Islamophobia di Barat (54)
Gelombang baru sentimen anti-Islam di Amerika Serikat dimulai sejak Donald Trump berkuasa di Gedung Putih. Dengan janjinya melarang warga Muslim memasuki Amerika, Trump menjadikan isu Islamophobia sebagai jargon utama kampanye pemilunya pada 2016.
Setelah menduduki kursi kepresidenan, ia memberlakukan larangan perjalanan terhadap warga enam negara dengan mayoritas Muslim, termasuk Iran. Trump mencampuradukkan Islamophobia dengan Iranophobia. Dengan kebijakannya ini, ia telah menciptakan sebuah tantangan besar dalam sistem internasional.
Setiap kali menemui kegagalan, Trump selalu berusaha untuk menutupi kegagalan ini dengan mengintensifkan perang psikologis terhadap Iran dan menjatuhkan sanksi ekonomi, termasuk menarik diri dari perjanjian nuklir JCPOA.
Sebagai bagian dari kebijakan itu, Trump mengangkat Mike Pompeo sebagai menteri luar negeri dan John Bolton sebagai penasihat keamanan nasional AS, untuk menyempurnakan poros anti-Iran di Gedung Putih.
Sejauh ini Trump gagal memaksakan kehendaknya pada Eropa, Rusia, dan Cina, serta sekutu-sekutu utama Washington. Dengan mengesankan Iran sebagai ancaman terbesar bagi AS dan menjatuhkan sanksi berat terhadapnya, ia ingin menegaskan hegemoni AS kepada dunia.
Penasihat Keamanan Nasional AS, John Bolton kemudian memperkenalkan sebuah program kontra-terorisme yang berfokus pada Iran. Surat kabar Spanyol, El Pais dan kantor berita Europress Spanyol dalam laporan terpisah mengatakan bahwa strategi baru kontraterorisme AS menekankan Iran sebagai salah satu musuh utamanya.
"Pemerintahan Trump berkata bahwa adidaya dunia tetap terganggu oleh ancaman Iran melalui jaringan globalnya dan dukungan berkelanjutan mereka kepada kelompok-kelompok teroris," tulis El Pais.
Menurut Europress, laporan strategi keamanan nasional AS tahun 2011 menyebut nama Iran hanya sekali dan negara itu dicap sebagai negara sponsor terorisme. Namun, pemerintahan Trump sekarang menempatkan Iran sebagai sumber utama kekhawatiran AS.
Tetapi ada perbedaan antara peristiwa-peristiwa setelah 2011 dan 2018. Pada saat itu, pemerintahan Obama berhasil menyesatkan komunitas internasional tentang esensi program nuklir Iran dan membawa kasus nuklir negara ini ke Dewan Keamanan PBB, yang berujung keluarnya enam resolusi terhadap Tehran. Semua negara dunia berkewajiban untuk mematuhi resolusi-resolusi tersebut.
Keteguhan Iran pada pendiriannya telah mengubah pendekatan Kelompok 5+1 dalam negosiasi dengan Republik Islam. Perundingan ini akhirnya menghasilkan perjanjian nuklir JCPOA yang ditandatangani pada 2015. Berdasarkan JCPOA, Iran menerima pembatasan sementara terhadap program nuklir damainya dengan imbalan penghapusan sanksi.
Perjanjian nuklir JCPOA kemudian diperkuat melalui resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB dan membuatnya mengikat semua negara. Namun, Trump selama kampanye pilpres AS dan setelah terpilih, berulang kali menyebut JCPOA sebagai kesepakatan terburuk bagi Amerika. Pada Mei 2018, ia secara sepihak menarik diri dari JCPOA dan mengembalikan sanksi ekonomi terhadap Iran.
Tapi kali ini tidak ada negara yang mau mengikuti dikte Amerika. Pendukung Washington hanyalah rezim Zionis Israel dan beberapa negara Arab, yang bersekutu dengan AS.
Para pejabat AS telah melakukan kunjungan ke sejumlah negara untuk membujuk mereka agar mengikuti sanksi sepihak Washington, namun mereka tidak bersedia melakukan itu. Para pejabat Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dalam 12 laporannya, memverifikasi kepatuhan Iran terhadap JCPOA meskipun adanya tekanan dari AS.
Hanya beberapa bulan setelah Trump keluar dari JCPOA, pemerintah AS harus menerima kegagalannya dalam merangkul sekutunya bahkan negara-negara Eropa supaya mengikuti kebijakan sanksi terhadap Iran. Trump juga gagal meyakinkan IAEA bahwa Tehran telah melanggar perjanjian nuklir. Dia kemudian memanfaatkan pertemuan tahunan Majelis Umum PBB untuk melancarkan propaganda terhadap Iran.
Trump dibanjiri kritik dan protes dari para pemimpin dunia baik di Majelis Umum PBB maupun di Dewan Keamanan. Dia justru terkucil alih-alih berupaya mengucilkan Republik Islam Iran.
Sekarang, sekutu Amerika di Eropa memperkenalkan sebuah mekanisme untuk menangkal dampak sanksi AS dan mempertahankan kerja sama dengan Iran.
Di ranah hukum, pemerintah AS menelan kekalahan lain setelah Mahkamah Internasional mengeluarkan putusan yang memenangkan gugatan Iran dan memerintahkan AS untuk tetap mematuhi Perjanjian Amity.
Penarikan AS dari JCPOA adalah pelanggaran terhadap hukum internasional dan resolusi 2231 Dewan Keamanan. Republik Islam Iran memprotes keras tindakan itu dan kemudian mengadukan AS atas pelanggaran komitmen internasionalnya dan Treaty of Amity 1955.
Iran memandang penerapan kembali sanksi melanggar Perjanjian Persahabatan, Hubungan Ekonomi, dan Hak Konsuler (Treaty of Amity), yang ditandatangani antara Tehran-Washington pada 15 Agustus 1955 di Tehran.
Republik Islam secara resmi mendaftarkan gugatan hukum terhadap AS di Mahkamah Internasional (ICJ) pada 16 Juli 2018. Setelah mempelajari materi gugatan Iran, ICJ pada 3 Oktober 2018 dengan suara bulat memutuskan bahwa AS harus mencabut sanksi terhadap pasokan obat-obatan dan peralatan medis, makanan dan komoditas pertanian, serta suku cadang pesawat.
Putusan Mahkamah Internasional disambut positif oleh Republik Islam Iran. Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif via akun Twitter-nya menulis, "Mahkamah Internasional memerintahkan AS untuk mematuhi kewajiban yang dilanggar dengan memberlakukan kembali sanksi terhadap rakyat Iran ketika keluar dari JCPOA. Ini adalah kegagalan lain bagi pemerintah AS yang kecanduan sanksi dan kemenangan bagi sumpremasi hukum. Sangat penting bagi komunitas internasional untuk secara kolektif melawan unilateralisme AS."
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei menuturkan Amerika menerima tamparan dari Islam dalam 40 tahun terakhir.
Kebijakan anti-Iran Donald Trump dan semangat Iranophobia di pemerintahan AS, merupakan sebuah permusuhan terhadap Islam yang anti-kezaliman dan anti-imperialisme Amerika. Secara prinsip, Islam dan Republik Islam Iran menentang arogansi dan kebijakan hegemonik Amerika Serikat. (RM)