Mengenal Para Ulama Besar Syiah (9)
Artikel ini akan mengkaji pengaruh Muhammad bin Muhammad bin Nu'man (Syeikh Mufid) mengenai kedudukan akal dalam pemikiran fikih dan ilmu kalam Syiah.
Syeikh Mufid tercatat sebagai pendiri dan pelopor gerakan intelektual Syiah. Di tengah situasi yang serba sulit pada masa itu, ia berhasil mengawal pemikiran fikih dan kalam Syiah dari penyimpangan serta ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (melalaikan). Oleh karena itu, ia dikenal sebagai pengawal teritorial mazhab Syiah.
Selama hidupnya, Syeikh Mufid telah mendidik banyak murid, mencetak banyak guru, menulis banyak buku, menjawab sanggahan orang-orang, serta memenuhi kebutuhan pemikiran dan intelektual umat Islam.
Syeikh Mufid memiliki pendekatan rasionalis dalam masalah fikih dan kalam. Tokoh besar ini mencoba menjelaskan dan membela ajaran agama di bidang fikih, usul fikh, kalam, sejarah, dan tafsir dari segi akal.
Di era periode keghaiban dan sebelum Syeikh Mufid, pemikiran ahlul hadits mendominasi iklim keilmuan Islam. Ahlul hadits adalah orang-orang yang menolak pelibatan akal dalam masalah kalam dan fikih, semua upaya mereka fokus menukil dan mengklasifikasi hadits.
Sejak periode ghaibah pertama Imam Mahdi as, para ulama bekerja keras untuk mengumpulkan dan melestarikan hadits-hadits Rasulullah Saw dan Ahlul Bait sebagai khazanah ilmu pengetahuan Islam. Dengan demikian, periode itu disebut sebagai era hadits.
Sebagian gerakan ifrath juga secara tegas menolak campur tangan akal dalam memahami hadits dan pengetahuan Islam. Gerakan anti-akal ini menyebabkan munculnya penyimpangan dan pandangan dangkal dalam memahami agama.
Syeikh Mufid – sebagai ulama besar dan mujtahid kritis – tanpa kenal lelah melawan pemikiran-pemikiran menyimpang. Ia menekankan pentingnya penggunaan argumen dan dalil akal dalam masalah fikih dan kalam. Ia menyusun dasar-dasar aplikatif untuk memperjelas batasan penggunaan akal dalam dua disiplin ilmu itu sehingga berhasil menyita perhatian para ulama tentang kerugian akibat mengabaikan akal.
Tokoh besar ini percaya bahwa hadits-hadits yang sampai ke tangan kita harus ditimbang dengan akal dari dua segi: pertama para perawi hadits mungkin saja melakukan kesalahan dan kealpaan dalam menukil hadits, khususnya ahlul hadits yang menerima semua riwayat sebagai hadits tanpa memperhatikan aspek shahih dan cacatnya. Mereka kemudian menjadikan riwayat-riwayat itu sebagai pedoman perbuatannya.
Syeikh Mufid mencatat bahwa selama keterkaitan sebuah hadits dengan para maksumin belum bisa dibuktikan melalui metode akal, maka ia tidak dapat diterima sebagai hadits.
Kedua, akal perlu dilibatkan untuk memahami hadits dengan benar. Bagi Syeikh Mufid, memahami riwayat dengan benar adalah sebuah langkah yang sangat penting dan ia percaya bahwa memahami hadist perlu dibarengi dengan pendekatan berbasis penelitian dan pelibatan akal sehingga menjadi jelas antara kebenaran dan kebatilan. Ia membela habis-habisan tentang peran positif akal dalam proses penukilan dan pemahaman hadist.
Sebagian penting dari karya-karya marja’ besar Syiah ini berhubungan dengan masalah fikih. Fikih adalah sebuah ilmu yang menyimpulkan aturan praktis Islam dari sumber-sumber agama dengan argumentasi yang kuat. Ulama besar ini menilai penting penggunaan akal dalam fikih. Sebagian ulama bahkan menganggap dia sebagai fakih pertama yang berbicara tentang peran akal dalam fikih.
Berbagai hadist dan riwayat menunjukkan bahwa Ahlul Bait Nabi selalu mendorong pengikut Syiah untuk menggunakan akal, dan sesuai dengan tuntutan kondisi, para imam maksum mengajarkan mereka tentang metode menyimpulkan hukum dari al-Quran dan hadits.
Dari periode keghaiban Imam Mahdi as hingga akhir abad keempat Hijriyah, karena dominasi pemikiran ahlul hadits, metode aqli tidak pernah digunakan dalam proses ijtihad dan penyimpulan hukum agama. Tentu saja sebelum Syeikh Mufid, beberapa ulama termasuk Ibnu Abi ‘Aqil dan Ibnu Junaid Asqafi menunjukkan kecendrungan ke metode aqli dalam berijtihad, namun Syeikh Mufid membuat terobosan yang tidak hanya sekedar kecendrungan.
Menurutnya, jika sudah dilakukan kajian yang teliti dalam al-Quran dan hadits untuk menjawab sebuah persoalan dan tidak ditemukan jawabannya, maka kita harus merujuk kepada akal sebagai salah satu sumber pengenalan hukum-hukum agama.
Syeikh Mufid menulis, “Jika sebuah persoalan atau perdebatan muncul di tengah Syiah selama era keghaiban, sementara tidak ditemukan perintah yang jelas (tegas) di dalam al-Quran dan hadits, maka apa tugas kita?”
Dia menjawab, “Orang yang menghadapi persoalan itu dan ingin mengetahui hukum syariat tentangnya, maka ia harus merujuk kepada para ulama Syiah Imamiyah sehingga mereka melakukan penelitian dan mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan arahan para imam maksum. Jika tidak ada petunjuk tentangnya dan tidak ditemukan ayat yang dapat memecahkan persoalan tersebut, maka akal harus menjadi wasit dalam masalah ini.”
Dengan menulis buku dan melakukan perdebatan yang luar biasa, Syeikh Mufid mampu meletakkan metode akal dalam masalah kalam dan fikih. Oleh sebab itu, banyak dari para ulama besar Syiah termasuk Allamah Hilli, mengenang Syeikh Mufid sebagai guru para ulama kalam dan fikih. (RM)