Urgensitas Melawan Islamofobia di Dunia
(last modified Mon, 17 Feb 2020 13:44:41 GMT )
Feb 17, 2020 20:44 Asia/Jakarta
  • Ilustrasi protes menentang Islamofobia.
    Ilustrasi protes menentang Islamofobia.

Hadirnya kelompok-kelompok ekstrem dan aksi teror yang mereka lakukan di negara-negara Barat serta arus imigran yang didominasi oleh warga Muslim, telah menjadi amunisi bagi sebagian pemimpin dan media Barat untuk menyebarkan Islamofobia.

Tindakan itu mengundang reaksi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sekjen PBB Antonio Guterres pada Minggu (16/2/2020) menyuarakan keprihatinannya atas meningkatnya Islamofobia di dunia, dan menyebutnya tidak dapat ditolerir.

"Kami melihat hari ini bahwa para migran atau pengungsi kadang-kadang diserang oleh politisi populis atau pembenci agama lainnya. Bagi saya, sangat jelas bahwa kita perlu memerangi Islamofobia dengan sangat kuat," tegas Guterres di Islamabad, Ibukota Pakistan.

Menurutnya, ujaran kebencian adalah salah satu instrumen paling penting untuk menyebarkan Islamofobia.

Pernyataan ini mengacu pada sikap dan komentar para politisi populis di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Mereka menyudutkan komunitas Muslim demi meraih dukungan publik dan memperkenalkan orang Muslim sebagai pemicu berbagai masalah seperti terorisme, pengangguran, dan ketidakamanan di Barat.

Sikap dan komentar para petinggi Barat mendorong meningkatnya sentimen anti-Islam dan kekerasan terhadap warga Muslim. Secara khusus Presiden AS Donald Trump memimpin gerakan anti-Islam dan menyulut kebencian terhadap warga Muslim di Amerika dan Barat.

Trump bahkan melarang warga dari beberapa negara Muslim memasuki Amerika dengan alasan memerangi terorisme. Ia baru-baru ini juga menambahkan beberapa negara Muslim lainnya ke dalam daftar travel ban.  

Kebijakan ini mendapat kecaman dari dalam dan luar Amerika. Menurut pengamat politik Amerika Daniel Benjamin, Trump telah bertindak untuk menyuburkan kegiatan terorisme ketimbang membantu memeranginya.

Antonio Guterres.

Tindakan Trump telah meningkatkan kekhawatiran tentang merebaknya sentimen anti-Islam dan aksi kekerasan terhadap komunitas Muslim di AS.

Menyikapi fenomena itu, Sekjen PBB mengatakan, "Kami sepenuhnya berkomitmen untuk memerangi semua bentuk populisme yang mencoba memanfaatkan Islamofobia dan bentuk kebencian lainnya, sebagai alat untuk memenangkan suara, di mana sama sekali tidak dapat diterima."

Di Inggris, Prancis, Jerman, dan sejumlah negara Eropa lainnya, gelombang Islamofobia, aksi kekerasan, dan diskriminasi terhadap warga Muslim meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Tren ini muncul seiring bangkitnya kelompok dan kubu kanan ekstrem di Eropa.

Bentuk Islamofobia di Barat mencakup serangan ke masjid-masjid, pembakaran tempat ibadah umat Islam, serangan fisik dan verbal terhadap warga Muslim, dan bahkan terhadap non-Muslim yang penampilannya mirip dengan warga dari negara-negara Muslim di Asia Barat, serta perlakuan diskriminatif terhadap orang Muslim di sekolah dan tempat kerja.

Kampanye Islamofobia yang dilakukan para pemimpin Barat seperti Trump, telah mendorong kubu ekstrem kanan dan orang-orang rasis untuk menyerang warga Muslim. Seperti serangan teroris ekstrem kanan terhadap dua masjid di Selandia Baru pada 15 Maret 2019.

Oleh karena itu, sekjen PBB menekankan pentingnya melakukan perlawanan serius terhadap kampanye Islamofobia di dunia. (RM)