Bergabungnya Kazakhstan ke Perjanjian Abraham; Realitas Diplomasi atau Sekadar Pertunjukan Propaganda?
Pars Today – Presiden Amerika Serikat mengumumkan bahwa Kazakhstan secara resmi setuju bergabung dengan Perjanjian Abraham, dan acara penandatanganan resmi kesepakatan ini akan diselenggarakan dalam waktu dekat.
Presiden AS, Donald Trump menjelaskan bahwa Kazakhstan adalah negara pertama di periode kedua kepresidenannya yang bergabung dengan Perjanjian Abraham.
Berdasarkan Perjanjian Abraham yang dibentuk pada masa pemerintahan pertama Donald Trump, rezim pendudukan al-Quds (Israel) melalui normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab dan Islam diharapkan akan berubah menjadi aktor yang dianggap “normal” dalam lingkungan internasional. Pada periode pertama kepresidenan Trump, negara-negara Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko menandatangani perjanjian normalisasi hubungan dengan Israel.
Kini, pemerintahan Donald Trump berupaya memperluas perjanjian tersebut; karena itu, bergabungnya Kazakhstan ke dalam Perjanjian Abraham menjadi berita utama, meskipun negara tersebut telah menjalin hubungan dengan Israel selama lebih dari tiga dekade. Dengan kata lain, Kazakhstan bergabung dengan perjanjian ini padahal sejak tahun 1992 telah memiliki hubungan diplomatik dan ekonomi penuh dengan Israel. Oleh sebab itu, apa yang kini diumumkan sebagai “keikutsertaan” sebenarnya tidak membawa perubahan dalam kebijakan luar negeri Kazakhstan dan juga bukan merupakan titik balik dalam hubungan dunia Islam dengan Israel.
Peristiwa ini lebih merupakan manuver media untuk menciptakan citra keberlanjutan dan “kebangkitan kembali” perjanjian yang secara praktis telah terhenti di ranah politik setelah perang Gaza. Karena itu, banyak media internasional menggambarkan peristiwa ini sebagai sesuatu yang simbolis dan seremonial; sebagaimana diberitakan oleh AFP, keputusan Kazakhstan ini pada dasarnya merupakan langkah simbolis, karena negara Asia Tengah tersebut telah lama menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Sayid Hadi Borhani, pakar senior studi Israel dan dosen universitas, menyatakan: “Sesungguhnya bergabungnya Kazakhstan ke dalam Perjanjian Abraham merupakan peristiwa yang menggelikan dan seharusnya menjadi bahan tertawaan bagi negara-negara Arab dan Muslim.”
Trump berbicara tentang bergabungnya Kazakhstan dengan Perjanjian Abraham pada saat perkembangan beberapa tahun terakhir di Asia Barat pada dasarnya telah “menempatkan perjanjian itu di museum sejarah.” Sesungguhnya, pandangan negatif negara-negara Arab dan Islam terhadap para penjajah Israel, serta meningkatnya kebencian global terhadap tindakan tidak manusiawi kaum Zionis dan genosida yang dilakukan Israel dalam perang Gaza, telah membuat pembicaraan tentang normalisasi hubungan dengan Israel menjadi hal yang sangat berisiko — bahkan bagi sekutu-sekutu rezim tersebut — dan menimbulkan reaksi keras dari opini publik di berbagai negara.
Dalam situasi seperti ini, Trump dan rezim pendudukan al-Quds berusaha, dengan melibatkan Kazakhstan ke dalam Perjanjian Abraham, seolah-olah memberikan “napas buatan” bagi perjanjian tersebut, untuk menampilkan kesan bahwa Perjanjian Abraham masih hidup dan tetap dapat menerima anggota baru.
Pada hakikatnya, Washington dan Tel Aviv berupaya membalikkan proses kemunduran Perjanjian Abraham. Menurut pandangan mereka, pengumuman apa pun yang berkaitan dengan perluasan hubungan dengan Israel — meskipun sebenarnya bukan hal baru — merupakan kesempatan psikologis untuk membangun narasi bahwa “isolasi Israel tidak nyata.” Dengan kata lain, Amerika Serikat, Israel, dan sekutu-sekutunya berusaha melalui reproduksi simbolis berita-berita tentang normalisasi hubungan, menciptakan citra dinamisme dan penerimaan internasional bagi rezim tersebut, serta mengurangi tekanan opini publik yang muncul akibat perang Gaza dan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia.
Di sisi lain, Donald Trump selalu mengklaim bahwa ia berhasil menjalin berbagai kesepakatan dengan negara-negara di seluruh dunia. Padahal, ia telah mengalami kegagalan dalam beragam kasus internasional. Kini, bergabungnya Kazakhstan ke dalam Perjanjian Abraham dijual olehnya — kepada opini publik dunia dan masyarakat Amerika — sebagai sebuah pencapaian besar.
Sesungguhnya, Trump dengan memanfaatkan taktik pertunjukan dan propaganda, berupaya menutupi kegagalannya di bidang kebijakan luar negeri Amerika Serikat, termasuk dalam kasus-kasus seperti perang Ukraina; di samping itu, ia menggunakan isu tersebut untuk mengalihkan perhatian opini publik domestik Amerika, terutama sekarang ketika perbedaan tajam dan ancaman penutupan pemerintahan federal semakin meningkat.
Selain itu, dengan “menghidupkan kembali” Perjanjian Abraham dan membesar-besarkan bergabungnya Kazakhstan ke dalam perjanjian tersebut, Trump juga berusaha membantu rezim Zionis keluar dari isolasi globalnya.
Tampaknya, bergabungnya Kazakhstan tidak akan mengubah keseimbangan kekuatan maupun menyelamatkan Israel dari krisis legitimasi. Peristiwa ini hanyalah manuver media yang terjadi pada saat Washington dan Tel Aviv menghadapi tekanan global yang belum pernah terjadi sebelumnya. (MF)