Akankah Uni Eropa Menangguhkan Kerja Sama Perdagangan dengan Israel?
(last modified Sat, 10 May 2025 03:59:05 GMT )
May 10, 2025 10:59 Asia/Jakarta
  • Hubungan Rezim Zionis dan Uni Eropa
    Hubungan Rezim Zionis dan Uni Eropa

Pars Today - Pertemuan menteri-menteri luar negeri Uni Eropa mendatang pada tanggl 20 Mei 2025, yang bertujuan untuk mempertimbangkan pembatalan atau kelanjutan perjanjian kerja sama perdagangan Eropa dengan rezim Zionis, dianggap sebagai titik balik dalam hubungan diplomatik dan ekonomi antara Eropa dan Israel.

Menurut laporan Pars Today, para pejabat Uni Eropa telah mengumumkan bahwa mereka akan segera mengadakan pertemuan untuk meninjau situasi terkini di Jalur Gaza dan agresi Zionis Israel terhadap penduduk di wilayah tersebut, untuk memutuskan apakah akan memutuskan atau melanjutkan hubungan ekonomi dengan Israel.

Uni Eropa selalu menjadi salah satu mitra ekonomi dan politik utama rezim Zionis dan. Sebagai mitra dagang terbesar Israel, Uni Eropa memiliki andil yang signifikan dalam impor dan ekspor rezim tersebut. Karena Perjanjian Kerja Sama UE-Israel, yang ditandatangani pada tahun 1995, telah memberikan Israel hak istimewa khusus di bidang tarif bea cukai, kerja sama ilmiah, teknologi, dan budaya.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, dengan berlanjutnya dan meluasnya kejahatan Israel terhadap warga Palestina yang tinggal di Gaza, kepatuhan Israel yang terus berlanjut terhadap perjanjian perdagangan dan mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia, terutama dalam perang Gaza, telah membuat marah banyak warga Eropa.

Dengan perang yang sedang berlangsung di Gaza, situasinya kini telah memburuk secara signifikan. Militer Zionis tidak hanya terus menyerang penduduk Gaza dan membakar tenda serta rumah mereka, tetapi juga memblokir semua jalur bantuan dan melancarkan genosida besar-besaran.

Ribuan warga Palestina yang tinggal di Gaza tidak memiliki akses terhadap air, makanan, atau obat-obatan. Bahkan, blokade total Israel terhadap Gaza, dengan mencegah masuknya makanan, obat-obatan, dan bahan bakar, secara efektif telah mengubah Gaza menjadi penjara terbuka, sedemikian rupa sehingga organisasi-organisasi hak asasi manusia menganggap tindakan ini sebagai bentuk "hukuman kolektif" dan pelanggaran hukum internasional yang nyata.

Kondisi ini telah menyebabkan masyarakat internasional, terutama negara-negara Barat, menghadapi banjir kritik atas kebisuan atau ketidakpedulian mereka dalam menghadapi krisis ini.

Publikasi gambar-gambar mengejutkan tentang anak-anak yang kelaparan, rumah sakit yang hancur, dan antrean panjang orang yang menunggu untuk menerima bantuan kemanusiaan yang sedikit kini telah mengungkap sifat tidak manusiawi dari rezim Zionis lebih dari sebelumnya.

Berbagai kondisi ini telah meningkatkan tekanan publik, terutama pada pemerintah Eropa, karena negara-negara Eropa selalu mengklaim untuk membela hak asasi manusia dan kebebasan individu dan sosial.

Dalam konteks ini, pertemuan 20 Mei dapat dilihat sebagai respons terhadap tekanan-tekanan ini.

Sebenarnya, Uni Eropa yang selalu menampilkan dirinya sebagai pembela hak asasi manusia, supremasi hukum, dan tatanan internasional, kini harus membuat keputusan sambil menghadapi kontradiksi yang jelas. Di satu sisi, ia adalah mitra dagang dan politik Israel, dan di sisi lain, ia menyaksikan pelanggaran hak asasi manusia yang terang-terangan oleh mitra yang sama, dalam situasi di mana situasi yang mengerikan di Gaza tidak lagi memungkinkan untuk penyangkalan atau pengabaian.

Meskipun pertemuan ini merupakan perubahan signifikan dalam wacana kebijakan luar negeri Eropa, pengalaman masa lalu, terutama setelah serangan Israel tahun 2014 dan 2021 di Gaza, telah menunjukkan bahwa Uni Eropa, yang tampak tegas dalam hal pernyataan politik, tidak mempertimbangkan tindakan hukuman terhadap Israel dalam praktik dan sebagian besar mengambil tindakan itu hanya untuk mempertahankan klaim perdamaian dan pembelaan hak asasi manusianya, sementara pertemuan tersebut juga dipengaruhi oleh persaingan geopolitik global.

Dalam hal ini, Amerika Serikat tetap menjadi pendukung Israel tanpa syarat, dan Uni Eropa berusaha menunjukkan kemandirian tindakan yang lebih besar dan mengatur kebijakan luar negerinya berdasarkan prinsip-prinsip yang dinyatakan, tetapi tekanan diplomatik AS dan lobi pro-Israel di Eropa kemungkinan akan mencegah negara-negara Eropa mengambil tindakan praktis apa pun.

Pada saat yang sama, banyak negara UE, seperti Jerman, terus menekankan dukungan mereka terhadap Israel dan melanjutkan dukungan politik dan militer mereka.

Pertemuan menteri-menteri luar negeri UE pada akhir Mei tampaknya akan menjadi ujian penting bagi kebijakan luar negeri UE dan integritas Eropa dalam menegakkan nilai-nilai yang selalu diklaimnya untuk dipertahankan.

Apakah Eropa bersedia mengorbankan kepentingannya demi hak asasi manusia dan hukum internasional?(sl)