Kebijakan Imigran Trump; Skandal Moral dan HAM AS
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump memilih kebijakan inkonvensional dan kontroversial baik di dalam maupun luar negeri. Tentu saja kebijakan seperti ini menuai banyak kritik dan protes baik itu di Amerika sendiri atau di luar negeri. Salah satu kasus adalah isu imigrasi di AS, khususnya imigran gelap yang menjadi janji utamanya selama kampanye presiden. Imigran gelap ini memasuki Amerika dari wilayah selatan yakni di perbatasan negara ini dengan Meksiko.
Diprediksikan saat ini terdapat 11 juta imigran gelap di Amerika. Trump di kampanye pemilu presiden berjanji akan menindak tegas para imigran gelap. Untuk merealisasikan janjinya ini, Trump pertama-tama membangun tembok pemisah di perbatasan antara AS dan Meksiko serta menekankan ekstradisi para imigran gelap. Masalah ini dinilai pengamat mendorong simpatisan kubu Republik di berbagai negara bagian khususnya di negara bagian Arizona dan New Mexico yang memiliki kekhawatiran besar soal imigran gelap cenderung memilih Trump, apalagi presiden kontroversial Amerika ini kerap menyerang imigran dengan nada pedas.
Trump berulang kali mendapat kritik pedas akibat statemen anti imigrannya serta pembangunan tembok pemisah di perbatasan AS-Meksiko. Mantan menteri luar negeri AS, Madeleine Albright mengkritik kebijakan imigran presiden negara ini dan ucapan pedasnya terkait para imigran. Albright di akun twitternya menulis, “Jelas bahwa imigran baik itu legal ataupun ilegal ingin memperbaiki taraf hidup mereka. Menyebut mereka sebagai “binatang atau serangga”, memicu rasa jijik. Apa yang terjadi di Washington dan perbatasan kami, sangat menyakitkan, tidak benar dan bukan perilaku sejati AS.”
Trump berulang kali berjanji akan menindak tegas imigran ilegal dan menempatkannya di agenda kerja pemerintah. Di awal kekuasaannya, tepatnya awal September 2017, Trump membatalkan DACA (Undang-Undang Tindakan Penangguhan untuk Anak-anak). Berdasarkan undang-undang yang diratifikasi tahun 2012 ini, anak-anak yang masuk secara ilegal ke Amerika dan tengah belajar tidak akan dideportasi dan mereka diijinkan untuk melanjutkan kerja serta pendidikannya.
Langkah Trump ini membuat rencana pengampunan 800 ribu imigran muda berakhir. Tindakan Trump ini tentu akan mendorong pengusiran besar-besaran imigran. Langah selanjutnya Presiden Trump meski mendapat penentangan keras adalah kebijakan nol toleransi terhadap imigran gelap yang memasuki AS melalui perbatasan Meksiko. Kebijakan ini diberlakukan awal tahun 2018. Dalam rangka melaksanakan instruksi presiden ini dan mencegah masuknya imigran gelap, polisi perbatasan Amerika antara 5 Mei hingga 9 Juni sedikitnya memisahkan 2342 anak-anak imigran dari orang tuanya.
Anak-anak tersebut ditempatkan di penampungan yang berbeda dengan orang tuanya di perbatasan Meksiko dan ditahan di sel. Pendekatan terbaru Trump tersebut menuai penentangan keras baik di dalam maupun luar negeri. Bahkan ibu negara dan putri Trump sendiri menentang kebijakan tersebut. Michael Hayden, mantan Direktur Dinas Rahasia AS (CIA) mengatakan, kebijakan pemisahan anak imigran dari orang tuanya mengingatkan kejahatan NAZI di kamp Auschwitz. Dan jika proses ini tidak dicegah maka sejarah Hitler akan terulang di Amerika.
Melalui tindakannya ini Trump bukan saja menunjukkan dirinya sosok egois di kebijakan dalam dan luar negeri, bahkan di bidang kemanusiaan dan moral ia memiliki banyak kelemahan. Pada dasarnya Trump tidak meyakini tolok ukur moral dan Hak Asasi Manusia (HAM). Fouad Izadi, pengamat politik, seraya mengisyaratkan kebijakan nol toleransi Trump terhadap imigran dan pemisahan paksa anak-anak dari orang tuanya menjelaskan, hal ini menunjukkan bahwa presiden AS ingin menunjukkan dirinya berkuasa sehingga mampu menarik dukungan kelompok rasis di negara ini dan mengatakan kepada mereka bahwa ia akan melanjutkan pendekatan rasis tersebut.
Trump ketika memutuskan untuk memisahkan anak-anak imigran dari orang tuanya dengan dalih melaksanakan undang-undang, pemerintah sebelumnya menolak melaksanakan kebijakan ini karena takut namanya ternoda dan memicu keterkucilan lebih besar Amerika di tingkat internasional. Tujuan dari kebijakan Trump ini jelas. Baru-baru ini dalam sebuah statemennya Trump mengungkapkan AS tidak akan berubah menjadi penampungan imigran seperti Eropa.
Sejatinya tindakan terbaru Trump untuk menciptakan ketakutan kepada imigran Latin yang memasuki Amerika melalui perbatasan Meksiko. Melalui kebijakan pemisahan anak imigran dari orang tuanya, Trump ingin mencegah masuknya imigran gelap ke AS dengan membuat mereka ketakutan akan sikap pemerintah terhadap imigran gelap.
Pada 24 Juni, Trump dalam tweetnya seraya mengisyaratkan imigran gelap menyatakan, “Kami tidak bisa membiarkan para penyerang ini menyerbu negara kami! Ketika orang-orang ini datang ke negara kami, kita harus mengembalikannya ke tempat asal mereka tanpa membutuhkan hakim atau pengadilan, sistem imigrasi kita saat ini sangat menggelikan.”
HRW seraya merilis statemen pada 29 Juni mengkritik kebijakan terbaru Trump dan menekankan pemerintah AS telah mengabaikan HAM baik di kebijakan dalam dan luar negerinya. Statemen ini seraya mengungkapkan ketidakpuasannya atas keluarnya AS dari Dewan HAM PBB, juga mengkritik kebijakan imigran Trump serta mengungkapkan, sebelumnya Komisioner HAM PBB memprotes langkah pemerintah Amerika memisahkan secara paksa anak-anak imigran dari orang tuanya.
Instruksi Trump memisahkan anak-anak imigran gelap dari orang tuanya merupakan langkah anti kemanusiaan dan tidak dapat dibenarkan. Langkah ini menuai gelombang protes besar-besaran terhadap pemerintah Gedung Putih. Dalam koridor protes ini, seorang demonstran perempuan untuk mengungkapkan protesnya rela naik ke atas patung Liberty di New York. Perempuan aktivis ini anggota kelompok Rise and Resist yang menggelar demo pada 4 Juli dan dihari kemerdekaan Amerika memprotes kebijakan anti imigran Trump.
Maraknya demo di dalam dan luar Amerika serta organisasi HAM, memaksa Trump mundur dari sikap sebelumnya. Dalam hal ini Trump dengan mundur dari kebijakan nol toleransi, pada 20 Juni menandatangani instruksi dihentikannya proses pemisahan anak imigran gelap dari orang tuanya. Meski demikian Trump masih menekankan, kebijakan nol toleransi masih tetap eksis, sebuah kebijakan hukum terhadap seluruh imigran gelap tanpa terkecuali.
Menurut Trump, untuk selanjutnya sebuah keluarga imigran gelap akan ditangkap dan dikumpulkan bersama, sebagai ganti dari pemisahan anak dari orang tuanya. Kebijakan nol toleransi bukan saja menimbulkan reaksi negatif internasional, bahkan gelombang protes juga menyebar di dalam mata rantai kekuasaan dan politik Amerika. Dalam hal ini, 18 negara bagian Amerika menyusun pengaduan terhadap pemerintah Amerika dan menyerahkannya kepada pengadilan federal sebagai protes atas pelaksanaan kebijakan anti imigran gelap “nol toleransi”.
Beberapa waktu setelah implementasi kebijakan nol toleransi dan sikap tak manusiawi terhadap imigran gelap, secara bertahap sejumlah dampak mengerikannya terungkap. Koran The Guardian dalam sebuah artikelnya seraya mengisyaratkan cuitan tertkait sikap memalukan pemerintah Trump terhadap anak-anak imigran menulis, ketika pemberitaan terkait sikap pemerintah Trump terhadap anak-anak imigran gelap meluncur, sebuah cuitan terkait peristiwa menyedihkan telah membangkitkan pemikiran dan empati manusia.
Televisi PBS Amerika melaporkan, seorang balita 14 bulan yang telah terpisah dari orang tuanya, setelah 85 hari dikembalikan polisi ke orang tuanya dan badannya saat itu sangat kotor dan dikerubungi kutu. Jelas bahwa balita tersebut selama tiga bulan tidak pernah dimandikan. Jika orang tua tidak memandikan anaknya selama tiga bulan maka ia akan ditangkap dengan dakwaan melakukan kekerasan terhadap anak. Justru tindakan seperti ini dilakukan oleh pemerintah Amerika dan sampai saat ini mereka tidak mampu memberi jawaban.
Senator Jeff Merkley, salah satu anggota Kongres dari kubu Demokrat yang meninjau anak-anak imigran gelap yang ditahan di selatan Texas mengatakan, mayoritas anak-anak ini ditahan dan mereka dipisahkan dari orang tuanya serta menderita gangguan mental dan psikologis. Kurt Eichenwald, jurnalis Koran New York Times saat mereaksi langkah sadis terbaru polisi Amerika dalam menindak imigran menulis, dengan instruksi Trump, anak-anak dipisahkan secara paksa dari pelukan orang tuanya. Amerika tiba di masa akhirnya, dan tidak ada lagi kota penuh harapan, tapi yang ada adalah mimpi buruk di bawah pemerintahan seorang gila. Menurutnya Amerika melalui tindakannya ini layak untuk mendapat kecaman global.
Sementara itu, Trump berusaha membela kebijakannya dihadapan protes luas kubu Demokrat dan Republik dan dengan dalih urgensitas menangani imigran gelap, ia meratifikasi anggaran besar untuk membangun tembok pemisah di perbatasan dengan Meksiko. Poin unik di sini adalah keputusan Trump ini menjadi isu baru dan tambahan di friksi Eropa dan Amerika. Petinggi Eropa mengungkapkan kebenciannya atas aksi tak manusiawi tersebut.
Selama menjabat sebagai presiden, Donald Trump memilih kebijakan unilateralisme di bidang imigran seperti menindak para imigran gelap dari Amerika Latin, rencana pembangunan tembok pemisah di perbatasan dengan Meksiko, mendeportasi imigran gelap dari AS, mencabut undang-undang DACA yang melindungi anak-anak imigran gelap serta kebijakan anti Muslim seperti melarang masuknya warga sejumlah negara Islam ke Amerika dengan alasan mereduksi ancaman keamanan terhadap negara ini. Melalui tindakannya ini Trump senantiasa memicu tensi baik di dalam maupun luar negeri, baik itu dengan negara sekutu atau rivalnya di dunia.
Kini telah jelas bahwa pendekatan dan langkah Trump bukan saja membuat dirinya semakin terkucil, bahkan instruksi terbaru presiden Amerika dalam menyikapi imigran gelap dan pemisahan anak-anak imigran ini dari orang tuanya mendorong gelombang kebencian yang terus meningkat kepada Trump baik di dalam negeri maupun ditingkat internasional. Meski diluarnya tampak Trump mundur dari kebijakannya ini, namun begitu perlakuan tak manusiawi terhadap imigran gelap di perbatasan AS dengan Meksiko dan tempat penahanannya masih tetap berlanjut.