuhan luka.
 
"Kami berharap ini dapat membantu 330 juta pasien yang menjalani operasi secara global setiap tahun," pungkasnya"[]