Di Gaza, Guru Membawa Sekolah untuk Anak-Anak Pengungsi
(last modified Sat, 02 Dec 2023 08:19:56 GMT )
Des 02, 2023 15:19 Asia/Jakarta

Guru Gaza, Tareq al-Ennabi, mengatur kursi murid-muridnya dalam bentuk lingkaran, meletakkan papan tulis dan kapur, dan merencanakan pelajarannya untuk hari itu: bagaimana mengatakan dalam bahasa Inggris “I love Palestine”.

Hampir dua bulan lalu, para pejuang Hamas menggelar operasi Badai Al-Aqsa menyerang berbagai target militer di Palestina Pendudukan.

Militer Zionis yang malu akibat kegagalan intelijen dan militernya dalam memrediksi serangan para pejuang Hamas melakukan serangan udara brutal dan mengebom rumah-rumah penduduk, bahkan sekolah dan tempat penampungan yang dikelola PBB. Akibatnya, banyak sekolah di wilayah tersebut telah menjadi tempat penampungan bagi warga Palestina yang mengungsi atau bahkan ditinggalkan sama sekali oleh siswa dan guru.

Guru bahasa Inggris Ennabi, 25, terpaksa meninggalkan sekolahnya yang dikelola PBB di Kota Gaza karena dikepung oleh tank-tank Israel.

Namun setelah berminggu-minggu pertempuran dan serangan brutal udara dan darat Zionis yang telah menewaskan lebih dari 15.000 orang, menurut pemerintah Gaza yang dikelola Hamas, Ennabi kembali bekerja, mengajar anak-anak pengungsi di Rafah di selatan Jalur Gaza.

Ruang kelasnya berada di halaman sekolah setempat yang digunakan kembali sebagai kamp darurat.

Murid-murid Gaza sedang belajar

Ruang kelas di gedung tersebut sekarang menjadi rumah bagi keluarga yang tidur di kasur di bawah meja. Yang lain tidur di koridor di mana mereka setidaknya mendapat perlindungan dari hawa dingin yang menggigit di malam hari.

Sebaliknya, Ennabi mengajar kelasnya yang terdiri dari sekitar 40 anak laki-laki dan perempuan dari segala usia di luar ruangan, menggunakan papan tulis dan kapur yang didanai oleh sumbangan kecil yang diperoleh dari sana-sini.

Mengenakan janggut hitam yang terpangkas rapi, celana jins, dan sweter abu-abu, guru tersebut memantau upaya murid-muridnya saat mereka belajar menulis "Saya cinta Palestina" dalam bahasa Arab dan Inggris.

Layan, 10 tahun, mengenakan jas abu-abu berhiaskan kupu-kupu merah muda, berkonsentrasi keras pada pekerjaannya, tapi berhenti sejenak untuk menjelaskan bagaimana pemboman rumah mereka memaksa keluarga tersebut meninggalkan kota Gaza.

“Sekarang kami tidur di sekolah ini. Paman Tareq mengajari kami bahasa Inggris,” katanya sambil menambahkan dengan riang bahwa ketika dia besar nanti dia juga ingin menjadi guru bahasa Inggris.

Bagi Ennabi, mengajar bahasa Inggris pada saat perang itu sendiri merupakan tindakan pembangkangan.

Pertama, “kami membalas senyuman anak-anak dan membiarkan mereka kembali belajar”, katanya.

Kemudian “kami membantu mereka untuk berbicara bahasa Inggris, sehingga mereka dapat didengar di dunia”, kata Ennabi.

Untuk saat ini dia mengajar sendirian, 40 siswa di pagi hari dan 40 siswa lainnya di sore hari, tapi dia berharap dapat menggalang relawan lain untuk mendukung perjuangannya.