Des 30, 2020 16:20 Asia/Jakarta

Ketika kelompok teroris takfiri Daesh (ISIS) pertama kali melancarkan kampanye terornya di Asia Barat, terutama di Irak dan Suriah, Republik Islam Iran secara terbuka membantu kedua negara Arab itu untuk menghadapi kelompok teroris paling kejam di dunia ini.

Namun ketika Daesh yang disponsori Amerika Serikat ini berhasil ditumpas oleh pasukan Irak dan Suriah yang dibantu oleh Iran, tokoh kunci yang berperan aktif dalam penghancuran kelompok teroris takfiri tersebut dibunuh secara pengecut oleh pasukan sebuah negara yang mengklaim diri sebagai pemberantas terorisme dan pembela Hak Asasi Manusia.

Pasukan AS melancarkan serangan udara ke arah rombongan Komandan Pasukan al-Qods Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) Letnan Jenderal Qassem Soleimani, dan Wakil Ketua Hashd Al Shaabi Irak Abu Mahdi al-Muhandis, bersama delapan pengawal mereka ketika tiba di bandara udara Baghdad, ibu kota Irak pada Jumat dini hari, 3 Januari 2020.

Letjen Soleimani dan Abu Mahdi al-Muhandis beserta pengawal mereka gugur syahid dalam serangan yang diperintahkan langsung Presiden AS Donald Trump itu. Letjen Soleimani berkunjung ke Irak atas undangan resmi dari pemerintah Baghdad.

Letjen Soleimani dan Abu Mahdi al-Muhandis sangat populer karena peran kunci mereka dalam menumpas kelompok teroris takfiri Daesh yang disponsori AS di Irak dan Suriah. Letjen Soleimani adalah pejabat tinggi militer Republik Islam Iran yang popularitasnya mulai meningkat setelah memimpin perang melawan kelompok teroris takfiri Daesh di Suriah dan Irak.

Letjen Soleimani adalah Komandan Pasukan al-Quds IRGC untuk misi di luar perbatasan Iran. Dia sangat membantu Suriah sebagai penasihat militer pasukan negara Arab ini ketika Daesh meluncurkan serangan berdarah ke Suriah pada 2011.

Dia juga memainkan peran penting dalam membentuk Pasukan Relawan Irak yang dikenal sebagai Hashd al-Shaabi pada 2014 ketika Daesh mendeklarasikan kekhalifahannya di Irak dan menguasai beberapa provinsi di negara ini.

Hashd al-Shaabi kemudian berhasil mengalahkan Daesh dan mengusir kelompok teroris itu keluar dari Irak. Kemenangan bagi pasukan Suriah dan Irak ini semakin meningkatkan popularitas Letjen Soleimani di kalangan rakyat Irak, Suriah dan Iran.

Ketika Letjen Soleimani mendeklarasikan berakhirnya kekhalifahan Daesh pada tahun 2018, Amerika Serikat –yang menyebut dirinya penyelamat bagi rakyat Irak dan Suriah– menganggap Soleimani sebagai musuh bebuyutan dan rintangan bagi perdamaian di Asia Barat (Timur Tengah). AS kemudian memberlakukan sanksi terhadap pejabat militer Iran ini. Rezim Zionis juga memasukkan Soleimani ke dalam daftar yang disebut sebagai daftar teroris.

Sekarang pada tahun 2020, pembunuhan terhadap Letjen Soleimani dan Wakil Hashd al-Shaabi Abu Mahdi al-Muhandis dalam serangan drone AS menimbulkan pertanyaan kunci: Apakah AS benar-benar memerangi Daesh? Atau, seperti kata Trump sendiri, apakah Daesh diciptakan oleh pendahulunya Barack Obama? Dengan demikian, Syahid Soleimani adalah pahlawan dalam menumpas teroris dan sekaligus korban terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat.

Syahid Soleimani merupakan simbol perlawanan terus-menerus terhadap imperialisme AS. Dia tidak hanya menjadi tokoh kunci dalam penghancuran kelompok teroris Daesh, tetapi juga dalam membantu perjuangan rakyat Palestina.

Baru-baru ini, anggota senior Jihad Islam Palestina Khaled al-Batsh menyebut syahid Qassem Soleimani sebagai pelopor kemajuan semua kelompok perlawanan di kawasan.

Al-Batsh, seperti dilaporkan laman al-I'lam al-Harbi, Rabu (23/12/2020) mengatakan Komandan Pasukan Quds Iran Letjen Soleimani adalah arsitek yang memajukan semua kelompok perlawanan termasuk Brigade al-Quds, Brigade Izzuddin Qassam, Brigade Syuhada al-Aqsa, Brigade Abu Ali Mustafa, Brigade Nasser Salahuddin, Hizbullah, dan semua cabang kelompok perlawanan di kawasan.

"Syahid Soleimani adalah seorang insinyur poros perlawanan. AS menyadari kedudukan dia setelah melihat pengaruhnya yang besar di medan perang melawan Zionis-Amerika dan dukungannya kepada kelompok perlawanan Palestina," ujar al-Batsh.

Dia menegaskan bahwa gugurnya syahid Soleimani tidak berpengaruh pada perlawanan. Syahid mulia ini dan para pemimpin perlawanan lainnya di Lebanon dan Palestina adalah tokoh kubu perlawanan dan perjuangan mereka akan terus berlanjut.

Berbicara tentang ancaman rezim Zionis, anggota senior Jihad Islam Palestina ini mengatakan kelompok perlawanan tidak akan duduk menyaksikan serangan Israel.

"Semua elemen sipil dan bersenjata kubu perlawanan akan turun ke medan dan mereka tetap memegang prinsip-prinsipnya meskipun minim sarana dan situasi sulit saat ini," pungkasnya. (RA)