Ketika Upaya Perdana Menteri Inggris Menangani Anti-Islam Tidak Berhasil
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer meninggalkan liburan akhir pekan dan kembali ke rumah nomor sepuluh di Downing Street, London, menyusul berlanjutnya ketidakamanan dan kerusuhan ekstrem kanan dan rasis.
Starmer sejauh ini telah mengadakan tiga sidang darurat untuk mengendalikan kerusuhan. Sekitar 6.000 petugas dikerahkan di jalan-jalan untuk mengendalikan serangan lebih lanjut terhadap komunitas Muslim dan imigran.
Dewan Pimpinan Polisi Nasional melaporkan bahwa sejak dimulainya protes massal di Inggris, 779 orang telah ditangkap dan 349 di antaranya telah didakwa.
Meskipun tindakan keamanan dan peradilan diperketat, kerusuhan terus berlanjut di banyak kota di Inggris.
Sky News melaporkan dari ucapan Chris Hopkins, seorang peneliti politik di Savanta Research Center, Mengingat ketidakamanan dan kekacauan di seluruh negeri, kepuasan terhadap Perdana Menteri telah mencapai tingkat terendah sejak pemilihan parlemen. Masih harus dilihat apakah tanggapan Keir Starmer terhadap kerusuhan akan berdampak jangka panjang pada posisinya di mata para pemilih.
YouGov telah menerbitkan penelitian yang menunjukkan bahwa setengah dari penduduk Inggris percaya bahwa Keir Starmer telah melakukan pekerjaan yang buruk dalam menghadapi kerusuhan yang meluas di negaranya.
Pada akhir bulan Juli, setelah seorang remaja berusia 17 tahun menyerang sebuah pesta yang dihadiri oleh anak-anak di kota Southport, protes yang meluas dimulai di banyak kota di Inggris.
Akibat serangan pisau ini, tiga anak tewas, beberapa anak lainnya, dan dua orang dewasa dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi serius.
Segera setelah kejadian ini, berita palsu dipublikasikan di media Inggris bahwa remaja tersebut adalah seorang Muslim. Kelompok ekstrim kanan menggunakan berita palsu ini sebagai alasan dan menyerang umat Islam dan tempat-tempat Muslim.
Selama lebih dari seminggu, umat Islam pergi ke tempat kerja dan rumah mereka dalam ketakutan dan kekhawatiran. Bahkan tokoh Muslim terkemuka Inggris seperti Humza Yousaf, Perdana Menteri Skotlandia, dan Sadiq Khan, Wali Kota London, tidak menyembunyikan ketakutan dan kekhawatiran tersebut.
Ketika ditanya apakah ia merasa aman sebagai politisi Muslim, Sadiq Khan menjawab, Jelas, saya tidak aman, itu sebabnya saya hidup di bawah perlindungan polisi 24 jam.
Sejak terpilih sebagai wali kota pada tahun 2016, Khan telah menerima banyak ancaman dan mengatakan tim polisi beranggotakan 15 orang bertanggung jawab melindungi dia dan keluarganya.
Istrinya Saadiya Ahmed, seorang pengacara keturunan Pakistan berada di bawah perlindungan bersama putri mereka Anisa dan Amara.
Sementara Humza Yousaf, Perdana Menteri Skotlandia mengatakan bahwa karena meningkatnya Islamofobia di Inggris, ia dan keluarganya mungkin terpaksa meninggalkan negara itu karena takut akan kerusuhan sayap kanan.
Yousaf mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Telegraph bahwa dirinya dan warga lain yang tergabung dalam kelompok minoritas merasa bahwa "rasa memiliki mereka terhadap negara dipertanyakan".
Perdana Menteri Skotlandia ini menambahkan, Retorika anti-Islam dan anti-imigran telah menjadi “normal” di Inggris dan sekarang “diekspresikan dengan cara yang paling mengerikan dan penuh kekerasan”.
Ketika tokoh-tokoh Muslim terkemuka di Inggris mengungkapkan ketakutan dan keprihatinan mereka terhadap kehidupan Inggris, situasi menjadi jauh lebih sulit dan mengkhawatirkan bagi minoritas Muslim, terutama para imigran dan pendatang.(sl)