Peran AS dalam Konflik Laut Cina Selatan (9)
Kebangkitan ekonomi Cina dan prestasi globalnya membuat Asia Timur menjadi fokus Amerika Serikat dengan tujuan mengendalikan Beijing.
Mengingat potensi dan laju pertumbuhan ekonomi Cina, menurut pengamat AS, Beijing negara terpenting yang dapat merusak hegemoni Washington di masa mendatang. Meski Cina menilai laju ekonominya seimbang dan lebih rendah dari negara lain seperti AS, namun laju ekonomi Beijing dan peningkatan anggaran militer negara ini membuat Washington khawatir jika Cina menguasai jalur navigasi strategis dunia termasuk Laut Cina Selatan.
Salah satu titik strategis yang dapat dijadikan sarana Amerika untuk merusak Cina adalah Laut Cina Selatan; karena dari satu sisi, friksi Cina dengan negara-negara tetangga dan dari sisi lain, Amerika dengan dalih keamanan navigasi di perairan bebas internasional di Laut Cina Selatan, mulai menjustifikasi kehadiran armada milternya di kawasan ini.
Pendekatan Washington terhadap Beijing menunjukkan bahwa menurut pandangan AS, Laut Cina Selatan sebagai sebuah wilayah strategis, sangat efektif untuk melemahkan posisi Cina baik dari sisi keamanan maupun militer. Hal ini karena armada maritim besar musuh mampu ditempatkan di kawasan ini dan mengancam sektor vital Cina. Ini artinya Cina diblokade melalui rute internasional seperti Malaka, perairan Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur.
Selain itu, menurut Amerika, penempatan militernya di Laut Cina Selatan akan melemahkan Cina dari sisi ekonomi; karena instabilitas keamanan di kawasan ini akan merusak perdagangan dan kepentingan ekonomi Cina serta mendorong laju ekonomi negara ini melambat. Pembagian jalur maritim membuat negara-negara tetangga merasa terancam dengan saham besar yang dimiliki Cina, sehingga mereka bergantung kepada Amerika untuk menjamin keamanannya.
Amerika Serikat dengan bersandar pada strategi Asianya, menerapkan dua pendekatan strategis bersamaan terkait Laut Cina Selatan. Pendekatan strategis pertama Amerika adalah memperkuat armada lautnya di Laut Cina Selatan untuk meraih keunggulan maritim atas Cina. Kedua, menerapkan kebijakan penyeimbangan jarak, yang secara serius dikejar Washington untuk melawan China.
Mengingat anggaran besar finansial dan potensi kerugian akibat intervensi langsung, Amerika menerapkan kebijakan penyeimbangan jarak di berbagai wilayah dunia termasuk Laut Cina Selatan. Kebijakan penyeimbangan jarak bertumpu pada prinsip bahwa Amerika dengan biaya sedikit mungkin mampu mengelola transformasi tiga wilayah penting dunia, Eropa, timur dan barat Asia. Mekansime usulan strategi ini adalah memanfaatkan kekuatan sekutu di berbagai wilayah untuk menyeimbangkan kekuatan anti hegemoni Washington.
Dengan beralihnya Filipina ke Cina sebagai bagian dari kebijakan Presiden Filipina Rodrigo Duterte dan menjaga jarak dari Amerika Serikat, lanskap perkembangan regional dan pengaturan politiknya telah berubah sangat menguntungkan pemerintah Beijing. Sama seperti Vietnam melalui ASEAN, mencapai kesepakatan dengan Cina untuk mengakhiri tensi dan menyelesaikan friksi melalui dialog, maka jalan bagi berlanjutnya intervensi militer Amerika di Laut Cina Selatan akan semakin sulit.
Oleh karena itu, alasan Amerika untuk melanjutkan kehadiran militernya di Laut Cina Selatan adalah melindungi navigasi dan lalu lalang kapal. Korea Selatan, Jepang dan sejumlah negara anggota ASEAN sejak saat ini menambah anggaran militernya dan memperdalam kerja sama militer dan keamanan dengan Amerika Serikat. Hal ini dipicu kekhawatiran mereka atas dampak masa depan hegemoni Cina terhadap kawasan serta akibat progaganda negatif Washington.
Ini artinya, seiring dengan eskalasi level ancaman dan tensi di kawasan Laut Cina Selatan, maka intervensi AS di kawasan akan diterima. Sejumlah pengamat politik meyakini bahwa persaingan antara Cina dan AS di sampin masalah ekonomi, secara bertahap bergeser ke arah unjuk kekuatan maritim dan meningkatkan pengaruh di sebagai level. Hal ini mulai dapat disaksikan di Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur.
Sementara itu, kemampuan pemain regional dan internasional untuk mengirim dan menempatkan pasukan di jarak jauh dengan fokus pada kekuatan maritim sebagai gerakan strategis juga semakin meningkat. Oleh karena itu, sejumlah pengamat meyakini kawasan Asia-Pasifik mulai memasuki era baru persaingan strategis di bidang wilayah maritim.
Intervensi angkatan laut Amerika di kawasan semakin meningkat ketika Cina menduduki Mischief Reef, Filipina di Laut Cina Selatan di tahun 1995. Langkah Amerika saat itu membuat Cina semakin hati-hati dan pergerakan negara ini pun berhenti serta Cina terpaksa mengambil langkah diplomatik dengan ASEAN untuk menyelesaikan friksi ini.
Statemen bersama Cina dan Filipina terkait isu ini berkaitan dengan tahun 2002. Meski demikian Laut Cina Selatan setiap hari menyaksikan peristiwa baru yang meningkatkan kekhawatiran akan meletusnya api peperangan dan tensi di kawasan.
Lembaga Rand di Amerika di sebuah laporannya dengan tema "Peninjauan Ulang Potensi Konflik dengan Cina" mengkonfirmasi potensi perang mematikan antara kedua negara AS dan Cina dalam beberapa tahun mendatang. Lembaga ini menekankan, "Ada potensi besar konfrontasi militer mematikan antara AS dan Cina. Kemajuan dan reformasi militer Cina, membuat negar aini menjadi salah satu musuh berat Amerika dan isu terpenting yang berpotensi mengobarkan perang antara kedua negara adalah program nuklir dan rudal Korea Utara yang meski telah digelar sejumlah perundingan resmi dan pertemuan pemimpin Korut dan Amerika, friksi ini masih berlanjut dan malah terus meningkat."
Berkuasanya Donald Trump di Gedung Putih tahun 2017 membuat kebijakan Amerika terhadap Cina semakin ofensif. Selama kampanye pemilu presiden di tahun 2016, Trump menyebut Cina sebagai penyebab krisis ekonomi Amerika karena perdagangan yang tidak adil. Setelah berkuasa Trump menerapkan pendekatan militer dan ekonomi lebih keras kepada Cina.
Selain itu, Trump menuding Cina tidak menunaikan janjinya untuk membeli produk pertanian lebih besar. Resistensi Cina melawan represi ekonomi Amerika mendorong Trump juga meningkatkan tekanan militer terhadap Beijing di Laut Cina Selatan. Namun terkait Laut Cina Selatan, pendekatan Donald Trump masih melanjutkan kebijakan pendahulunya, Barack Obama dan bedanya adalah Trump lebih banyak mengirim kapal perang ke Laut Cina Selatan. Ia juga menekankan pendekatan militer lebih besar ketimbang Obama.
Mengingat bahwa penyeimbangan kekuatan di hadapan kekuatan Cina yang terus meningkat menjadi acuan Amerika di Asia, metode dan sarana penyeimbangan Gedung Putih terhadap Cina di era Donald Trump mengalami perubahan di banding dengan era Obama.
Sikap Amerika mengusung isu India-Pasifik dan langkahnya di bidang taktis bisa menjadi bahan pembahasan, bukan di bidang strategis. Strategis yakni menciptakan keseimbangan di hadapan Cina yang di masa depan dapat diprediksikan oleh Amerika dan menjadi fokus persaingan strategi antara kedua negara.
Dengan kata lain, selain pusat konflik tradisional antara Cina dan AS, yakni Taiwan, Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan sebagai dua fokus konflik kedua negara diprediksikan selama beberapa tahun mendatang akan menghiasi halaman media massa. Penambahan bujet militer Cina selama laju ekonomi negara ini berlanjut, dan kepentingannya mendunia, maka konflik akan berpotensi berlarut-larut.
Namun begitu di perang dingin ini, Cina tidak seperti Uni Soviet dan Amerika saat itu. Cina secara tegas menentukan kepentingan nasionalnya dan berusaha melindungi kepentingan ini dengan meningkatkan kekuatan militer. Di bidang ini, mungkin saja persaingan strategis Cina dengan AS atau negara kawasan meningkat drastis. Oleh karena itu, Cina akan menjadi rival utama AS di abad 21. Perhitungan lembaha CSBA di Washington menunjukkan jika terjadi konfrontasi maritim antara kapal perang AS dan Cina, atau bahkan Rusia, maka Amerika akan kalah.
Angkatan Laut AS berada dalam bahaya kehilangan supremasinya dan menghadapi masalah serius di hadapan kekuatan besar seperti Rusia dan Cina. Penilaian baru, yang memeriksa strategi dan kemampuan militer AS, memperingatkan bahwa armada angkatan laut AS saat ini dan strategi pertahanannya jika dibiarkan, tidak akan dapat menang dalam perang melawan kapal-kapal Rusia dan Cina. Karena skuadron udara Angkatan Laut AS (CVWS) tidak memiliki jangkauan efektif, daya tahan, kelangsungan hidup, dan keahlian untuk menerapkan konsep operasional yang diperlukan untuk mengalahkan pasukan kekuatan besar.
Dengan demikian kondisi saat ini skuadron udara AL Amerika tidak tepat untuk melaksanakan taktik angkatan laut negara ini dalam melawan rival besar seperti Cina dan Rusia serta Korea Utara. Terkait kemampuan rudal pelacak dan peralatan logistik Amerika lainnya disebutkan dalam laporan lembaga pusat strategis dan penilaian bujet, "Sistem pertahanan rudal termasuk senjata energi terpandu atau senjata laser dan rudal pencegat jarak pendek, tidak akan mencukupi dibandingkan dengan potensi peluncuran rudal Cina dan Rusia."