Nakba, Malapetaka bagi Palestina dan Umat Islam
Kata Nakba mengingatkan dua kenangan yang sangat getir dalam memori publik Palestina. Pertama, pembentukan rezim Zionis Israel pada tahun 1948 dan kedua, pengusiran lebih dari 800.000 orang Palestina dari tanah airnya, dan saat ini jumlah pengungsi Palestina telah mencapai sekitar enam juta orang.
Hari Nakba tidak hanya merupakan simbol malapetaka yang terjadi tahun 1948 di Palestina, tetapi juga mencerminkan penderitaan yang dipikul oleh bangsa ini selama beberapa dekade terakhir.
Pada dasarnya, Hari Nakba adalah narasi dari sebuah tragedi kemanusiaan yang telah menghancurkan sebagian besar pondasi politik, ekonomi, budaya, dan hak-hak rakyat Palestina demi membuka jalan bagi munculnya sebuah rezim ilegal.
Di antara tindakan Israel sejak 1948 adalah penghancuran lebih dari 675 kota dan desa, perampasan tanah Palestina, pembangunan distrik-distrik Zionis, pengusiran penduduk Palestina, penghancuran warisan dan identitas nasional Palestina, dan penggantian nama-nama Arab dengan Ibrani.
Hari Nakba juga menyimpan kisah tentang puluhan kasus pembantaian massal dan kejahatan brutal rezim Zionis terhadap ribuan wanita, pria, dan anak-anak Palestina, seperti pembantaian yang dilakukan Israel di Kafr Qasim dan Deir Yassin.
Pada 29 April 1956, sebanyak 48 warga Palestina, termasuk enam wanita dan 23 anak-anak di desa Kafr Qasim, Tepi Barat, gugur syahid karena tanpa sebab diberondong oleh tentara Zionis.
Sebelum ini pada 9 April 1948, dua organisasi teroris Zionis (Irgun dan Lehi) menyerang desa Deir Yassin di barat Quds dan membunuh 360 warga sipil Palestina.
Tentu saja, kejahatan Israel dan perampasan tanah Palestina tidak pernah berhenti sejak pembentukan rezim ilegal ini sampai sekarang, dan contoh terbaru dari kejahatan dan penjajahan ini adalah pembantaian warga Palestina di Gaza dengan lampu hijau AS.
Surat kabar al-Quds al-Arabi cetakan London menyebut pembukaan Kedutaan AS di Quds sebagai malapetaka baru bagi bangsa Palestina, keadilan, dan legitimasi internasional. Israel – sebagai kekuatan pendudukan dan dengan dukungan AS – terus menindas orang-orang Palestina.
Di sini, kebijakan provokatif Amerika, terutama keputusan Donald Trump memindahkan Kedutaan AS ke Quds, memuat pesan bahwa rakyat Palestina akan terus merasakan petaka akibat dari kebijakan imperialis AS dan Israel. Dampak dari kebijakan dan konspirasi seperti ini adalah pembantaian lebih lanjut orang-orang Palestina.
Transformasi Palestina pada peringatan Hari Malapetaka menunjukkan bahwa penindasan rakyat Palestina oleh Israel dan pendukung Baratnya, bukannya tidak berakhir, tapi malah semakin mengganas dari waktu ke waktu. Kesepakatan Abad yang diumumkan Presiden AS Donald Trump juga telah membuka peluang bagi Israel untuk meningkatkan kejahatannya di Palestina.
Trump mengumumkan prakarsa Kesepakatan Abad pada 28 Januari 2020. Prakarsa ini mendapat reaksi keras dari dalam negeri Amerika dan dunia internasional. Prakarsa ini diklaim untuk memajukan proses perdamaian antara Palestina dan Israel.
Kesepakatan Abad dianggap tidak sejalan dengan perdamaian. Butir-butir dan waktu pengumuman prakarsa tersebut juga telah memicu kekhawatiran. Kesepakatan Abad bukanlah upaya serius dan itikad baik untuk membawa perdamaian dan rencana ini justru akan membuka jalan permanen bagi Israel untuk menduduki Tepi Barat.
Sejak berkuasa, Trump mengambil langkah-langkah kontroversial untuk kepentingan rezim Zionis, di mana tidak satu pun dari pendahulunya berani membuat keputusan seperti itu.
Trump dalam sebuah keputusan kontroversial mengakui Quds sebagai ibukota rezim Zionis, mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan Suriah, menghentikan bantuan keuangan untuk UNRWA, mengusir dubes Palestina dari Washington, keluar dari UNESCO dan Dewan HAM PBB, dan pada akhirnya merestui rencana Netanyahu mencaplok Tepi Barat.
Puncak dukungan penuh Trump kepada Israel ditandai dengan pengumuman prakarsa Kesepakatan Abad. Prakarsa ini bertujuan untuk menjamin kepentingan Israel, memberikan pelayanan istimewa kepada rezim Zionis, dan memaksa Palestina menerima sebuah negara kecil dengan imbalan mendapatkan bantuan dana 50 miliar dolar.
Dengan langkah ini, Trump ingin meraih dukungan warga Yahudi Amerika dalam pilpres mendatang dan membuka jalan bagi normalisasi hubungan Israel dan negara-negara Arab sekutu Amerika, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Oman. Dia juga berniat menghancurkan kelompok perlawanan di Asia Barat dengan cara menghapus isu Palestina.
Berdasarkan Kesepakatan Abad, al-Quds akan diserahkan kepada rezim Zionis, pengungsi Palestina di luar negeri tidak berhak kembali ke tanah airnya, dan Palestina hanya terdiri dari wilayah yang tersisa di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Kesepakatan Abad merupakan prakarsa pemerintah AS untuk menghapus hak-hak rakyat Palestina. Prakarsa ini dibuat melalui kerja sama dengan sejumlah negara Arab seperti Arab Saudi, Bahrain dan Uni Emirat Arab.
Dalam kerangka Kesepakatan Abad, Trump pada 6 Desember 2017 mengumumkan al-Quds pendudukan sebagai ibu kota rezim Zionis. AS kemudian memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke al-Quds pada Senin, 14 Mei 2018. Al-Quds diduduki rezim Zionis sejak tahun 1967.
Kesepakatan Abad ini ditentang keras oleh seluruh faksi Palestina termasuk pemerintah Otorita Ramallah, kelompok-kelompok pejuang, dan rakyat Palestina, serta banyak negara-negara Arab dan Muslim, dan juga anggota Kelompok Kuartet Perdamaian Timur Tengah.
Paul Larudee, tokoh utama Gerakan Solidaritas Internasional Anti Zionis, menilai Kesepakatan Abad sebagai ancaman berbahaya bagi eksistensi Palestina dan mengatakan AS di masa depan akan merampas wilayah Muslim lainnya untuk diserahkan kepada rezim Zionis. (RA)