Menyorot Kudeta di Keluarga Al Saud
Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz akhirnya mencopot keponakannya, Mohammad bin Nayef dari posisi putra mahkota dan mengangkat anaknya, Mohammad bin Salman menempati posisi tersebut. Penunjukan Mohammad bin Salman sebagai putra mahkota baru Arab Saudi dan pencopotan Mohammad bin Nayef memang sudah diprediksikan sebelumnya. Mekanisme proses pengangkatan Mohammad bin Salman sebagai putra mahkota merupakan isu yang menunjukkan betapa Arab Saudi sangat jauh dari demokrasi.
Mohammad bin Salman, putra Raja Salman dari istri ketiga dan di antara 12 putra pemimpin Arab Saudi ini sangat cepat meniti karir dan meraih posisi tinggi. Mohammad bin Salman untuk meraih posisi ini pada awalnya menggunakan keberuntungan, karena kakaknya telah meninggal dan dengan demikian ia menjadi anak tertua Raja Salman.
Mohammad bin Salman termasuk dari sedikit tokoh yang mampu meraih posisi politik tinggi di sebuah negara dalam waktu singkat. Bagi Mohammad bin Salman yang terkenal ambisius dan haus perang, hanya butuh delapan tahun bagi dirinya untuk mencapai posisi tinggi. Aktifitas Mohammad bin Salman dimulai dari kantor administrasi di Riyadh tahun 2009 dan di tahun 2011 dengan memanfaatkan pengaruh ayahnya yang saat itu menjadi putra mahkota, ia memasuki pemerintahan pusat sebagai penasehat.
Pos kedua Mohammad bin Salman di pemerintahan pusat juga sebagai penasehat dan kali ini di tahun 2012 dan setelah ayahnya resmi ditunjuk sebagai putra mahkota dan deputi perdana menteri Arab Saudi, Mohammad bin Salman diangkat sebagai penasehat perdana menteri. Titik balik melejitnya karir politik Mohammad bin Salman dimulai sejak Januari 2015, ketika ayahnya diangkat sebagai raja menggantikan Abdullah bin Abdulaziz yang meninggal.
Pengangkatan pertama Salman bin Abdulaziz sebagai raja adalah menunjuk anaknya, Mohammad bin Salman sebagai menteri pertahanan. Raja Salman kemudian memberikan posisi lebih besar kepada anaknya, yakni pada April 2015 ia mengangkat Mohammad sebagai deputi putra mahkota. Sejak saat itu, santer beredar desas desus bahwa posisi Mohammad bin Nayef sebagai putra mahkota hanya sementara. Desas desus ini akhirnya menjadi kenyataan pada 21 Juni 2017 dan Mohammad bin Salman resmi menggantikan saudara sepupunya sebagai putra mahkota. Di Arab Saudi tugas memilih putra mahkota ditangani oleh Dewan Ulama yang dibentuk oleh Abdullah bin Abdulaziz, mantan raja Arab Saudi.
Ellen Wald dalam sebuah artikelnya yang dirilis Majalah Forbes menulis, Raja Abdullah yang menjabat raja Arab Saudi sejak 2005 hingga 2015 membentuk Dewan Ulama demi transisi damai kekuasaan oleh anggota keluarga kerajaan. 31 dari total 34 anggota dewan ini mendukung pengangkatan Mohammad bin Salman sebagai putra mahkota.
Mohammad bin Salman selain menggunakan kartu keberuntungan untuk meraih posisi putra mahkota Arab Saudi, selama 30 blan lalu ketika ayahnya menjadi raja, juga melakukan langkah-langkah penting baik di tingkat dalam maupun luar negeri demi membuktikan kelayakannya menempati posisi putra mahkota dan pada akhirnya ia sampai di puncak kekuasaan.
Di antara langkah-langkah Mohammad bin Salman selama 30 bulan lalu:
- Menginstruksikan pengobaran perang di Yaman.
Mohammad bin Salman di aksi pertamanya adalah merilis instruksi serangan militer terhadap Yaman pada Maret 2015. Agresi ini mendorong sejumlah media memberikan gelar Saddam Arab Saudi kepada Mohammad bin Salman. Hal ini menunjukkan bahwa dirinya cenderung memanfaatkan sensasi politik dari pada pertimbangan dan rasionalitas politik.
Perang Arab Saudi terhadap Yaman meski telah berlangsung selama 27 bulan, bukan saja memberikan kemenangan kepada Riyadh, bahkan memunculkan represi opini publik akibat perang tak seimbang ini. Bahkan di dalam negeri, sejumlah pangeran kerajaan juga menentang perang tersebut dan menuntut dihentikannya agresi, karena perang ini mencitrakan Arab Saudi di samping Israel sebagai rezim kriminal dan pembantai anak-anak.
- Memutus Hubungan dengan Republik Islam Iran.
Tak diragukan lagi, Republik Islam Iran dan Arab Saudi, dua kekuatan di kawasan. Namun seiring dengan berkuasanya Raja Salman bin Abdulaziz dan Mohammad bin Salman sebagai menteri pertahanan, hubungan Iran dan Arab Saudi kian memburuk dari rival menjadi permusuhan. Bahkan hubungan kedua negara sejak awal 2016 hingga ini putus.
Mohammad bin Salman dalam hal ini memainan peran signifikan di pemutusan hubungan kedua negara, karena ia berulang kali melalui statemennya telah membuktikan bukan saja menolak posisi regional Tehran,bahkan memiliki kebencian mendalam terhadap Republik Islam. Pada Juni 2017 secara transparan Mohammad bin Salman mengatakan, kita harus menyeret perang dari kawasan ke dalam negeri Iran. Ia berusaha memanfaatkan spirit anti Irannya untuk meraih posisi putra mahkota dan kemudian raja Arab Saudi.
- Reformasi 2030
Salah satu langkah penting yang ditempuh Mohammad bin Salman di tingkat dalam negeri adalah menggulirkan program reformasi 2030 yang memiliki beragam dimensi. Mohammad bin Salman menempuh banyak usaha melalui program ini untuk membuktikan kelayakannya.
Laman Stratfor di artikelnya yang dirilis pasca penunjukan Mohammad bin Salman sebagai putra mahkota Arab Saudi menulis, Mohammad bin Salman di posisinya sebagai menteri pertahanan bukan saja merancang strategi pertahanan dan kebijakan luar negeri Arab Saudi, bahkan ia juga mencetuskan program reformasi ekonomi (reformasi 2030) untuk menunjukkan posisinya sebagai raja mendatang negara ini.
- Kunjungan Diplomatik dan Lobi Internasional
Mohammad bin Salman dengan baik menyadari bahwa untuk meraih posisi putra mahkota, yang sama halnya satu langkah ke posisi raja, harus memanfaatkan kartu lobi diplomatik dan khususnya meraih bantuan pemerintah Amerika Serikat. Oleh karena itu, penunjukan Mohammad bin Salman sebagai putra mahkota baru Arab Saudi terjadi hanya satu bulan dari lawatan Presiden AS, Donald Trump ke Riyadh.
Mohammad bin Salman yang telah mempersiapkan dirinya untuk mendapat bantuan dari Amerika Serikat melalui lawatannya bulan Maret 2017 ke Washington, akhirnya menuntaskan ambisinya menggeser Mohammad bin Nayef dari posisi putra mahkota melalui lawatan Trump ke Riyadh pada 20 Mei 2017 dan belanja besar-besaran senjata dari Washington.
Bagaimana pun juga, Mohammad bin Salman beberapa hari setelah kunjungan Trump ke Riyadh, berkunjung ke Moskow dan bertemu dengan petinggi Rusia. Kunjungan ini dapat dicermati sebagai upaya Mohammad bin Salman meminta bantuan kepada Kremlin di ambisinya tersebut. Dapat dikatakan bahwa lampu hijau pengangkatan Mohammad bin Salman sebagai putra mahkota datangnya dari Washington sehingga Amerika kembali membuktikan peran unggulnya di proses perebutan kekuasaan tokoh-tokoh di negara Arab, khususnya Arab Saudi.
- Serangan Total kepada Qatar
Langkah berikutnya yang ditempuh Mohammad bin Salman demi menunjukkan kelayakannya sebagai putra mahkota adalah serangan total kepada pemerintah Qatar. Hal ini juga dimaksudkan untuk menunjukkan posisi unggul Arab Saudi di dunia Arab. Tensi terbaru antara Qatar dan Arab Saudi sangat cepat berujung pada pemutusan hubungan kedua negara. Tak diragukan lagi keputusan ini diambil dengan pertimbangan dari Mohammad bin Salman dan dengan ambisi merebut posisi putra mahkota Arab Saudi. Dalam hal ini Abdul Bari al-Atwan, saat menganalisa hal ini menyebutkan, di balik tensi antara Qatar dan Arab Saudi, pandangan Mohammad bin Salman tertuju pada kursi putra mahkota dan pencopotan Mohammad bin Nayef.
Meski pengangkatan Mohammad bin Salman sebagai putra mahkota terjadi dengan damai dan tanpa pertumpahan darah, namun pergeseran ini melalui beragam faktor dapat dicermati akan menimbulkan peluang perpecahana di tubuh keluarga kerajaan Arab Saudi.
Pertama: pengangkatan Mohammad bin Salman sebagai putra mahkota dan kemudian raja, sama halnya dengan mengakhiri kekuasaan anak-anak Abdulaziz dan dimulainya era kekuasaan dinasti Salman. Dalam hal ini Ellen Wald di analisanya yang dirilis Forbes menulis, Raja Salman adalah anak ketujuh Abdulaziz yang meraih kekuasaan di Arab Saudi. Padahal berdasarkan wasiat Abdulaziz kekuasaan harus diwariskan dari saudara ke saudara selama anak-anak Abdulaziz masih hidup. Kini pengangkatan Mohammad bin Salman sebagai putra mahkota sama halnya dengan mengakhiri kekuasaan anak-anak Abdulaziz dan dimulainya era dinasti Salman.
Kedua; mengingat bahwa Mohammad bin Salman hanya berusia 33 tahun dan jika ia seperti anak-anak Abdulaziz yang rata-rata berusia di atas 80 tahun, maka ia akan berkuasan sekitar lima dekade. Mohammad bin Salman saat ini bukan saja tercatat sebagai menteri pertahanan termuda Arab Saudi dan putra pertama raja Arab Saudi yang menjadi putra mahkota, bahkan jika ia menjadi raja maka Mohammad bin Salman juga menjadi raja termuda dan cucu pertama Abdulaziz yang meraih kursi raja. Di sisi lain, hal ini bukan sesuatu yang mudah dan dapat diterima oleh cucu Abdulaziz yang lain.
Terkait hal ini Stephen Kalin dan William Maclean di artikelnya di Reuters menulis, perkembangan pesat Mohammad bin Salman di struktur kekuasaan Arab Saudi berpotensi naiknya friksi di tubuh keluarga kerajaan Al Saud dan semakin sulitnya untuk memprediksi politik di negara ini.
Poin terakhir adalah proses pengangkatan Mohammad bin Salman sebagai putra mahkota cenderung menunjukkan manuver cacat dan pramodern transisi kekuasaan di Arab Saudi.