Krisis Air dan Tantangan terhadap Identitas Palsu Rezim Zionis
https://parstoday.ir/id/news/west_asia-i181692-krisis_air_dan_tantangan_terhadap_identitas_palsu_rezim_zionis
Pars Today - Krisis air di wilayah Palestina yang diduduki telah menjadi, lebih dari sekadar isu lingkungan, krisis identitas dan eksistensial bagi rezim Zionis.
(last modified 2025-12-07T03:12:12+00:00 )
Des 07, 2025 10:10 Asia/Jakarta
  • Perdana Menteri Rezim Zionis Benjamin Netanyahu
    Perdana Menteri Rezim Zionis Benjamin Netanyahu

Pars Today - Krisis air di wilayah Palestina yang diduduki telah menjadi, lebih dari sekadar isu lingkungan, krisis identitas dan eksistensial bagi rezim Zionis.

Rezim Zionis, yang pernah mengklaim mampu mengembangkan gurun kering dengan menggunakan teknologi tinggi di bidang pengelolaan air, kini telah menduduki bendungan-bendungan Suriah dan menutup keran rumah-rumah warga Palestina hanya demi setetes air lagi agar mereka dapat mengkompensasi masalah kekurangan air mereka.

Menurut laporan Pars Today, krisis kekurangan air yang menempatkan rezim Zionis di peringkat kedelapan di dunia dalam hal tekanan air yang parah telah mengungkap kenyataan pahit.

"Keajaiban pertanian" rezim ini tidak didasarkan pada inovasi berkelanjutan, melainkan pada penjarahan sistematis sumber daya negara-negara di kawasan dan penerapan apartheid air terhadap Palestina. Kini, dengan model ini yang mencapai titik kritis, Tel Aviv beralih ke pendudukan bendungan-bendungan Suriah dan mengintensifkan diskriminasi agar dapat bertahan hidup.

Runtuhnya narasi ideologis dan kegagalan model pembangunan

Rezim Zionis selama beberapa dekade mengandalkan narasi "padang pasir yang makmur" dan transformasi padang pasir menjadi taman, tetapi data terkini menghancurkan narasi ini.

Peringkat kedelapan di dunia untuk tekanan air parah menurut World Resources Institute (WRI), mengeringnya Danau Tiberias (Kinneret) di Palestina yang diduduki hingga ke titik terendah dalam sejarah, dan kekeringan relatif Sungai Banias, menunjukkan bahwa model pembangunan yang berbasis pertanian intensif dan permukiman ekstrem di wilayah kering pada dasarnya tidak berkelanjutan.

Bahkan solusi teknologi seperti desalinasi, dengan biaya energi yang sangat tinggi dan tekanan yang semakin meningkat pada keuangan rumah tangga, hanyalah tempat berlindung sementara dan tidak menyelesaikan akar permasalahannya.

Air sebagai senjata pendudukan dan alat apartheid

Di Tepi Barat dan Jalur Gaza, krisis air merupakan kebijakan yang disengaja dan alat represi. Diskriminasi sistematis, dengan seorang pemukim mengonsumsi air rata-rata 4 hingga 7 kali lebih banyak daripada warga Palestina, ditambah dengan pemotongan air berkala di kota-kota Palestina seperti Al-Khalil (Hebron), bukan hanya pelanggaran hak asasi manusia.

"Apartheid air" ini merupakan mekanisme untuk mempersempit ruang lingkup kehidupan warga Palestina, melemahkan ekonomi mereka, dan pada akhirnya memfasilitasi pengusiran bertahap dan konsolidasi kekuasaan pemukim. Pendekatan ini merupakan aspek kunci dari pendudukan.

Logika ekspansionisme: dari pendudukan lahan hingga penjarahan air

Ketika sumber daya domestik tidak mencukupi, logika inheren rezim untuk memperluas wilayah dan menjarah sumber daya negara-negara regional mulai berperan.

Pendudukan Dataran Tinggi Golan Suriah pada tahun 1967 sebagian besar dimotivasi oleh keinginan untuk menguasai sepertiga air tawar Suriah. Kini, dengan memanfaatkan ketidakstabilan Suriah, logika ini telah mencapai tingkat baru dengan pendudukan militer. Bendungan strategis di Suriah selatan, seperti Al-Muntarah dan Al-Wahda.

Ini bukan operasi perbatasan sederhana, melainkan "perang diam-diam untuk air" yang membahayakan keamanan jutaan warga Suriah dan Yordania serta memperburuk bencana kemanusiaan dan lingkungan di wilayah tersebut.

Gambaran ribuan orang dalam upacara "doa memohon hujan" di tepi Danau Galilea, yang sangat kontras dengan klaim teknologi rezim, menunjukkan dalamnya keputusasaan dan krisis legitimasi. Krisis air telah membuktikan bahwa kelangsungan proyek Zionis dalam bentuknya saat ini secara inheren bergantung pada perampasan dan agresi.

Selama logika ini berlaku, solusi apa pun, mulai dari desalinasi yang mahal hingga pendudukan bendungan baru, hanya akan memperdalam pusaran ketergantungan dan memperluas cakupan bencana. Air, sumber kehidupan ini, telah menjadi senjata di tangan rezim ini untuk kelangsungan hidupnya sendiri dan kehancuran orang lain, menjerumuskan masa depan kawasan itu lebih jauh ke dalam aura ketidakstabilan dan konflik.(sl)