Mengenang Syuhada Jamaah Shalat Afghanistan
Di saat masyarakat di seluruh belahan dunia memilih mengurung diri di rumah karena takut Corona, dan kekhawatiran mereka adalah memcuci tangan, umat Muslim miskin dan menderita di Kandahar yang telah lelah dari perang, teror dan pendudukan, serta tanpa mengenakan masker atau pelindung lainnya, tak pernah lalai menunaikan shalat Jumat.
Jam: 13:16 Hari Jumat 8 Oktober 2021 bertepatan dengan 1 Rabiul Awwal 1443 H.
Lokasi: utara Afghanistan, kota bersejarah Kunduz, Sayed Abad.
Kabar gembira yang menghibur warga daerah ini adalah sejak beberapa bulan mereka tidak lagi mendengar berita ledakan atau kesedihan mereka yang ditinggalkan oleh orang yang dicintainya, dengan hati gembira dan penuh harapan akan masa depan berkumpul di masjid untuk mendegarkan khutban Jumat.
Khutbah selesai dan jamaah shalat bersiap untuk menunaikan shalat, tapi tiba-tiba peristiwa yang kerap terjadi tahun lalu kembali terulang. Kegembiraan mereka berubah menjadi jeritan kesedihan dan kesakitan. Mereka memegang tangan orang yang dicintainya dan melarikan diri. Mereka melangkahi puing-puing dan korban tewas atau terluka mencari kerabatnya. Jeritan tangis dan ketakutan warga tetap terdengar di jalan-jalan Sayed Abad hingga berjam-jam. Setiap orang memeluk tubuh sekarat saudara, anak atau ayahnya. Mereka naik kendaraan atau berjalan kaki ke rumah sakit dengan harapan dapat menyelamatkan orang yang mereka cintai.
Pintu dan dinding Masjid Jami' dilumuri darah orang tak berdosa yang ingin menunaikan shalat dan ini adalah dosa mereka, mereka mengikuti panutannya Imam Ali as dan menyerahkan nyawanya di hamparan sajadah shalat.
Ini bukan pertama kali, dan juga bukan terakhir kali. Satu pekan setelahnya pengikut Syiah di Kandahar juga mengalami peristiwa serupa ketika mereka tengah berzikir dan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berkumpul menunaikan shalat Jumat.
Ya, selama hampir empat puluh tahun, dalam bayang-bayang pendudukan dan perang, peristiwa mendadak di Afghanistan ini telah berubah warna dan menjadi permanen. Selama empat puluh tahun, pembunuhan orang yang dicintai telah menjadi bencana yang tersebar luas dan di mana-mana di Afghanistan. Suatu hari Uni Soviet, suatu hari Inggris, suatu hari Marxisme dan suatu hari Amerika. Semua hari ini adalah malam-malam gelap yang berada di jantung sejarah Afghanistan.
Jika bukan karena hari-hari gelap dan malam-malam pemborosan ini, semua suku Afghanistan, dari Pashtun, Turkmeni, Uzbeki dan Baluchis hingga Hazara, Gizilbash, dan Sadat, akan hidup bersama dalam damai dan ketenangan. Orang-orang yang sabar dan menderita ini selalu menginginkan perdamaian dan persahabatan, dan bahkan dalam bayang-bayang perang ini, mereka telah menanggung penderitaan bersama selama bertahun-tahun, terlepas dari apakah mereka Syiah atau Sunni, dan mereka saling peduli.
Empat puluh tahun yang lalu, ketika matahari Khomeini terbit di Iran, mataharinya menyinari mimpi buruk era Uni Soviet di Afghanistan. Matahari ini menyatukan kelompok Mujahidin Syiah dan Sunni untuk mengusir Soviet dari wilayah mereka. Imam Khomeini (semoga Tuhan memberkati dia dan memberinya kedamaian), yang masih dicintai oleh hati umat Islam Afghanistan, menekankan keberanian dan ketertindasan orang-orang ini dan menganggap pemuda Mujahidin Afghanistan sebagai pemuda terhormat yang mengalahkan berhala bernama Uni Soviet. Dia menyebut gerilyawan kuat Mujahidin Afghanistan yang menampar Soviet begitu keras sehingga mereka tidak bisa lagi mengangkat kepala.
Para rubah licik dari Timur dan Barat, suatu hari, dengan dalih perbedaan etnis dan suku, dan hari berikutnya, dengan dalih perbedaan Syiah dan Sunni, mereka menarget persatuan ini. Kali ini juga, alasan mereka adalah perbedaan agama, dengan kata-kata mereka sendiri, perbedaan antara Syiah dan Sunni. Mereka tidak tahu; Meskipun Syiah dan Sunni adalah dua mazhab yang berbeda, tapi tidak pernah ada perbedaan di antara mereka karena agama mereka, Tuhan mereka, rasul mereka dan kitab mereka adalah sama. Apakah mereka Syiah atau Sunni, kiblat mereka sama, mereka melakukan shalat untuk mengingat satu Tuhan dan menghormati masjid.
Afghanistan bumi persatuan Syiah dan Sunni, warga Afghanistan di persatuan lebih uggul dari umat Islam lainnya. Solidaritas ini hasil dari kehidupan damai dan rasional serta berdampingan Syiah dan Sunni. Namun sepertinya fakta manis dan berharga ini tidak disenangi musuh rakyat ini.
Peristiwa mengerikan dan memilukan yang terjadi di mana-mana di Afghanistan jelas membuktikan bahwa musuh Afghanistan menargetkan persaudaraan dan persatuan antara Syiah dan Sunni. Terlepas dari semua kenakalan dan tipu daya ini, orang-orang Afghanistan yang waspada dan sabar telah berulang kali membuktikan bahwa mereka tidak mau melepaskan persatuan dan solidaritas dengan kesederhanaan seperti itu. Di Afganistan, berbagai etnis dan suku, dalam bentuk penganut dua mazhab besar, Hanafi dan Ja'fari, telah hidup berdampingan selama bertahun-tahun, dengan persaudaraan, kemurnian Islam dan keakraban. Mereka shalat di masjid dan di belakang Imam; Mereka menghadiri pemakaman satu sama lain dan bersama-sama dalam kesedihan dan kegembiraan.
Saudara-saudara Sunni berkabung dengan duka terbesar dari Syiah, yaitu hari-hari kesyahidan Imam Hussein (as), dan menghormati memori Imam itu. Mereka bernazar, memegang bendera, memukul dada dan meneteskan air mata. Tentu saja, Hussein (as) milik semua dan hari-harinya adalah hari-hari manifestasi persatuan.
Persatuan Syiah dan Sunni bukan karena agama adalah masalah individu, juga bukan karena setiap orang memiliki pendapat yang saling menghormati, juga bukan tentang mengingkari agama, juga bukan karena urgensi dan memiliki musuh bersama.
Akar persatuan ini adalah bahwa semua mazhab ini adalah satu-satunya umat Rasulullah Saw. Di umat bersatu ini, setiap orang memiliki peran, tetapi semuanya bersama-sama adalah satu tubuh dan membentuk satu identitas. Ini adalah persatuan yang nyata dan bukan penghargaan sosial yang diciptakan karena urgensi. Anggota-anggota tubuh yang satu ini tidak saling mengkafirkan, tidak saling menyerang dan tidak saling menyakiti, kecuali ada faktor luar yang membuat mereka sakit. Selama bertahun-tahun, musuh-musuh Islam telah memainkan peran faktor eksternal ini untuk menghancurkan persatuan bangsa dari dalam.
Manifestasi dari faktor-faktor perusak eksternal di zaman kita ini adalah gagasan takfir. Sebuah ide yang dilambangkan oleh kelompok-kelompok seperti Daesh (ISIS). Orang-orang yang bias atau tertipu yang tidak ragu-ragu untuk melakukan kejahatan apapun, dan yang terburuk, mereka melakukan kejahatan ini atas nama Islam.
Sebuah agama yang pemimpinnya menyerukan keadilan, bahkan untuk pembunuh mereka, tidak pernah, dengan logika apa pun, memerintahkan pembunuhan terhadap wanita, anak-anak, dan pria yang tidak bersalah. Hanya pikiran yang sakit yang dapat memiliki interpretasi seperti itu tentang Islam yang baik. Pikiran yang telah menerima penafsiran seperti itu tentu saja telah diubahkan oleh candu setan jin dan manusia, jika tidak semua akal sehat tahu bahwa seorang anak berusia tiga tahun tidak bersalah. Untuk dosa apa mereka membunuh seorang anak yang akhirnya berdiri di samping rumah Tuhan untuk menunaikan shalat ? Pembunuhnya bukan hanya bukan Muslim, tetapi mereka juga tidak berbau kemanusiaan. Mereka pantas disiksa dengan nama apa pun mereka menyebut diri mereka. Siksaan yang tidak akan pernah mereka singkirkan.
Ya Allah, kami mengadu kepada-Mu dari segala musibah dan kesusahan, dari sempitnya bumi dan kekikiran langit. Kami mempercayai Anda dalam setiap kesulitan dan kemudahan dan kami tidak berharap pada siapa pun kecuali kepada-Mu untuk memperbaiki urusan kami. Ya Allah, kami bersumpat atas nama Muhammad dan keluarga Muhammad, yang ketaatannya Anda wajibkan kepada kami; Mudahkanlah pekerjaan kita untuk menjadi sedekat kedipan mata dengan kita. Amin Yaa Robbal Alamin.