Suara Rakyat, Pilar Demokrasi dalam Sistem Republik Islam
Salah satu manifestasi penting demokrasi di Iran adalah mendengarkan suara rakyat. Prinsip demokratis ini diwujudkan dalam waktu singkat pasca kemenangan revolusi dengan menggelar referendum untuk memilih sistem pemerintahan di Iran.
Setelah kemenangan Revolusi Islam, Imam Khomeini ra mengusulkan pelaksanaan referendum pemerintahan Republik Islam Iran di seluruh negeri. Sebelum referendum digelar pada tanggal 10 dan 11 Farvardin 1385 Hijriah Syamsiah (April 1979), Imam Khomeini dalam sebuah pesan meminta semua masyarakat mengikuti referendum dan menekankan kebebasan mereka dalam memilih sistem pemerintahan di Iran.
"Referendum ini akan menentukan nasib bangsa kita. Referendum ini akan membawa kalian pada kebebasan dan independensi atau seperti masa lalu yaitu despotisme dan ketergantungan pada asing. Referendum ini harus diikuti oleh semua orang… kalian bebas menentukan pilihan dan kalian bebas menulis di kertas suara; republik demokratik, rezim monarki, atau menulis apa yang kalian kehendaki. Kalian bebas memilih," tegasnya.
Berdasarkan hasil referendum, 98,2 persen dari peserta yang memenuhi syarat memilih sistem Republik Islam sebagai bentuk pemerintahan mereka. Hasil referendum ini diumumkan pada tanggal 12 Farvardin dan momen bersejarah itu dirayakan setiap tahun sebagai Hari Republik Islam.
Dengan demikian, sistem Republik Islam Iran dibentuk berdasarkan suara mayoritas rakyat, dan menjadi sebuah model sistem demokrasi yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam dan suara rakyat.
Setiap pemilu menjadi sangat penting dengan memperhatikan situasi dan perkembangan sosial-politik waktu itu. Begitu juga dengan penyelenggaraan referendum di Iran. Ia sangat penting mengingat situasi dunia internasional dan regional serta penentangan dunia terhadap Revolusi Islam Iran pada masa itu. Oleh sebab itu, referendum ini diulas panjang lebar oleh para analis politik dari segi politik, sosial, dan ekonomi.
Referendum 12 Farvardin digelar ketika Iran sedang menghadapi tekanan dari sistem hegemonik. Banyak pengamat masalah internasional percaya bahwa referendum ini merupakan respon tegas Iran terhadap Amerika Serikat dan sekutunya di wilayah Asia Barat (Timur Tengah).
Gerakan besar dan demokratis ini membuat AS dan negara-negara Arab regional khawatir, karena rezim Arab tidak memiliki legitimasi rakyat. Mereka mengkhawatirkan perkembangan politik di Iran dan pengaruhnya sebagai sebuah model sistem demokrasi.
Sebenarnya, referendum 12 Farvardin telah memperlihatkan bahwa Revolusi Islam berlandaskan pada nilai-nilai demokrasi dan independen. Gerakan demokratis ini menunjukkan bahwa Revolusi Islam menjadikan suara rakyat sebagai parameter utama dalam setiap pemilihan. Prinsip ini ditekankan oleh ajaran dan keyakinan Islam. Ia juga merupakan bagian dari hak-hak sosial dan individu masyarakat Islam, yang membentuk pondasi sistem Republik Islam.
Konstitusi Iran – yang disahkan setelah referendum 12 Farvardin – juga menekankan bahwa sistem Republik Islam didasarkan pada suara dan kehendak rakyat. Karena itu, semua pilar sistem harus dibangun atas dasar kehendak rakyat.
Dalam sistem Republik Islam Iran, pemilu dianggap sebagai sebuah prinsip yang dijamin oleh konstitusi. Sejak awal berdirinya Republik Islam, Iran menggelar banyak pemilu yang dimenangkan oleh berbagai kubu politik. Proses yang sudah melembaga ini menunjukkan bahwa Republik Islam sangat menghormati suara rakyat dan sistem politik berjalan untuk mewujudkan kehendak rakyat.
Dengan mendengarkan suara rakyat sejak awal kemenangan revolusi, Iran telah mempertemukan republik dan Islam dalam satu wadah. Berdasarkan konstitusi Republik Islam Iran, rakyat dapat menyalurkan suaranya dengan bebas dan rahasia dalam empat pemilihan yaitu pemilu presiden, pemilu parlemen, pemilu dewan kota dan desa, serta pemilu Dewan Ahli Kepemimpinan. Mereka dapat terlibat aktif untuk menentukan nasib bangsa dan memajukan urusan negara.
Prinsip demokrasi religius di Iran diatur dalam pasal 56 konstitusi. Pasal ini berbunyi, "Kedaulatan mutlak atas dunia dan manusia berada di tangan Tuhan dan Dia yang mengangkat manusia untuk mengatur kehidupan masyarakatnya. Tidak ada yang berhak merampas hak Ilahi ini dari manusia atau memanfaatkannya untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu, dan rakyat akan menggunakan hak pemberian Tuhan ini melalui cara yang akan disebutkan."
Pasal 56 berusaha menjelaskan secara singkat mengenai filosofi, prinsip, dan dasar dari apa yang disebut sebagai demokrasi religius.
Dalam hal ini, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Sayid Ali Khamenei mengatakan, "Dalam sistem Republik Islam, demokrasi dan agama bukan hanya sebuah unsur yang tidak terpisahkan satu sama lain, tetapi demokrasi juga berasal dari agama."
"Jangan sampai ada yang berpikir bahwa Imam kita (Imam Khomeini) mengadopsi pemilu dari budaya Barat dan kemudian menggabungkannya dengan pemikiran Islam dan syariat. Tidak demikian, jika pemilu, demokrasi, dan merujuk pada suara rakyat bukan bagian dari agama dan syariat Islam, maka Imam akan memberitahu kita.
Jika ini masalahnya, ia akan mengumumkannya dengan cara terbuka dan tegas. Demokrasi adalah bagian dari agama, dan syariat Islam merupakan kerangka kerjanya. Ketika meloloskan dan menerapkan undang-undang, ketika menugaskan individu untuk berbagai macam tugas atau memecat mereka, maka syariat Islam harus diperhatikan… Semua tugas ada di tangan rakyat, ini adalah landasan utama dari gerakan Imam kita yang mulia," tegas Ayatullah Khamenei.
Demokrasi religius bertujuan untuk mewujudkan hak-hak rakyat dalam menentukan nasibnya, yang menjadi indikator penting pembangunan politik. Salah satu kebanggaan sistem Republik Islam adalah menaruh perhatian dan menghormati suara dan kehendak rakyat sejak hari pertama berdiri.
Seorang analis Arab, Nasser Kandil mengatakan, "Iran di setiap pemilunya mengirimkan sebuah pesan dengan tenang dan cermat, serta mempersiapkan semuanya sehingga pesan ini bisa sampai. Di era Republik Islam, Iran menjadi sebuah contoh unik dari sistem yang mampu menjaga stabilitas, nilai-nilai, dan sumber-sumber kekuatannya."
Rakyat Iran dengan partisipasi luasnya di setiap pemilu menunjukkan bahwa mereka menghargai haknya sebagai satu warga-satu suara untuk mencapai keputusan kolektif.
Seorang analis politik Iran, Abbas Nikoui menuturkan referendum 12 Farvardin merupakan pemilu pertama yang digelar pasca kemenangan Revolusi Islam. Menurutnya, partisipasi yang tinggi dalam referendum ini membuktikan sikap antusias warga Iran untuk mengikuti pemilu sehingga menyebabkan kubu anti-revolusi tidak mampu menciptakan keraguan sedikit pun.
Jelas bahwa Republik Islam Iran menaruh perhatian yang sangat besar pada suara rakyat sejak awal kemenangan revolusi. Konstitusi Iran memandang rakyat sebagai pemilik asli kekuasaan dalam bernegara dan menekankan bahwa siapa pun tidak berhak merampas kekuasaan ini dari rakyat.
Pelaksanaan referendum 12 Farvardin merupakan salah satu dari manifestasi demokrasi di Iran dan ini terwujud dengan mendengarkan suara rakyat. Kedaulatan rakyat dalam menentukan nasib politik telah menjadi sebuah tradisi yang dilestarikan dalam sistem Republik Islam. (RM)