Jul 08, 2019 16:58 Asia/Jakarta
  • Islamophobia di Barat (28)

Masyarakat Muslim Austria memulai tahun baru 2018 dengan rasa takut dan keprihatinan. Televisi Euronews menyiapkan sebuah laporan mengenai ketakutan warga Muslim terhadap kampanye Islamophobia yang diadopsi oleh pemerintahan koalisi Austria.

Koalisi baru konservatif dan ekstrem kanan Austria mengumumkan programnya untuk pemerintah. Program ini menyebut nama Islam sebanyak 21 kali yang umumnya berkaitan dengan isu keamanan negara. Sebaliknya, tidak ada satu pun penyebutan ekstremisme sayap kanan atau fasisme di dalamnya.

Menurut laporan Euronews, program baru pemerintah secara tidak proporsional berfokus pada Muslim dan Islam politik, tetapi mengabaikan aktivitas sayap kanan. Program pemerintahan koalisi Austria ini berjudul "Together for Our Austria."

Meskipun ada peningkatan dramatis dalam jumlah serangan sayap kanan selama beberapa tahun terakhir di Austria, namun tidak disinggung aktivitas sayap kanan atau fasisme dalam dokumen yang diterbitkan pada Desember 2017 oleh Partai Rakyat (OVP) pimpinan Sebastian Kurz ( OVP) dan Partai Kebebasan sayap kanan (FPO).

Menurut Dinas Intelijen Domestik Austria (BVT), pihak berwenang mengajukan dakwaan sekitar 1.690 kasus terkait dengan kegiatan sayap kanan pada 2015 - jumlah tertinggi dalam satu tahun dan meningkat dari 1.200 kasus pada 2014.

Austria adalah satu-satunya negara di Eropa Barat dengan pemerintahan sayap kanan sejak Sebastian Kurz memenangkan pemilu pada Oktober 2017. OVP memerintah Austria untuk lima tahun ke depan dalam koalisi dengan FPO, sebuah partai yang didirikan oleh para mantan anggota Nazi, yang saat ini dipimpin oleh Heinz-Christian Strache.

Retorika pemerintah koalisi telah membuat khawatir sejumlah Muslim Austria dan mereka takut akan dicap sebagai ancaman bagi masyarakat.

Profesor Farid Hafez, dosen di Universitas Georgetown mengatakan fokus pemerintah pada Islam dalam program mereka belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Republik Austria Kedua.

"Dalam dirinya sendiri, ini adalah sesuatu yang sangat baru," kata Hafez kepada televisi Aljazeera. "Saya pikir apa yang akan kita lihat dalam lima tahun ke depan adalah sesuatu yang belum pernah kita lihat sebelumnya di Austria," tambahnya.

Banyak warga Austria khawatir bahwa penggunaan istilah "Islam politik" ini tidak didefinisikan dengan jelas dan pada kenyataannya, program pemerintahan baru menargetkan warga Muslim Austria.

Sebastian Kurz dan Heinz-Christian Strache.

Dengan slogan "Combating Political Islam," pemerintahan koalisi Austria menyerukan pemantauan lebih dekat terhadap sekolah-sekolah Islam dan menutupnya jika "persyaratan hukum tidak terpenuhi."

Ini menunjukkan bahwa gagasan tentang apa yang menjadi ancaman bagi keamanan nasional telah diperluas dengan cara yang ambigu, di mana akan memungkinkan negara untuk melegitimasi intervensi jangkauan luas di bidang keamanan.

Salah satu tujuan mereka adalah untuk mencegah pengaruh asing, khususnya di bidang pendidikan dan menerapkan larangan pendanaan dari luar negeri. Namun, larangan tersebut hanya berlaku untuk Muslim, dan tidak ada komunitas agama lain yang disebutkan dalam program pemerintah.

Langkah-langkah pencegahan dan deradikalisasi dalam program tersebut juga hanya berfokus pada Muslim, sementara bahaya yang ditimbulkan oleh kelompok lain diabaikan.

"Islam adalah agama yang menyebarkan perdamaian dan sama sekali tidak berbahaya bagi negara atau masyarakat mana pun. Sayangnya, ketika kita melihat program pemerintah, Islam ditempatkan di sudut itu," kata Presiden Komunitas Islam Austria, Ibrahim Olgun.

"Kami benar-benar tidak setuju dengan ini, karena agama Islam bukanlah alat politik dan harus diperlakukan sama dengan agama-agama dominan di Austria," tambahnya.

Manifesto pemerintah juga menyerukan agar terjemahan al-Qur'an yang resmi dari Jerman digunakan dan umat Islam harus menjauhkan diri dari bagian-bagian tertentu dari kitab suci mereka.

"Partai Kruz telah mengubah fokus mereka sepenuhnya dan mereka tidak melihat Muslim lagi sebagai mitra dalam masyarakat Austria, melainkan sebagai ancaman bagi masyarakat Austria," jelas Farid Hafez.

Menurut Dokustelle (sebuah organisasi yang mendokumentasikan kasus-kasus Islamophobia dan rasisme anti-Muslim), pelecehan verbal dan fisik terhadap warga Muslim di Austria telah meningkat. Antara 2015 dan 2016, serangan Islamophobia meningkat 62 persen menjadi 253 insiden.

Serangan terhadap wanita Muslim merupakan 83 persen dari jumlah total serangan Islamophobia di Austria.

Dalam kasus terbaru yang menandai awal tahun baru 2018, Asel Tamga, bayi Wina pertama yang lahir pada 1 Januari 2018, menjadi berita utama internasional setelah bayi ini menjadi sasaran gelombang komentar Islamophobia dan rasis.

Sayap kanan Austria mulai berkuasa di pemerintah.

Bayi itu tampil di halaman sosial media surat kabar Heute. Foto itu menunjukkan sang bayi berada dipelukan ibu berjilbab. Dengan cepat berbagai komentar negatif dan harapan buruk ditulis di kolom komentar foto tersebut.

Komentar tersebut meningkat sedemikian rupa sehingga Presiden Austria, Alexander Van der Bellen turun tangan dengan menulis di Facebook, "Keyakinan dan kohesi lebih besar daripada kebencian dan hasutan. Selamat datang, Asel sayang!"

Sementara itu, Muslimah Austria yang berpendidikan khawatir bahwa larangan hijab atau jilbab, mungkin terjadi setelah Menteri Pendidikan Austria yang baru, Heinz Fassman mengatakan kepada sebuah media lokal bahwa guru tidak boleh mengenakan jilbab.

"Ini juga akan mempengaruhi sektor-sektor lain dan memiliki dampak negatif pada situasi pekerjaan yang sudah berbahaya bagi wanita Muslim." kata Dudu Kucukgol, seorang mahasiswa PhD dan peneliti tentang seksisme, rasisme, dan Islamophobia.

"Kurz disambut oleh komunitas Muslim ketika ia menjabat sebagai menteri luar negeri pada 2011. Dia membuat pernyataan positif dan benar-benar tampaknya membawa perubahan dalam paradigma. Dia menentang debat jilbab, dia sangat bersikeras bahwa Muslim adalah bagian positif dari masyarakat Austria. Namun, setelah beberapa tahun bahasa dan politiknya berubah," ungkap Kucukgol.

Husein Veladzic, seorang imam masjid di kota Linz Austria, percaya bahwa kampanye Islamophobia dapat memiliki efek yang berlawanan di beberapa aspek. Dia mencatat bahwa ketika sayap kanan semakin populer, lebih banyak warga Austria non-Muslim mengunjungi masjidnya untuk belajar tentang Islam.

"Tentu saja serangan (terhadap Islam dan Muslim) memang berat, tetapi itu juga memacu minat terhadap Islam. Orang-orang mulai bertanya pada diri sendiri, 'Apa itu (Islam)? Apakah benar-benar seperti ini?' Orang-orang mulai menggali informasi untuk diri mereka sendiri," kata Veladzic.

Muslim Austria tidak dipandang melalui kacamata hak asasi manusia dan kebebasan beragama sebagai kelompok yang harus dilindungi, tetapi sebaliknya secara eksplisit dianggap sebagai ancaman potensial yang harus diatasi dengan bantuan tindakan diskriminatif dan represif.

Kebijakan anti-Islam di pemerintahan Barat akan membahayakan kehidupan damai jutaan Muslim di Eropa, yang hidup berdampingan dengan warga Eropa lainnya. (RM)