Akhir Sebuah era: Runtuhnya Koalisi Penguasa Bersejarah Jepang Setelah 25 tahun
Keputusan Partai Komeito untuk mengakhiri koalisi dengan Partai Demokrat Liberal (LDP) menyebabkan runtuhnya pemerintahan koalisi di Jepang dan memicu krisis politik baru di negara tersebut.
Setelah Komeito menarik diri dari kerja sama dengan LDP, koalisi yang berkuasa resmi bubar — sebuah perkembangan yang kini membuat masa depan politik Sanae Takaichi, pemimpin baru LDP sekaligus calon perdana menteri, berada dalam ketidakpastian.
Menurut laporan Parstoday yang mengutip kantor berita IRNA, Takaichi, yang baru kurang dari satu minggu menjabat sebagai ketua partai, seharusnya disahkan oleh parlemen sebagai perdana menteri pada akhir bulan ini — dan dengan demikian menjadi perempuan pertama dalam sejarah Jepang yang menduduki jabatan tersebut.
Namun keputusan Komeito untuk mengakhiri aliansi yang telah memerintah Jepang hampir tanpa jeda selama 25 tahun terakhir, telah menjerumuskan negara itu ke dalam krisis politik yang mendalam.
Tetsuo Saito, ketua Partai Komeito, setelah bertemu dengan pejabat LDP mengatakan:
“Kami memutuskan untuk menghentikan sementara kerja sama dan mengakhiri aliansi dengan partai yang berkuasa. Karena kami tidak menerima jawaban yang memuaskan atas tuntutan kami, saya menyatakan bahwa kami tidak dapat mendukung pencalonan Sanae Takaichi sebagai perdana menteri.”
Menurut media Jepang, Saito merasa tidak puas atas jawaban Takaichi mengenai skandal keuangan terbaru LDP yang dikenal dengan nama “Dana Rahasia”. Meski demikian, Saito menegaskan bahwa partainya tetap akan mendukung rancangan anggaran dan proyek-proyek bersama yang telah disepakati sebelumnya dengan partai yang berkuasa.
Sementara itu, Sanae Takaichi, pemimpin baru LDP dan calon perdana menteri, menyayangkan keputusan Komeito tersebut dan menyebut langkah mereka sebagai tindakan sepihak.
Takaichi dijadwalkan menggantikan Shigeru Ishiba, perdana menteri sebelumnya yang kehilangan dukungan mayoritas di parlemen akibat inflasi tinggi dan skandal keuangan partai.
Takaichi, yang kini berusia 64 tahun dan dikenal menjadikan Margaret Thatcher, mantan perdana menteri Inggris, sebagai panutan politiknya, menyatakan setelah kemenangannya dalam pemilihan internal partai pada Sabtu lalu bahwa ia ingin memulai “era baru bagi Jepang.” Dalam putaran kedua pemungutan suara, ia berhasil mengalahkan Shinjiro Koizumi, politisi berusia 44 tahun yang berhaluan lebih reformis.
Jika disahkan sebagai perdana menteri, Takaichi akan menghadapi tantangan besar seperti penuaan populasi, stagnasi ekonomi, dinamika geopolitik regional, serta isu imigrasi yang semakin mengkhawatirkan.
Menurut laporan media, salah satu tugas resmi pertamanya sebagai perdana menteri nanti adalah bertemu dengan Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, yang dijadwalkan melakukan kunjungan singkat ke Jepang pada akhir Oktober.(PH)