Diskriminasi terhadap Muslim di Eropa
https://parstoday.ir/id/radio/world-i37430-diskriminasi_terhadap_muslim_di_eropa
Riset yang dilakukan oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa pada tahun 2015, pemerintah di 38 negara Eropa (84 persen) membiarkan kekerasan dan permusuhan terbatas atau masif terhadap kelompok minoritas agama di wilayah mereka. Kekerasan dan serangan itu terjadi ketika hampir 1,3 juta pengungsi mengajukan permohonan suaka kepada pemerintah negara-negara Eropa selama tahun 2015.
(last modified 2025-07-30T06:25:16+00:00 )
May 11, 2017 10:09 Asia/Jakarta

Riset yang dilakukan oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa pada tahun 2015, pemerintah di 38 negara Eropa (84 persen) membiarkan kekerasan dan permusuhan terbatas atau masif terhadap kelompok minoritas agama di wilayah mereka. Kekerasan dan serangan itu terjadi ketika hampir 1,3 juta pengungsi mengajukan permohonan suaka kepada pemerintah negara-negara Eropa selama tahun 2015.

Angka permohonan suaka ini tercatat belum pernah terjadi sebelumnya sejak Perang Dunia II. Lebih dari setengah pengungsi datang dari negara-negara Muslim seperti, Suriah, Irak, dan Afghanistan. Maksud dari permusuhan yang melibatkan pemerintah Eropa di sini adalah adanya pembiaran atau pelanggaran hukum oleh otoritas setempat terhadap kelompok agama atau individu tertentu atas dasar identitas agama mereka.

Kebencian dan permusuhan sosial ini tampil dalam beragam bentuk seperti, mengeluarkan ancaman fisik dan memisahkan masyarakat antar sesama dengan tujuan mempersulit mereka melaksanakan ajaran agamanya atau menyampaikan kritik di depan publik. Langkah-langkah ini dilakukan oleh pemerintah atau para pejabat Eropa.

Penggunaan kekerasan oleh pemerintah meliputi tindakan atau kebijakan, yang menyebabkan individu kehilangan harta bendanya, penangkapan, pemindahan paksa, serangan, atau bahkan kematian. Dalam laporan Pew Research Center, kekerasan dan serangan berbau agama menyasar masyarakat Muslim di Eropa dan kelompok-kelompok minoritas agama lainnya terutama Yahudi.

Gelombang Islamphobia di Eropa sudah berlangsung lama dan muncul dalam bentuk yang terorganisir, di mana melibatkan pemerintah dan media-media di benua tersebut. Nama yang identik dengan Muslim, warna kulit, dan pakaian akan menghadapi diskriminasi dan pembatasan. Wanita Muslim yang berjuang mempertahankan identitasnya akan menghadapi serangan yang lebih besar ketimbang Muslim lainnya. Mereka kerap diganggu, disakiti, dan menjadi sasaran perlakuan rasis.

Organisasi-organisasi HAM di Barat biasanya tidak begitu mempedulikan kondisi warga Muslim di Eropa, tapi mereka kadang-kadang juga menerbitkan laporan tentang minoritas Muslim di Eropa. Pada tahun 2012, Amnesty International mengatakan dalam sebuah laporan bahwa kaum Islam menjadi korban diskriminasi di negara-negara Eropa. Laporan itu mengkritik keras negara-negara Eropa yang telah melarang kerudung atau simbol keagamaan di sekolah-sekolah.

Menurut laporan Amnesty International, negara-negara Eropa melakukan diskriminasi terhadap kaum Islam karena memperlihatkan keyakinan mereka, terutama di bidang pendidikan dan pekerjaan. Kelompok HAM itu mendesak pemerintah-pemerintah Eropa untuk berbuat lebih banyak demi menolak stereotip dan prasangka negatif terhadap Islam.

Pakar Amnesty International bidang diskriminasi, Marco Perolini mengatakan, "Para pejabat publik dan partai politik lebih memilih menarik suara mereka (pelaku serangan) daripada melawan stereotip tersebut." Ia menambahkan, "Wanita Muslim ditolak bekerja dan anak perempuannya dicegah mengikuti kelas reguler hanya karena mereka memakai pakaian agama, seperti jilbab. Kaum pria bisa dipecat karena memasang jenggot yang identik dengan Islam."

"Menggunakan simbol dan pakaian agama dan budaya adalah bagian dari hak kebebasan berekspresi. Ini adalah bagian dari hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan hak-hak ini harus dinikmati oleh semua agama secara setara," tegas Perolini.

Tapi, sayangnya Muslim di Eropa terus menghadapi pembatasan untuk melaksakan ajaran agamanya. Negara-negara – yang mengaku sebagai pelopor kebebasan berekspresi dan bergama terutama Perancis – justru terdepan dalam menciptakan pembatasan untuk masyarakat Muslim. Perancis adalah negara Eropa pertama yang meloloskan undang-undang larangan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah.

Negara-negara Eropa lainnya kemudian mengikuti jejak Perancis dengan melarang penggunaan jilbab di tempat-tempat umum. Pemerintah negara-negara Eropa selanjutnya mengadopsi aturan yang melarang pemakaian burka dan cadar di tempat publik. Kebanyakan negara Eropa sekarang melarang penggunaan burka dan memberlakukan pembatasan luas terhadap masyarakat Muslim.  

Di Swiss, konstitusi secara khusus menargetkan Muslim dengan melarang pembangunan menara masjid. Saat ini, beberapa negara Eropa bahkan ingin memberlakukan larangan penggunaan bahasa Arab di sekolah-sekolah agama dan pusat pendidikan Islam di wilayah Eropa. Padahal, bahasa Arab adalah bahasa al-Quran dan bahasa agama Islam.

Dalam hal ini, kita simak pandangan seorang pakar sosial Iran, Nyonya Doktor Akhondan:

"Fokus negara-negara Eropa adalah melarang semua identitas Islam terutama jilbab Muslimah, di mana larangan ini sudah berlaku di lembaga-lembaga dan perusahaan-perusahaan di Eropa. Ini adalah bentuk diskriminasi terhadap perempuan untuk keterlibatan mereka di sektor sosial. Selain itu, propaganda besar-besaran Islamphobia oleh media-media Eropa telah membuat seseorang diserang oleh kelompok ekstrim dan nasionalis hanya karena ia Muslim."  

Semua pembatasan ini dilakukan dalam konteks sebuah pemikiran dan ideologi yang keliru yaitu; Islam adalah penyebar ekstremisme dan kekerasan. Negara-negara Barat – dengan mempromosikan Islamphobia – ingin menjustifikasi perilaku anti-Islam, tindakan diskriminatif, dan pembatasan yang mereka terapkan terhadap masyarakat Muslim.

Undang-undang kontra-terorisme di Eropa juga disusun dengan sasaran utama dalam perang tersebut adalah kaum Muslim. Mereka akan dicurigai dan dibuntuti jika terjadi peristiwa teror sekecil apapun di Eropa. Mereka akan menjadi sasaran serangan media-media Barat dan dinas keamanan.

Amnesty International dalam laporannya pada Januari 2017, mengkritik undang-undang kontra-terorisme di Eropa dan menyebutnya diskriminatif. Aturan yang menargetkan Muslim dan pengungsi ini, telah menyebarkan ketakutan dan keterasingan. Seorang pakar Amnesty International mengenai kontra-terorisme dan penulis laporan tersebut, Julia Hall mengatakan, "Di wilayah Uni Eropa, kita menyaksikan Muslim dan orang asing disamakan dengan teroris. Stereotip yang sangat tidak proporsional ini, mempengaruhi komunitas tersebut sehingga ada tingkat ketakutan dan keterasingan yang tinggi."

Dia memperingatkan bahwa tindakan pengawasan yang ketat, pengintaian, penahanan, dan penangkapan seperti yang diperkenalkan di Perancis sejak November 2015, dapat disalahgunakan untuk menargetkan aktivis atau kelompok minoritas yang tidak menimbulkan ancaman.

Mengingat mayoritas pengungsi dan pencari suaka di Eropa berasal dari negara-negara Muslim, maka kebijakan anti-pengungsi juga telah menciptakan pembatasan terhadap masyarakat Muslim di benua itu. Partai-partai di Eropa berlomba-lomba untuk memperkenalkan pembatasan terhadap Muslim, dan partai kanan ekstrim menjadi pelopor gerakan ini. Partai Front Nasional Perancis dan Partai Kebebasan di Belanda berada di barisan terdepan dalam memusuhi Islam.

Ketua Partai Kebebasan Belanda, Geert Wilders menyerukan penutupan masjid dan sekolah-sekolah Muslim di Belanda. Menurut partai Wilders, jalanan telah dicemari berandalan, kriminalitas di mana-mana dan ini semua disebabkan oleh para teroris jalanan.

Ketua Partai Front Nasional, Jean-Marie Le Pen mendesak pelarangan penuh jilbab Muslimah di Perancis. Ia bahkan memprotes maraknya penjualan makanan halal di Perancis. Warga Perancis menyambut makanan yang berlabel halal demi keselamatan dan kebersihan.

Naiknya popularitas partai-partai ekstrim kanan mendorong partai-partai tradisional Eropa ikut mendukung slogan-slogan pembatasan terhadap Muslim dan pengungsi agar mereka tidak kehilangan basis sosialnya. Sebenarnya, pembatasan ini merupakan lampu hijau bagi kelompok-kelompok anti-Islam di Eropa untuk memperlakukan Muslim secara diskriminatif dan rasis. Mereka sama sekali tidak menerima konsekuensi hukum atas sikapnya tersebut, karena pemerintah-pemerintah Eropa mendukung aksi itu untuk membatasi ruang gerak Muslim di Eropa.