Mengapa Uni Eropa Fokus pada Pengusiran Imigran ketimbang Menyelesaikan Krisis Imigran
https://parstoday.ir/id/news/world-i181918-mengapa_uni_eropa_fokus_pada_pengusiran_imigran_ketimbang_menyelesaikan_krisis_imigran
Pars Today – Anggota Uni Eropa mengesahkan draf undang-undang pembentukan sebuah sistem bersama untuk memulangkan warga negara-negara asing yang tidak memiliki izin tinggal.
(last modified 2025-12-09T10:46:56+00:00 )
Des 09, 2025 17:45 Asia/Jakarta
  • Mengapa Uni Eropa Fokus pada Pengusiran Imigran ketimbang Menyelesaikan Krisis Imigran

Pars Today – Anggota Uni Eropa mengesahkan draf undang-undang pembentukan sebuah sistem bersama untuk memulangkan warga negara-negara asing yang tidak memiliki izin tinggal.

Menteri dalam negeri negara-negara anggota Uni Eropa di Brussels  mengesahkan draf undang-undang pembentukan sebuah sistem bersama untuk memulangkan warga negara-negara asing yang tidak memiliki izin tinggal. Draf ini jika disetujui oleh parlemen Eropa, akan menggantikan undang-undang pemulangan yang disahkan tahun 2008, dan menciptakan sebuah koridor satu untuk mengusir imigran di tingkat organisasi ini.

 

Tindakan ini dilakukan sementara Amnesty International dan puluhan organisasi serta lembaga internasional pembela hak-hak migran telah memperingatkan mengenai pengesahan final dan pelaksanaannya. Dalam rancangan baru Uni Eropa, alih-alih berfokus pada dukungan, pemukiman, kesehatan, dan pendidikan bagi para migran, penekanan justru diberikan pada peningkatan tingkat deportasi, penahanan, dan penempatan migran di pusat-pusat pemulangan.

 

Uni Eropa dalam beberapa tahun terakhir, khususnya setelah krisis di Suriah, Libya, Afghanistan serta perang di Gaza dan Ukraina, menghadapi gelombang besar pengungsi. Sementara itu, para pejabat Eropa telah memperketat aturan suaka dan migrasi serta meningkatkan tindakan terhadap migran ilegal. Kebijakan ini diterapkan meskipun negara-negara Barat sendiri telah menjadi penyebab krisis politik, ekonomi, dan konflik bersenjata di berbagai kawasan dunia. Dengan kata lain, banyak negara di Afrika dan Asia (khususnya Asia Barat) yang kini mengalami migrasi besar-besaran ke Eropa, secara langsung maupun tidak langsung berada di bawah pengaruh kebijakan kolonial, militer, dan ekonomi negara-negara Eropa. Sebagai contoh, banyak pengungsi terpaksa meninggalkan negara dan tanah air mereka akibat kebijakan intervensi Eropa dan negara-negara Barat lainnya. Namun demikian, Uni Eropa saat ini pun, alih-alih menerima tanggung jawab atas hal tersebut dan membantu menyelesaikan krisis-krisis ini, justru berfokus pada kebijakan migrasi yang ketat dan membatasi.

 

Dalam kaitan ini, Jean-Marc Zaro, penulis dan analis, mengatakan: Uni Eropa harus secara serius memandang persoalan migrasi dan pengungsian, namun hal tersebut tidak dapat dilakukan dengan menutup perbatasan dan meningkatkan deportasi. Eropa harus menerima tanggung jawabnya atas penciptaan krisis-krisis global yang telah memaksa banyak orang meninggalkan rumah mereka.

 

Hal penting lain dalam konteks ini adalah pendekatan keamanan Eropa. Uni Eropa, alih-alih berfokus pada dukungan bagi para pengungsi dan migran, telah membentuk kebijakannya di sekitar keamanan perbatasan dan pengurangan risiko kehadiran pengungsi. Pendirian pusat-pusat pemulangan di negara ketiga serta pelimpahan proses penahanan dan deportasi kepada negara-negara tersebut menyebabkan para migran ditempatkan di wilayah di luar Uni Eropa yang memiliki pengawasan lebih lemah terhadap kondisi hak asasi manusia. Tindakan ini tidak hanya membuat pengawasan atas kondisi pengungsi menjadi lebih sulit, tetapi juga berpotensi mengakibatkan orang-orang yang dipulangkan ke negara-negara tidak aman menghadapi risiko pelecehan, penyiksaan, atau pelanggaran hak-hak dasar mereka.

 

Sesungguhnya, kebijakan baru Uni Eropa semakin menunjukkan pengabaian terhadap tanggung jawab historis dan moral Eropa yang sendiri telah berperan dalam banyak krisis global. Dalam situasi di mana perang, krisis ekonomi, dan pengungsian jutaan orang akibat intervensi kekuatan global semakin meningkat dari hari ke hari, Uni Eropa bukannya menghentikan kebijakan intervensinya, melainkan justru memperketat kebijakan tidak manusiawi seperti pengetatan aturan dan peningkatan deportasi. Hal ini terjadi sementara Eropa senantiasa berbicara tentang pemeliharaan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia, serta menuduh banyak negara lain melanggar hak asasi manusia.

 

Uni Eropa dalam keputusan terbarunya bermaksud membuat kondisi bagi para migran dan pengungsi semakin sulit, sehingga tindakan ini pada praktiknya menambah tekanan agar mereka terpaksa meninggalkan negara-negara anggota Uni Eropa. Sesungguhnya, kebijakan tersebut dirancang bukan hanya untuk memperumit dan memperkeras proses migrasi, tetapi juga untuk mendorong para migran dengan segala cara menuju pemulangan paksa atau meninggalkan benua ini.

 

Philip Luther, Direktur Regional untuk Asia Barat dan Afrika Utara di Amnesty International, dalam hal ini mengatakan: Usulan-usulan baru tersebut merupakan ancaman serius terhadap hak asasi manusia, khususnya dalam hal kebebasan, keamanan individu, dan akses terhadap proses suaka yang adil.

 

Pada akhirnya, apa yang saat ini terlihat dalam kebijakan migrasi Uni Eropa lebih merupakan cerminan dari ketakutan keamanan dan pandangan jangka pendek terhadap persoalan migrasi, daripada sebuah jawaban yang manusiawi atas krisis global. Jika Eropa ingin tetap mengklaim sebagai pembela hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan, maka ia harus melihat akar krisis, bukan membangun tembok dan melakukan deportasi, serta menerima tanggung jawab historisnya terhadap masyarakat yang menjadi korban kebijakan global. Hanya dengan cara ini Uni Eropa dapat melepaskan diri dari kontradiksi antara slogan-slogan hak asasi manusia dan realitas kebijakan migrasinya.