Amerika dan Fenomena Penyelundupan Manusia (1)
Pemerintah Amerika Serikat di aksi terbarunya dalam menebar beragam klaim palsu, di laporan tahunan Departemen Luar Negerinya mencantumkan Republik Islam Iran di negara-negara yang didakwa terlibat dalam penyelundupan manusia.
Departemen Luar Negeri Amerika di laporannya mengklaim bahwa Iran bukan saja tidak memperhatikan standar internasional untuk memberantas penyelundupan manusia, bahkan tidak pernah melakukan upaya apapun di kasus ini. Dengan alasan ini pula, Amerika memberlakukan pembatasan terhadap Republik Islam Iran.
Penyelundupan manusia merupakan fenomena mengerikan yang secara langsung menarget kehormatan manusia. Menurut pandangan Republik Islam Iran, menjaga kehormatan dan hak manusia sebagai sebuah prinsip Islam dan agama senantiasa mendapat perhatian besar. Oleh karena itu, parlemen Republik Islam Iran dengan meratifikasi undang-undang anti penyelundupan manusia, telah menentukan hukuman berat bagi fenomena ini dalam beragam bentuknya.
Penyelundupan Manusia (Smuggling), menurut definisi Pasal 3 Protokol PBB Tahun 2000 tentang Penyelundupan Manusia, berarti mencari untuk mendapat, langsung maupun tidak langsung, keuntungan finansial atau materi lainnya, dari masuknya seseorang secara ilegal ke suatu bagian negara dimana orang tersebut bukanlah warga negara atau memiliki izin tinggal. Masuk secara ilegal berarti melintasi batas negara tanpa mematuhi peraturan/perijinan yang diperlukan untuk memasuki wilayah suatu negara secara legal.
Penyelundupan Manusia memiliki unsur yang hampir sama dengan Perdagangan Orang, yaitu ada unsur PROSES, CARA dan TUJUAN. Unsur PROSES adalah aktivitas pemindahan seseorang (sama seperti dalam perdagangan orang). Unsur CARA adalah tidak ada unsur penyelewengan persetujuan kehendak pribadi maupun dengan penggunaan kekerasan, umumnya calon migran mencari dan memulai kontak dengan penyelundup sendiri dengan menyadari tujuannya, yaitu untuk melintasi batas suatu Negara secara ilegal. Sedangkan unsur TUJUAN yaitu selalu ada nilai mendapatkan keuntungan berupa finansial dan pelaksanaannya untuk tujuan melintasi perbatasan Negara yang dilakukan secara ilegal.
Perbedaan mendasar yang bisa kita lihat antara Perdagangan Orang dengan Penyelundupan Manusia, adalah dari sifat dan kualitas persetujuannya, dimana perdagangan orang persetujuan diperoleh karena kekerasan, paksaan, penipuan dan sebagainya. Sedangkan Penyelundupan Manusia selalu ada persetujuan untuk pemindahan. Dari Kepentingan, dimana perdagangan orang tujuannya selalu eksploitasi sedangkan penyelundupan manusia tujuannya pemindahan orang secara ilegal.
Dilihat dari sifat hubungan antara individu dengan fasilitator/pihak yang mengekploitasi, dimana perdagangan orang antara (korban dan trafiker) terjadi hubungan jangka panjang, berkesinambungan, hingga korban berada di negara tujuan hubungan ini masih berlangsung. Sedangkan penyelundupan manusia antara (pembeli & pemasok) hubungan jangka pendek dan putus setelah kegiatan pemindahan ke suatu negara tercapai.
Pemindahan ini mayoritasnya dari negara-negara sedang berkembang dan negara yang mengalami transisi ekonomi dengan tujuan mencari kondisi lebih baik. PBB membenarkan adanya sekitar tiga juta kasus penyelundupan manusia di dunia setiap tahun. Dari jumlah tersebut 56 persen dari Asia, 10 persen dari Amerika Latin dan 9 persen dari Timur Tengah dan Afrika Utara.
Pertanyaannya di sini, di mana sumber penyelundupan manusia, mengapa dan bagaimana negara-negara menjadi sumber pengungsian dan penyelundupan ribuan manusia tak berdosa serta menciptakan kondisi bagi ribuan perempuan jatuh ke mafia penyelundupan manusia, mengaku tidak terlibat dalam fenemena buruk ini dan malah menuding negara lain.
Berdasarkan data yang dirilis Organisasi Buruh Internasional (ILO), setiap tahunnya sekitara 4,2 juta orang menjadi korban penyelundupan manusia dan tercatat 32 juta dolar pendapatan haram dari praktek ini. Tujuan final dari 3 juta korban penyelundupan manusia adalah Amerika dan Eropa. Penyelundupan manusia terkadang bertujuan seperti pelecehan seksual dan tujuan lain seperti perbudakan atau kerja paksa tanpa gaji, tanpa libur mingguan atau jam kerjanya tinggi.
Setiap tahunnya 2,5 juta orang dari negara-negara sedang berkembang diselundupkan dan separuhnya adalah anak-anak. Dari jumlah tersebut, lebih dari seratus ribu dikirim ke Amerika dan mayoritasnya mereka dari Amerika Latin termasuk Mexico serta sejumlah negara Asia seperti Cina dan Vietnam. Hampir 50 persen penghasilan miliaran dolar dari industri kotor ini miliki Amerika.
Lembaga riset nasional penyelundupan manusia (NHTRC) yang bertanggung jawab memerangi fenomena penyelundupan manusia juga membenarkan hal ini. Cecilia Malmström, komisaris kebijakan internal Uni Eropa saat diwawancarai Koran Jerman, Die Welt mengisyaratkan fenomena Eropa ini. "Sangat sulit diterima, namun di negara-negara Uni Eropa hidup puluhan ribu manusia yang diperjualbelikan layaknya barang. Ini sebuah realita pahit dimana perdagangan manusia ada di sekeliling kita dan kondisi ini sangat dekat dengan kita tanpa kita sadari," papar Cecilia Malmström.
Riset berbagai lembaga resmi Amerika menunjukkan, ""....Setiap tahun lebih dari 100 ribu anak perempuan di bawah umur diperdagangkan di Amerika sebagai budak seks. Bahkan di Washington, ibukota AS, anak remaja perempuan yang sebagiannya berusia 13 tahun juga diperjualbelikan sebagai budak seks."
Klaim pemerintah Amerika Serikat terkait Hak Asasi Manusia (HAM) berbeda dengan realita. AS ketika mengklaim bersimpati terkait kasus HAM, justru negara ini menolak bergabung dengan berbagai konvensi internasional termasuk konvensi hak anak, konvensi hukum ekonomi sosial dan budaya, protokol tak mengikat konvensi anti penyiksaan, konvensi internasional melindungi penghilangan paksa seseorang, konvensi Roma terkait anggaran dasar Mahkamah Kriminal Internasional, konvensi anti diskriminasi terhadap perempuan serta konvensi HAM internasional.
Meski demikian Departemen Luar Negeri AS setiap tahun melalui laporannya mengkaji kondisi HAM di berbagai negara lain. Berdasarkan keterangan komisi HAM, Amerika tidak menjadi anggota lembaga HAM regional. Ini merupakan sebagian realita yang tidak mungkin disembunyikan Amerika melalui laporan-laporan palsunya.
Meski ada proyeksi gencar Amerika Serikat, Republik Islam Iran termasuk negara selama bertahun-tahun lalu meratifikasi undang-undang untuk memerangi penyelundupan manusia. Konstitusi Iran terkait pencegahan kejahatan di pasal 156 secara transparan dan di pasal 8 secara tak langsung menjelaskan hal ini. Hal ini mengindikasikan posisi penting dan mendasar pencegahan kejahatan sebagai salah satu sarana kontrol kriminal yang penting.
Di sisi lain, dengan diratifikasinya undang-undang anti penyelundupan manusia di tahun 2004, Iran telah melakukan langkah serius dalam memerangi fenomena anti kemanusiaan dan bersama-sama masyarakat internasional aktif melawan fenomena buruk ini. Perlindungan Iran khususnya kepada warga Afghanistan dan negara lain yang mengalami kondisi buruk sebagai pengungsi, merupakan bagian dari prestasi Tehran di bidang ini. Prestasi ini berulang kali dipuji baik oleh lembaga independen Eropa atau pun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sivanka Dhanapala, perwakilan UNHCR di Republik Islam Iran di peringatan Hari Pengungsi Sedunia (20 Juni) yang digelar di kamp warga asing di kota Mashad menjelaskan, "Republik Islam Iran dengan spirit perdamaian dan kedermawanan yang mencitrakan ajaran agama, senantiasa memberi pelayanan kepada para pengungsi melebihi komitmen internasional."
Tak diragukan lagi tujuan dari perilisan laporan bias ini adalah merusak citra Republik Islam Iran. Tudingan tak mendasar Deplu AS terkait Iran dirilis di saat Tehran di bawah ajaran dan prinsip Islam memiliki undang-undang tinggi dan mulia terkait kasus ini.
Wajar jika pemerintah Amerika tidak harus menyebar proyeksi anti Tehran atau menuding negara lain dengan dakwaan palsu serta kemudian tidak bersedia bertanggung jawab.