Islamophobia di Barat (45)
Edisi kali ini akan menyoroti tentang kondisi Muslim Inggris setahun setelah serangan mobil terhadap kerumunan jamaah shalat di sebuah masjid di kota London.
Setahun setelah serangan teroris rasis Inggris terhadap Muslim di London, Dewan Muslim Inggris menyatakan dalam sebuah rilis bahwa tidak ada tindakan yang diambil dalam perang melawan kejahatan rasial dan juga perang melawan Islamophobia di Inggris.
"Dibandingkan dengan tahun 2016, jumlah serangan terhadap Muslim dan pusat-pusat kegiatan umat Islam di Inggris meningkat dua kali lipat," tambahnya.
Dewan Muslim Inggris dalam keterangannya, mengutip statemen Perdana Menteri Inggris Theresa May, yang mengatakan ekstremisme, termasuk Islamophobia telah dipaksakan di negara ini. Pemerintah akan mengalokasikan anggaran untuk melindungi tempat-tempat ibadah, tetapi setahun setelah serangan itu, perang melawan kebencian dan Islamophobia di Inggris, belum ada kemajuan.
Menurut Dewan, fenomena Islamophobia di Inggris sudah sangat meresahkan. Masjid-masjid di kota Manchester dan Leeds diserang sejak seorang pria, Darren Osborne melakukan serangan teror di dekat Masjid Finsbury Park di London. Surat gelap disebarkan untuk menghasut orang-orang menyerang Muslim di kota-kota Inggris dan bubuk putih yang mencurigakan dikirim ke sejumlah rumah warga Muslim.
Darren Osborne, seorang anggota kelompok supremasi kulit putih dan ekstremis sayap kanan, mencoba menabrakkan mobil vannya ke arah orang-orang yang sedang melakukan pawai peringatan Hari Quds Sedunia di London, tetapi ia terlambat datang ke lokasi acara karena kemacetan. Akhirnya ia mengalihkan serangannya ke Pusat Kesejahteraan Muslim Finsbury Park di utara London.
Dia menabrakkan mobil vannya ke arah kerumunan Muslim yang baru selesai melaksanakan shalat di pusat tersebut. Serangan itu menewaskan Makram Ali (51 tahun) dan menciderai 12 lainnya.
Satu tahun setelah kejadian itu, Dewan Muslim Inggris mengatakan bahwa pemerintah tidak mengambil tindakan yang tepat untuk mengurangi kejahatan kebencian dan meluasnya Islamophobia.
Massoud Shajara, ketua Komisi Hak Asasi Manusia Islam London, mengatakan Islamophobia telah menjadi bagian dari realitas yang mengkhawatirkan di masyarakat Inggris. Menurutnya, media dan para politisi berperan dalam meningkatkan sentimen anti-Muslim.
"Mereka menjadikan Islamophobia sebagai alat dan menghubungkan undang-undang anti-terorisme kepada Islam dan Muslim untuk melegitimasi Islamophobia dan membuatnya mengakar. Meningkatnya sentimen anti-Muslim dan kebangkitan kanan ekstrem sekarang telah mengancam seluruh masyarakat Eropa," ujarnya.
Lebih dari 50 anggota parlemen Inggris, tokoh agama, aktivis politik, dan serikat dagang di Inggris dalam sebuah surat terbuka, memperingatkan bahwa kebangkitan sayap kanan ekstrem dapat menimbulkan sebuah ancaman bagi masyarakat multikultural Inggris.
Surat tersebut menyoroti tentang protes berdarah setelah pendiri kelompok sayap kanan anti-Islam, Liga Pertahanan Inggris (EDL), Tommy Robinson dijatuhi hukuman 13 bulan penjara karena menghina pengadilan.
"Protes-protes berdarah yang dilakukan oleh kubu ekstrem untuk menuntut pembebasan Robinson, telah menimbulkan pertanyaan serius bagi mereka yang menghargai keberagaman masyarakat kita," tambahnya.
Sebuah koalisi dari para tokoh Inggris, juga menuduh Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah mendorong kebangkitan kelompok sayap kanan, dan ia memainkan peran penting dalam melindungi kaum rasis sayap kanan.
"Di mana pun dukungan untuk sayap kanan meningkat, maka rasisme dan kekerasan juga akan tumbuh. Mari bersama-sama kita melindungi masyarakat multikultural kita dari penyebaran kebencian dan perselisihan," seru surat tersebut.
Salah satu kebanggaan masyarakat Eropa adalah gerakan menuju multikulturalisme dan integrasi di antara berbagai etnis dan agama. Salah satu tujuan utama proyek integrasi Eropa dan pembentukan Uni Eropa adalah untuk menciptakan masyarakat multikultural dan menciptakan istilah baru kewarganegaraan Eropa, bukan warga Inggris, Prancis, Jerman, atau Polandia.
Konstitusi Uni Eropa yang dirancang untuk menciptakan integrasi Eropa, ditolak oleh rakyat Belanda dan Prancis dalam sebuah referendum. Meski demikian, para pemimpin Eropa tetap menekankan tekadnya untuk membentuk sebuah masyarakat multikultural, karena negara-negara Eropa harus bergerak menuju konvergensi. Landasan stabilitas dan keamanan Eropa juga berdiri di atas konsep masyarakat multikultural.
Negara-negara Eropa bertetangga dengan negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Laut Mediterania adalah pemisah antara Eropa dengan benua Afrika dan Asia Barat. Benua Afrika dan Asia Barat merupakan daerah koloni bagi negara-negara kolonial Eropa sebelum pecahnya Perang Dunia II.
Banyak dari warga Afrika dan Asia Barat kemudian bermigrasi ke negara-negara Eropa selama periode kolonialisme. Migrasi ini berlanjut setelah banyak dari negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaan. Pemerintah Eropa menyambut kehadiran mereka di negaranya, mengingat kebutuhan Eropa akan tenaga kerja yang murah dan muda.
Namun, bentuk dan model migrasi ke Eropa telah berubah setelah berakhirnya Perang Dingin dan munculnya krisis, serta perang saudara di Afrika, Asia Barat, dan Asia Selatan. Jika sebelumnya migrasi bertujuan untuk bekerja dan belajar di Eropa, maka sekarang muncul gelombang pencari suaka dengan maksud memperbaiki hidupnya atau lari dari konflik.
Para pengungsi ini rata-rata berasal dari negara-negara Muslim di Afrika, Asia Barat, dan Asia Selatan. Fenomena ini kemudian memicu sentimen anti-imigran dan anti-Muslim di Eropa.
Di tengah kebangkitan ekstrimisme sayap kanan dan munculnya gerakan anti-imigran dan anti-Muslim di Eropa, partai-partai kanan dan kiri tradisional di benua tersebut bergabung dengan partai-partai ekstremis dan rasis demi mempertahankan basis massanya.
Masalah Brexit juga erat kaitannya dengan isu imigran dan rencana penerapan pembatasan ketat bagi pengungsi yang ingin ke Inggris. Pemerintah mantan Perdana Menteri David Cameron meminta Uni Eropa memberikan konsesi khusus untuk membatasi aliran imigran ke Eropa.
Cameron tidak menyangka bahwa mayoritas orang Inggris akan memilih untuk keluar dari Uni Eropa. Ia menggelar referendum Brexit dan ternyata rakyat Inggris benar-benar memutuskan keluar dari Uni Eropa.
Kubu kanan ekstrem sekarang memiliki pengaruh besar di hampir semua negara Eropa. Mereka kini berkuasa di Italia, Austria, Hongaria, Polandia, dan Republik Ceko. Di Jerman, sayap kanan ekstrem, Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) tercatat sebagai partai oposisi terbesar di Bundestag.
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah dan media-media Barat justru menyebarkan sentimen anti-imigran dan anti-Islam di tengah masyarakat. Dengan kebijakan ini, mereka ingin mengurangi partisipasi warga Muslim di tengah masyarakat Eropa, memarginalkan mereka, dan mencegah masuknya imigran ke Eropa, terutama Muslim.
Beberapa negara Eropa secara terbuka menyatakan bahwa mereka menolak menerima warga Muslim dalam skema kuota imigran, yang diputuskan oleh Uni Eropa. (RM)