Pasang Surut Dewan Kerja Sama Teluk Persia di tahun 2021
Jan 02, 2022 18:15 Asia/Jakarta
Dewan Kerja Sama Teluk Persia, PGCC di tahun 2021 menyaksikan penurunan ketegangan internal, berlanjutnya normalisasi hubungan sebagian anggotanya dengan rezim Zionis Israel, perubahan dalam kebijakan luar negeri Uni Emirat Arab, dan kondisi lain Arab Saudi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Tahun 2021 dimulai dengan kesepakatan Saudi, Uni Emirat Arab dan Bahrain yang ketiganya anggota PGCC, ditambah Mesir, untuk mengakhiri ketegangan dengan Qatar. KTT PGCC ke-41 digelar 5 Januari 2021 di kota Al Ula, Saudi. Tujuan asli pertemuan ini adalah mengakhiri boikot terhadap Qatar, dan berdamai di antara anggota PGCC.
Ketegangan antara Qatar dengan Saudi, UEA, Bahrain dan Mesir pecah sejak 5 Januari 2017. Ketidakpuasan atas kebijakan luar negeri Qatar merupakan pemicu utama ketegangan ini. Empat negara Arab, setelah memutus hubungan dengan Qatar, memboikot negara ini dan menutup perbatasannya untuk Doha.
Empat negara Arab itu menetapkan 13 syarat untuk membuka kembali perbatasannya bagi Qatar, dan menghidupkan kembali hubungan dengan negara itu. Di antara syarat tersebut adalah menyeimbangkan aktivitas stasiun televisi Al Jazeera, memutus hubungan dengan Hamas dan Ikhwanul Muslimin, dan mempertimbangkan ulang hubungan dengan Republik Islam Iran.
Pemerintah Qatar menolak mematuhi ke-13 syarat tersebut dan mengumumkan bahwa syarat-syarat itu melanggar kedaulatan dan independensi Qatar, dan menolak untuk menerimanya. Setelah 3,5 tahun Saudi menyetujui pembukaan kembali perbatasan dan menghidupkan kembali hubungan dengan Qatar padahal Qatar tidak pernah menerima satu pun dari syarat-syarat tersebut.
Masalah penting yang muncul pada KTT PGCC di Al Ula adalah ketidakhadiran Raja Bahrain, Hamad bin Isa Al Khalifa, dan Putra Mahkota UEA Mohammed bin Zayed dalam pertemuan ini, pasalnya kedua negara ini ditambah Mesir, tidak senang dengan upaya Saudi menurunkan ketegangan dengan Qatar, dan percaya bahwa Riyadh berdamai dengan Doha tanpa lebih dahulu bermusyawarah dengan mereka.
KTT PGCC ke-42 digelar di Riyadh, pada 14 Desember 2021. Ini adalah pertemuan PGCC pertama yang dilaksanakan setelah tiga negara anggotanya berdamai dengan Qatar di Al Ula. Meskipun demikian, dalam KTT PGCC ke-42 ini, pejabat tinggi Oman, Kuwait dan UEA tidah hadir. Mengingat pemimpin UEA yang tidak tampil di muka publik selama bertahun-tahun, dan Mohammed bin Zayed secara defacto menjadi pemimpin negara ini, namun sebenarnya Raja Oman dan Emir Kuwait lah dua tokoh utama yang absen dalam KTT PGCC ke-42.
Pandangan semacam ini, dan ketidakhadiran dua pemimpin negara tersebut menunjukkan bahwa PGCC secara praktis tidak punya manfaat dan fungsi yang sama bagi seluruh anggotanya, dan dalam bentuk tertentu bagi sebagian anggota, PGCC sudah kehilangan fungsinya.
Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman melakukan banyak upaya untuk menaikan posisi Saudi di PGCC, dan Dunia Arab dengan menghadirkan seluruh anggota lembaga ini, dan dengan cara itu ia juga bisa menambah kredibilitasnya, serta memuluskan jalan untuk menduduki kursi Raja Saudi. Akan tetapi kondisi KTT PGCC ke-42 tidak seperti yang diharapkan oleh Putra Mahkota Saudi.
Selain peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam PGCC, negara-negara Arab anggota lembaga ini juga menyaksikan sejumlah peristiwa lain, di antaranya perubahan dalam kebijakan luar negeri UEA. UEA yang merupakan salah satu negara Arab anti-Suriah, sejak satu dekade lalu, pada bulan November 2021 mengirim Menteri Luar Negerinya yaitu Abdullah bin Zayed ke Damaskus untuk menghidupkan kembali secara penuh hubungan dua negara.
Kunjungan Menlu UEA ke Suriah bukan sesuatu yang aneh dan mengejutkan, pasalnya UEA pada Desember 2018 sudah membuka kembali Kedutaan Besarnya di Damaskus, dan melakukan pertemuan diplomatik dengan para pejabat Suriah, di antaranya pertemuan Menteri Energi UEA Suhail Al Mazrouei dengan Menteri Perminyakan Suriah Bassam Tohme.
Pada saat yang sama, Presiden Suriah Bashar Al Assad pada tahun 2021 dua kali melakukan pembicaraan dengan Putra Mahkota UEA. Kedua pemimpin negara itu pertama melakukan kontak telepon pada Maret 2021, untuk membicarakan wabah virus Corona, dan dampaknya bagi Suriah yang dilanda perang. Bashar Al Assad dan Mohammed bin Zayed pada Oktober 2021 juga melakukan pembicaraan telepon.
Selain itu, Putra Mahkota UEA pada November 2021 juga melakukan lawatan ke Turki, dan bertemu dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan, padahal selama bertahun-tahun hubungan kedua negara sangat buruk terutama karena dukungan Turki atas Ikhwanul Muslimin, dan Qatar.
Penasihat Keamanan Nasional UEA Syeikh Tahnoun bin Zayed Al Nahyan pada Desember 2021 berkunjung ke Iran, dan bertemu dengan sejumlah pejabat negara ini di antaranya Presiden Iran Sayid Ebrahim Raisi. Dalam pertemuan ini kedua pejabat tinggi dua negara menandatangani kesepakatan kerja sama keamanan. Setelah lawatan tersebut, media Israel mengabarkan kekhawatiran Tel Aviv atas kedekatan UEA dan Iran.
Perdana Menteri Israel Naftali Bennett pada 13 Desember 2021 tiba di bandara Abu Dhabi, dan disambut oleh Menlu UEA Abdullah bin Zayed. Pada 14 Desember 2021, Bennett bertemu dengan Putra Mahkota UEA Mohammed bin Zayed. Lawatan PM Israel ke UEA dilakukan dalam kerangka kelanjutan normalisasi hubungan Abu Dhabi-Tel Aviv yang dimulai sejak September 2020. Setelah dicapainya Kesepakatan Abraham, pertemuan-pertemuan diplomatik di antara pejabat UEA dan Israel mengalami peningkatan. Sebelumnya Menlu Israel Yair Lapid mengunjungi UEA pada Juni 2021. Kunjungan Menlu Israel ke UEA merupakan lawatan pertama seorang Menlu Zionis ke negara itu.
Sepertinya UEA di tahun 2021, dengan lawatan-lawatan diplomatiknya berusaha menunjukkan kebijakan luar negerinya yang dinamis, dan ingin meningkatkan posisi regionalnya. Kenyataannya, UEA pada tahun 2021 berusaha mengubah kebijakan luar negeri yang kerap memicu ketegangan, dan melalui ekonomi dan hubungan diplomatik, berusaha menambah pengaruhnya di kawasan, dan dari sini semakin terlihat persaingan negara itu dengan Saudi.
Di sisi lain, Saudi sebagai anggota PGCC paling berpengaruh, pada tahun 2021 mengalami situasi yang berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Saudi dari satu sisi terjebak dalam kubangan perang Yaman, dan di sisi lain terlibat rivalitas sengit dengan pesaing-pesaingnya di kawasan terutama Iran.
Pada saat yang sama, seiring dengan naiknya Joe Biden sebagai Presiden AS, tekanan-tekanan Washington terhadap Riyadh, khususnya atas pribadi Mohammed bin Salman, dikarenakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia di dalam dan luar negeri ini, semakin kencang pula. Biden secara resmi mengumumkan tidak akan bertemu dan berbicara dengan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman, dan hanya Menlu AS yang dapat bertemu dengan Mohammed bi Salman sebagai Menteri Pertahanan Saudi, dan pertemuan ini dilakukan pada tahun 2021.
Atas dasar ini, Saudi pada tahun 2021 selain menurunkan ketegangan dengan Qatar, juga melakukan beberapa kali perundingan dengan Iran untuk menghidupkan hubungan, akan tetapi perundingan ini sampai akhir tahun 2021 tidak menghasilkan apa pun. Putra Mahkota Saudi selama tahun 2021 sama sekali tidak melakukan lawatan ke negara Barat atau Asia mana pun, namun melakukan kunjungan lima hari ke lima negara Arab yaitu Oman, Bahrain, Qatar, UEA, dan Kuwait yang semuanya anggota PGCC pada Desember 2021. Lawatan-lawatan ini dilakukan sebelum penyelenggaraan KTT PGCC ke-42 di Riyadh.
Poin pentingnya adalah lawatan Putra Mahkota Saudi ke lima negara Arab dilakukan setelah kunjungan pejabat UEA ke Suriah dan Turki, dan bersamaan dengan lawatan Penasihat Keamanan Nasional UEA Syeikh Tahnoun bin Zayed ke Iran. Masalah ini menunjukkan rivalitas regional Saudi dan UEA.
Sehubungan dengan ini, situs Al Khaleej Al Jadeed menulis, "Saudi telah kehilangan kontrol atas PGCC, dan UEA sekarang menjadi pesaing utama Riyadh dalam kebijakan regional. Putra Mahkota UEA yang merupakan sekutu dekat AS, sekarang menancapkan pengaruhnya atas kebijakan luar negeri Saudi. UEA dengan meyakinkan Putra Mahkota Saudi pada tahun 2017, memboikot Qatar dengan tuduhan mendukung terorisme dan mencampuri urusan kawasan. Saudi mencabut blokade ini setelah kemenangan Joe Biden dalam kontestasi pemilu presiden AS pada tahun 2020, akan tetapi blokade tersebut tidak membuahkan hasil apa pun, dan tidak memberi dampak signifikan pada negara itu. Saudi pada tahun 2015 dengan berharap mengembalikan Presiden pemerintah terguling Yaman, Abd Rabbuh Mansour Hadi ke tampuk kekuasaan, dan melawan Ansarullah dalam perang, tapi setelah tujuh tahun harus menerima kekalahan telak." (HS)
Tags