Natal, Narasi Iman dalam Relung Budaya
https://parstoday.ir/id/news/opini-i182946-natal_narasi_iman_dalam_relung_budaya
Oleh: Khusnul Yaqin, Guru Besar Ekotoksikologi Perairan, Universitas Hasanuddin
(last modified 2025-12-25T05:32:17+00:00 )
Des 25, 2025 12:16 Asia/Jakarta
  • Natal, Narasi Iman dalam Relung Budaya

Oleh: Khusnul Yaqin, Guru Besar Ekotoksikologi Perairan, Universitas Hasanuddin

Setiap kali menjelang hari Natal, ruang publik kita hampir selalu diramaikan oleh perdebatan seputar fatwa salah satu organisasi keagamaan yang mengharamkan ucapan selamat Natal kepada saudara-saudara Nasrani. Dalam situasi ini, masyarakat umumnya terbagi dua: ada yang sepakat dengan fatwa tersebut, dan ada pula yang menolaknya. Perbedaan sikap semacam ini sejatinya wajar dalam ruang ijtihad keagamaan, selama tidak menjelma menjadi klaim kebenaran yang menutup nalar dan mematikan dialog.

Kelompok yang tidak sepakat dengan fatwa tersebut sering merujuk pada Surat Maryam ayat 33, ketika Nabi Isa as secara eksplisit mengucapkan salam atas hari kelahirannya sendiri. Ayat ini menarik karena menunjukkan bahwa Nabi Isa as memberi perhatian khusus pada momentum kelahiran. Al-Qur’an bahkan merekam pernyataan tersebut sebagai bagian dari wahyu yang disampaikan kepada umat Nabi Muhammad Saw. Jika Al-Qur’an tidak secara eksplisit menyebut kelahiran nabi-nabi lain sebagai peristiwa yang perlu dideklarasikan, maka penyebutan kelahiran Isa as dapat dipahami sebagai penegasan pentingnya peringatan atas kelahiran manusia.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: mengapa kelahiran Isa as yang dijadikan contoh? Surat Maryam ayat 33 tidak dapat dilepaskan dari ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan proses kelahiran Isa as yang luar biasa. Meski bagi Allah Swt tidak ada peristiwa yang mustahil, kelahiran Isa tanpa ayah merupakan peristiwa yang mengguncang cara berpikir masyarakat Yahudi yang cenderung empiris. Mereka memahami kelahiran manusia semata-mata sebagai proses biologis yang selalu melibatkan ayah dan ibu.

Dalam konteks inilah Surat Maryam ayat 27 mencatat perintah Allah Swt kepada Sayidah Maryam untuk berpuasa bicara dan menyerahkan Isa yang masih bayi sebagai juru bicara. Penjelasan rasional dari Maryam tidak akan mampu menembus kebekuan nalar empiris masyarakatnya. Maka Isa as sendiri yang berbicara untuk membongkar keterbatasan cara pandang tersebut. Menariknya, Isa as tidak menjelaskan aspek biologis kelahirannya, melainkan memaparkan worldview tauhid yang menjadi fondasi seluruh proses eksistensial.

Pada Surat Maryam ayat 30, Nabi Isa as mendeklarasikan dirinya sebagai hamba Allah. Ia menegaskan relasinya dengan Tuhan Yang Maha Gaib, Wujud Murni tempat seluruh eksistensi bergantung. Setelah itu, ia menyatakan bahwa dirinya diberi kitab dan diangkat sebagai nabi, yang dalam kajian Ushuluddin dikenal sebagai tahap makrifat al-nubuwwah. Selanjutnya, pada ayat 31, Isa as menampilkan peran imamat dengan menyebut shalat dan zakat sebagai instrumen utama pemakmuran material dan spiritual.

Ayat 32 melengkapi bangunan ini dengan dimensi akhlak. Isa as menyatakan dirinya sebagai anak yang berbakti kepada ibunya, tidak sombong, dan bukan pelaku kejahatan moral. Pernyataan ini sekaligus membantah tuduhan masyarakat Yahudi terhadap kesucian Sayidah Maryam, sekaligus menegaskan bahwa moralitas merupakan fondasi keadilan sosial sebagai refleksi dari keadilan ilahi.

Puncaknya terdapat pada ayat 33, ketika Isa as mengucapkan salam atas tiga fase eksistensial: hari kelahiran, hari wafat, dan hari kebangkitan. Ketiganya membentuk satu kesatuan ontologis yang tak terpisahkan. Mengingat kelahiran berarti mengingat asal-usul manusia, yang dalam tradisi tasawuf dipahami sebagai awal perjalanan spiritual menuju Allah Swt. Mengingat kematian menegaskan kefanaan dunia dan urgensi penghambaan yang paripurna. Sementara kebangkitan adalah momen pertanggungjawaban akhir seluruh amal manusia.

Makna salam di sini adalah keselamatan. Keselamatan di hari kebangkitan mensyaratkan keselamatan dalam menjalani hidup dan kematian. Karena itu, peringatan terhadap kelahiran dan kematian bukanlah ritual kosong, melainkan sarana kesadaran akan asal dan tujuan akhir manusia: innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn.

Penegasan ini dipertebal oleh Surat Maryam ayat 15, ketika Allah Swt sendiri menyampaikan salam dan keselamatan kepada Nabi Yahya as pada hari kelahiran, wafat, dan kebangkitannya. Dengan demikian, ucapan salam Isa as atas dirinya sejatinya merupakan penegasan atas prinsip ilahiah yang juga ditegaskan langsung oleh Allah Swt.

Ironisnya, sebagian manusia justru terjebak dalam perdebatan yang dangkal dan ahistoris, tanpa upaya eksplorasi nalar dan konteks secara memadai. Padahal Al-Qur’an secara konsisten mengajak manusia untuk berpikir, merenung, dan memahami realitas secara lebih mendalam.

Hari Natal yang diperingati oleh kaum Nasrani adalah simbol peringatan kelahiran manusia luar biasa: Isa as. Bagi kaum Nasrani, ia dipahami sebagai Anak Tuhan; bagi kaum Muslimin, ia adalah nabi dan rasul pembawa risalah ilahiah. Di luar dimensi religius, Natal juga sarat dengan unsur kebudayaan. Ornamen seperti Sinterklas, pohon Natal, Tannenbaum dalam tradisi Jerman, hingga simbol salju dan bidadari Eropa, merupakan produk budaya, bukan ajaran teologis.

Tanggal 25 Desember sendiri secara historis bukan tanggal kelahiran Isa as. Ia berakar dari perayaan musim dingin masyarakat Eropa pra-Kristen yang kemudian diadopsi sebagai strategi kultural dalam penyebaran agama Kristen. Sebagian sejarawan bahkan memperkirakan kelahiran Isa as terjadi pada bulan April atau Juni. Namun, terlepas dari perbedaan tanggal, substansi peringatan kelahiran Isa as, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, tetap mengandung pelajaran penting tentang bagaimana narasi iman selalu berkelindan dengan budaya.

Di ruang inilah toleransi antarumat beragama menemukan maknanya: bukan dalam penyeragaman akidah, melainkan dalam kesediaan untuk saling memahami simbol, sejarah, dan ekspresi kebudayaan. Selamat Hari Natal.