Perubahan Doktrin Nuklir Rusia
https://parstoday.ir/id/news/world-i82003-perubahan_doktrin_nuklir_rusia
Setelah Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 2017, negara ini mengambil langkah baru untuk memperkuat arsenal-arsenal nuklirnya dan mengubah doktrin nuklirnya ke arah peningkatan kemungkinan penggunaan senjata pemusnah massal. Kebijaan ini tentunya menuai respon dari Rusia
(last modified 2025-07-30T06:25:16+00:00 )
Jun 04, 2020 20:47 Asia/Jakarta
  • Senjata nuklir.
    Senjata nuklir.

Setelah Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 2017, negara ini mengambil langkah baru untuk memperkuat arsenal-arsenal nuklirnya dan mengubah doktrin nuklirnya ke arah peningkatan kemungkinan penggunaan senjata pemusnah massal. Kebijaan ini tentunya menuai respon dari Rusia

Berdasarkan perintah eksekutif baru yang ditandatangani oleh Presiden Rusia Vladimir Putin, ambang batas untuk penggunaan senjata nuklir telah diturunkan. Putin meneken dekrit kebijakan tersebut pada Selasa (2/6/2020).

"Federasi Rusia memiliki hak untuk melancarkan serangan nuklir baik dalam merespon serangan serupa atau dalam hal ancaman terhadap keberadaan negara," demikian isi dekrit, dikutip dari Xinhua, Kamis (4/6/2020).

Sebelum ini, ditetapkan bahwa Rusia akan menggunakan senjata nuklir jika menghadapi "ancaman serangan nuklir" dan atau "serangan nuklir". Namun berdasarkan dekrit terbaru,  Rusia bisa menggunakan senjata nuklirnya meskipun hanya menghadapi serangan senjata konvensional atau ancaman terhadap eksistensi negara.

Menurut doktrin baru itu, Rusia juga akan menggunakan senjata nuklir jika salah satu dari sekutu dan negara sahabatnya menjadi sasaran serangan senjata nuklir. Doktrin nuklir Rusia berubah setelah pemerintahan Trump menurunkan ambang batas penggunaan senjata nuklir dan mengurangi serangan dengan senjata konvensional.

Pemerintahan Trump telah mengambil pendekatan aktif di sektor persenjataan nuklir dan strategi nuklir, terutama produksi dan penyebaran senjata nuklir berdaya ledak rendah. AS mengembangkan senjata nuklir berdaya ledak rendah jenis baru agar bisa menghadapi ancaman nuklir lebih kecil.

Sebuah laporan berjudul "Nuclear Posture Review" (Tinjauan Postur Nuklir) dirilis Departemen Pertahanan AS atau Pentagon pada 2 Februari 2018. Laporan ini  mengungkapkan arah kebijakan pertahanan di bawah Trump. Untuk pertama kalinya sejak tahun 2010, Pentagon mengungkapkan pandangannya soal ancaman nuklir dalam beberapa dekade terakhir.

Doktrin baru tersebut telah memberikan kerangka hukum dan teoritis untuk pengembangan lebih lanjut dari arsenal nuklir AS dan penguatan trio nuklir negara ini. Nuclear Posture Review diluncurkan dengan dalih kemajuan nuklir Rusia dan Cina di sektor rudal dan nuklir.

"Strategi pengembangan kemampuan bertujuan agar penggunaan senjata nuklir semakin kecil kemungkinannya," kata Trump dalam pernyataan tertulis mengomentari laporan Pentagon itu.

Dan yang lebih penting,  lanjut Trump, ini menegaskan kembali komitmen kita pada pengendalian senjata dan non-proliferasi nuklir, menjaga moratorium uji coba nuklir dan bertekad meningkatkan upaya untuk mencegah, mendeteksi, dan menanggapi terorisme nuklir.

Namun dalam praktiknya, doktrin nuklir AS yang baru hanya mendorong saingannya, terutama Rusia, untuk mengejar "penyelarasan nuklir" dengan Washington, dan pada akhirnya, akan meningkatkan kemungkinan penggunaan senjata nuklir dalam konflik di masa depan.

Trump dalam pendekatan terbaru, menginginkan untuk menyepakati perjanjian nuklir baru dengan Rusia. Dia dalam wawancara dengan Fox News Radio baru-baru ini mengatakan, saya ingin kesepakatan nuklir, saya ingin atom yang aman, karena itu masalah terbesar di dunia.

Berlawanan dengan pernyataan Trump, sikap pemerintahanya hingga sekarang bersikeras untuk menarik diri dari perjanjian pengawasan dan kontrol senjata. AS telah keluar dari perjanjian Kekuatan Nuklir Jarak Menengah (INF) dan perjanjian Langit Terbuka atau Open Skies.

AS dikabarkan sedang mempersiapkan diri untuk keluar dari perjanjian nuklir New START (Strategic Arms Reduction Treaty) yang dijalin dengan Rusia. Dalam perjanjian ini, AS dan Rusia dilarang mengerahkan lebih dari 1.550 hulu ledak nuklir, membatasi rudal, dan pembom berbasis darat serta kapal selam yang mengirimnya.

AS mengajukan syarat-syarat untuk memperpanjang perjanjian New START. Di antara syarat itu adalah Washington ingin Cina bergabung dalam setiap perjanjian baru di sektor kontrol persenjataan termasuk START. Di sisi lain, Rusia harus meninggalkan senjata supersonik dari gudang senjatanya. Namun Moskow dan Beijing menolak syarat tersebut.

AS berusaha memperkenalkan Rusia sebagai pihak yang bersalah atas pembatalan perjanjian New START. Namun para pejabat senior Moskow menekankan bahwa negaranya akan melawan langkah-langkah Washington.

Putin menegaskan bahwa jika perjanjian New START berakhir tanpa  mencapai versi barunya, maka tidak akan ada lagi cara untuk membatasi persaingan senjata. Dia mengancam bahwa jika AS tidak menunjukkan niatnya untuk memperpanjang News START, Rusia juga akan membiarkan perjanjian itu berakhir pada 2021.

Bukti menunjukkan bahwa pemerintahan Trump tidak memiliki niat serius untuk memperpanjang New START. Berakhirnya perjanjian ini pada 2021 akan menyebabkan AS memulai perluasan senjata nuklirnya tanpa adanya pembatasan apa pun, di mana ini akan menuai respon dari Rusia.

Kondisi tersebut akan menimbulkan peningkatan instabiitas di arena internasional dan perluasan senjata nuklir di antara kekuatan-kekuatan dunia. (RA)