Friksi Internal AS; Alasan untuk Lanjutkan Represi terhadap Iran
-
Senat Amerika
Sekretaris Dewan Tinggi Keamanan Nasional Iran, Ali Shamkhani menegaskan, Amerika Serikat tidak dapat membayar perselisihan internalnya dengan melanggar hak-hak hukum rakyat Iran.
Ali Shamkhani Rabu (9/2/2022) di akun Twitternya menulis, suara-suara yang terdengar dari para pemimpin Amerika menunjukkan bahwa tidak ada koherensi yang diperlukan di negara ini untuk mengambil keputusan politik terkait memajukan perundingan Wina.

Putaran kedelapan perundingan Wina terkait pencabutan sanksi Iran dimulai sejak Selasa, 8 Februari 2022, dan meski ada kemajuan di perundingan, tapi masih membutuhkan tekad politik Washington untuk mencapai hasil perundingan dan kesepakatan final.
Sementara Iran menuntut pencabutan sanksi yang efektif dan jaminan sebenarnya dengan makdus mencegah sabotase Amerika terkait kesepakatan potensial, wakil kubu Republik dan bahkan sejumlah wakil Demokrat di DPR Amerika berbicara mengenai keluarnya kembali dari kesepakatan di pemerintahan selanjutnya atau pentingnya sejumlah perubahan di kesepakatan nuklir.
Baru-baru ini, 33 anggota Senat AS dari kubu Republik di suratnya kepada Presiden Joe Biden memperingatkan bahwa jika pemerintahan Biden mencegah peninjauan kesepakatan nuklir dengan Iran, maka mereka akan berusaha untuk membuatnya tidak efektif dan jika kubu Republik kembali berkuasa, maka mereka akan membatalkan kembali kesepakatan.
Selain kubu Republik, sejumlah wakil Demokrat sepert Bob Menendez juga menentang kembali ke kesepakatan nuklir dengan Iran tanpa peninjauan mendasar di dalamnya termasuk untuk memperpanjang kesepakatan dan memperluas pengawasan program nuklir Iran.
Meski friksi internal di Amerika termasuk faktor kelambanan pemerintah Biden mengambil keputusan politik yang diperlukan untuk meraih kesepakatan lebih cepat di perundingan Wina, tapi harus diperhatikan bahwa Amerika Serikat dengan keluar secara sepihak dari JCPOA dan menjatuhkan sanksi ekonomi ilegal adalah pihak yang bertanggung jawab atas kondisi saat ini dan kerugian yang dialami Iran. Dan pemerintah Biden bukan saja tidak melakukan langkah-pangkah efektif di bidang ini, bahkan berusaha mempertahankan piramida tekanan terhadap Iran dengan memanfaatkan pendekatan sanksi.
Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat Jake Sullivan sekaitan dengan ini mengatakan, " Pendekatan kami adalah mencoba untuk kembali ke kepatuhan versus kepatuhan terhadap JCPOA, yang berarti berfokus pada serangkaian masalah dan kemudian menggunakannya sebagai dasar untuk mengatasi berbagai masalah."
Statemen petinggi Amerika ini menunjukkan bahwa pemerintah Biden meski mengakui kegagalan represi maksimum dan kritik atas keluarnya pemerintah Trump dari JCPOA, tapi tetap memanfaatkan pendekatan ini untuk menekan dan membatasi Iran meraih manfaat JCPOA.
Sementara Republik Islam Iran berusaha keras untuk mempertahankan JCPOA lebih dari kewajibannya. Iran satu tahun setelah keluarnya AS dari JCPOA tetap menjalankan seluruh komitmennya di kesepakatan nuklir ini untuk memberi kesempatan kepada pihak Eropa yang berjanji mengkompensasi dampak keluarnya Washington dari kesepakatan ini guna merelisasikan janjinya tersebut.

Tapi sebaliknya, pemerintah Biden juga seperti pendahulunya tetap melanjutkan sanksi maksimum terhadap Iran. Oleh karena itu, friksi internal Amerika tidak dapat menjadi alasan bagi pemerintah Biden mengabaikan tanggung jawabnya atas kondisi saat ini, karena jika pemerintah Amerika saat ini menentang keluar dari JCPOA dan represi maksimum terhadap Iran, maka perundingan yang berlangsung saat ini di Wina merupakan peluang bagi Biden mengambil pendekatan baru dan dengan menerima tuntutan logis Iran, mengakhiri kebijakan gagal Amerika terhadap Iran dan kembali ke komitmen JCPOAnya. (MF)