Mengapa Embargo Senjata AS terhadap Iran Gagal ?
-
Dewan Keamanan PBB
Salah satu ciri khas pemerintahan Trump adalah penekanannya terhadap unilateralisme dan memprioritaskan kepentingan AS tanpa mempertimbangkan sama sekali kepentingan negara lain.
Meskipun Trump mengklaim kebijakannya ini akan mengembalikan supremasi AS di dunia, tapi fakta justru terjadi sebaliknya. Pendekatan Trump ini telah menyebabkan peningkatan isolasi AS di arena internasional. Robert Malley, mantan utusan AS di DK PBB menilai unilateralisme Trump telah mengisolasi AS, yang semakin jelas dengan keluar dari JCPOA dan pengenaan tarif perdagangan kepada sekutu terdekatnya sendiri.
Dari sudut pandang Perserikatan Bangsa-Bangsa, unilateralisme di dunia saat ini tidak menghasilkan apa-apa selain ketidakstabilan dan kekacauan, serta peningkatan kemungkinan konflik regional dan internasional.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres percaya bahwa multilateralisme dibutuhkan saat ini melebihi sebelumnya. Pendekatan unilateral pemerintahan Trump telah diterapkan dalam banyak kasus, termasuk penarikan sepihak dari kesepakatan nuklir JCPOA, perang dagang dengan rival dan mitra AS, pengakuan terhadap Baitul Maqdis sebagai ibu kota rezim Zionis dan aneksasi Dataran Tinggi Golan dan banyak kasus lainnya. Secara khusus, masalah penarikan AS dari JCPOA, dan upaya Washington untuk memaksakan kehendaknya kepada negara lain, dengan menggiring perpanjangan embargo senjata Iran menunjukkan sepak terjang destruktif AS yang terus-menerus berupaya memaksakan kepentingannya kepada negara lain di dunia.
Pada 8 Mei 2018, Trump mengumumkan penarikan Amerika Serikat dari JCPOA dan memberlakukan kembali sanksi nuklir terhadap Iran. Namun, langkah tersebut ditentang keras oleh anggota kelompok 4 + 1. Federica Mogherini yang menjabat sebagai kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa saat itu segera menentang langkah Trump, dan menekankan kerja sama Uni Eropa dengan Iran di bawah JCPOA. Pada saat yang sama, Inggris, Prancis, Jerman, Cina, dan Rusia juga menegaskan akan tetap di JCPOA.

Langkah Trump ini tidak hanya bertentangan dengan kepentingan kubu timur anggota JCPOA; Rusia dan China, tetapi juga mengabaikan pandangan mitra Washington di Eropa di JCPOA. Menteri Ekonomi Prancis Bruno Le Maire menyesalkan keluarnya AS dari JCPOA, dengan mengatakan bahwa ambisi Washington ingin menjadi polisi militer dunia sama sekali tidak dapat diterima. Ia menilai kebijakan Trump menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan Eropa yang menjalin hubungan ekonomi dengan Iran sebagai kesalahan besar karena merusak keamanan internasional secara politik dan militer, dan juga membahayakan perekonomian.
Faktanya, dengan mengumumkan penarikan Amerika Serikat dari JCPOA, Trump menunjukkan bahwa Amerika Serikat tidak dapat memainkan perannya sebagai kekuatan yang positif dan efektif di dunia. Gedung Putih dalam sebuah pernyataan pada 15 Juni 2018 menyatakan bahwa penarikan AS dari JCPOA adalah salah satu pencapaian pemerintahan Trump demi memulihkan kepemimpinan AS di kancah internasional.
Dalam sebuah pernyataan, Gedung Putih menyebut JCPOA sebagai kesepakatan sepihak dan merugikan kepentingan Amerika Serikat. Trump juga mengklaim langkah tersebut berhasil mengurangi pengaruh regional Iran.
Pemerintahan Trump melancarkan sanksi yang paling belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Republik Islam Iran dalam konteks tekanan maksimum, dan menekankan kelanjutan dari sanksi tidak manusiawi ini meskipun Iran sedang menghadapi pandemi Covid-19. Sementara itu, pejabat AS seperti Brian Hook, mengklaim bahwa ekonomi Iran sangat melemah akibat sanksi sepihak AS. Namun, klaim berlebihan Gedung Putih dan Trump tentang efektivitas langkahnya itu berbanding terbalik dengan fakta di lapangan.

Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menilai penarikan sepihak Amerika Serikat dari JCPOA menimbulkan pukulan serius terhadap posisi PBB, sekaligus merusak hukum internasional. Sanksi AS terhadap Iran menunjukkan bahwa pemerintah AS tidak memiliki visi yang jelas bagi publik internasional di masa depan.
Republik Islam telah mengadopsi strategi perlawanan maksimum terhadap strategi tekanan maksimum AS, dan dengan mengadopsi ekonomi resistif yang dilakukan bersamaan dengan berlanjutnya peran regional Iran.
Situs responsiblestatecraft.org dalam analisisnya menulis,"AS tidak lagi memiliki wewenang di Iran, meskipun sanksinya telah menimbulkan kerusakan, tapi AS belum mampu memaksa Iran untuk memenuhi tuntutannya,".
Pernyataan senada disampaikan Jalil Bayat, analis politik yang mengatakan bahwa langkah Trump menarik AS dari kesepakatan nuklir JCPOA telah merusak kredibilitas AS, dan meningkatkan kemungkinan perang yang tidak diinginkan, hubungan yang tegang dengan sekutu Eropa, dan menciptakan kesulitan yang meningkat bagi rakyat Iran.
Kebijakan tekanan maksimum AS terhadap Iran telah menyulut banyak kecaman di tingkat internasional; Baik dari sekutu, mitra, dan rival Amerika.
Kepala The Council on Foreign Relations (CFR), Richard Maas mengatakan, "Amerika Serikat telah mengisolasi dirinya sendiri daripada Iran. Trump secara sepihak menarik AS keluar dari JCPOA dan memberlakukan babak baru sanksi terhadap Iran .... Sanksi tersebut yang dilakukan bersamaan dengan aksi lainnya tidak mengarah pada perubahan perilaku atau penggulingan rezim Iran, yang tampaknya telah menjadi tujuan utama kebijakan pemerintah AS,".
Washington telah berulangkali mengklaim bahwa Iran melanggar isi JCPOA untuk membenarkan langkahnya keluar dari JCPOA secara ilegal. Tujuan pemerintahan Trump melancarkan klaim ini supaya Iran tidak bisa menikmati manfaat JCPOA, termasuk pencabutan embargo senjata.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo telah berulangkali meminta Washington untuk memperpanjang embargo senjata dalam berbagai kesempatan pada 2019 dan awal 2020. Secara khusus, pada 18 April 2020, dia meminta Dewan Keamanan PBB untuk memperpanjang embargo senjata terhadap Iran.
Pompeo menuding Iran melanggar Resolusi Dewan Keamanan PBB 2231, dan mengklaim bahwa berakhirnya embargo senjata Iran akan menciptakan perlombaan senjata di kawasan, memperkuat kekuatan regional Iran dan sekutunya, serta membahayakan keamanan rezim Zionis.
Di bawah Resolusi Dewan Keamanan PBB No.2231, yang mulai berlaku pada 2016, impor atau ekspor senjata dari atau menuju Iran dilarang selama lima tahun yang akan berakhir pada Oktober 2020. Setelah itu, Iran kembali bisa membeli senjata dari luar negeri atau mengekspornya. Amerika Serikat telah menyerukan kelanjutan embargo senjata Iran. Padahal, AS sendiri merupakan penjual senjata terbesar ke Asia Barat dan telah menjual senjata puluhan miliar dolar ke negara-negara kawasan Teluk Persia dalam beberapa tahun terakhir, yang memicu perlombaan senjata di kawasan. Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menanggapi penjualan senjata AS tersebut dengan mengatakan, "Kebijakan AS telah membahayakan stabilitas dan perdamaian di kawasan dengan mengubahnya menjadi tong mesiu".
Pada saat yang sama, Republik Islam Iran selama bertahun-tahun tidak membeli senjata akibat sanksi, tapi bisa memenuhi kebutuhan militernya dengan mengandalkan kekuatan para ahli dalam negeri dari perancangan dan pembuatan berbagai jenis senjata untuk keperluan di darat, udara, dan laut, maupun rudal, peralatan elektronik dan sensor. Bahkan kini mampu untuk mengekspor senjata ke negara lain. Faktanya, Washington takut akan peningkatan kekuatan pertahanan Iran dan kekuatan ekspornya di bidang persenjataan. Oleh karena itu, Washington terus berupaya untuk memperpanjang embargo senjata terhadap Tehran.(PH)