Mar 30, 2021 15:14 Asia/Jakarta
  • Pengungsi Rohingya di tengah laut
    Pengungsi Rohingya di tengah laut

Ada bukti cukup yang membuktikan upaya besar-besaran militer dan pemerintah Myanmar untuk melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap etnis Muslim Rohingya di Negara Bagian Arakan secara sistematis. Dimensi pelanggaran ini sangat luas sehingga mencakup seluruh dimensi hak kehidupan dan kemanusiaan.

Sementara itu, pemerintah Myanmar termasuk anggota perjanjian internasional hak sipil dan politik serta perjanjian internasional hak ekonomi, sosial dan budaya (1966), Konvensi Hak Anak, konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan sejumlah perjanjian internasional HAM.

Terlepas dari perjanjian internasional ini yang mengharuskan militer dan pemerintah Myanmar menjaga HAM, berdasarkan Undang-Undang dalam negeri Myanmar sendiri, pemerintah negara ini berkewajiban melindungi hak asasi warga Rohingya. Undang-Undang Dasar Myanmar menekankan kesetaraan seluruh warga termasuk kesetaraan dan penolakan diskriminasi pendidikan serta pelayanan kesehatan. Penangkapan sewenang-wenang juga dilarang. Namun meski UUD sangan jelas, tapi pemerintah Myanmar menghalangi warga Muslim Rohingya menggapai seluruh haknya dan memaksa mereka melarikan diri ke Bangladesh melalui pembunuhan dan pengusiran.

Pengusiran Paksa Muslim Rohingya

Terlepas dari Undang-Undang dalam negeri Myanmar yang mengakui hak sipil dan pemerintah berkewajiban melaksanakannya, di kaidah hukum internasional, pencabutan kewarganegaraan di sebuah negara dan pelanggaran terhadap hak mereka, dinyatakan sebagai tindakan kriminal. Berdasarkan berbagai konvensi internasional yang mengikat, Myanmar diharuskan mengikutinya. Bahkan pencabutan kewarganegaraan terhadap seorang warga dilarang dan dikecam, apalagi pelanggaran sistematis terhadap sebuah etnis berjumlah jutaan orang.

Meski demikian, pemerintah dan militer Myanmar, berbeda dengan seluruh hukum internasional, bukan saja mengapus kewarganegaraan Muslim Rohingya, bahkan tak segan-segan membantai mereka dan mengusirnya dari tanah air mereka . Ini sebuah bentuk pelanggaran nyata terhadap hukum internasional. Bahkan jika Myanmar tidak mengakui etnis Rohingya sebagai warga Myanmar, berdasarkan hukum internasional, negara in berkewajiban menjaga hak mereka berdasarkan deklarasi global HAM.

Terlepas dari hukum domestik dan konvensi internasional "tentang hak setiap orang atas kewarganegaraan di negara tempat dia dilahirkan", pemerintah Myanmar mencabut kewarganegaraan Muslim Rohingya pada tahun 1982 dan menghalangi mereka meraih hak dasar dan hak kewarganegaraannya. Selain itu, meski ada ketentuan yang jelas di UUD Myanmar, bahwa setiap upaya penyebaran kebencian terhadap agama dilarang, namun pemerintah Myanmar secara sengaja berusaha menyalahgunakan isu agama dan mengobarkan permusuhan antara mayoritas pengikut Budha dan minoritas Muslim di negara ini sehingga terbuka peluang pembunuhan massal, penyiksaan dan pengusiran etnis minoritas ini dari desa-desa mereka.

Aksi kejahatan dan kriminal ini dilakukan oleh berbagai organisasi rasis seperti organisasi ilegal "Protection of Race and Religion" yang setiap aksinya didukung secara terbuka oleh militer Myanmar. Sementara itu, hukum mengikat internasional, mengharuskan seluruh negara termasuk Myanmar menghormati hak warga yang tinggal di wilayahnya dan mereka diberi kebebasan beribadah.

Warga Muslim Rohingya dipenjara dan disiksa militer Myanmar

Diskriminasi etnis dan agama terhadap Muslim Rohingya tersebar luas dan sistematis, mulai dari pelanggaran hak kebebasan bergerak hingga hak untuk bebas memilih tempat tinggal hingga pelanggaran hak atas makanan, kesehatan dan pendidikan anak-anak Rohingya. Di bawah hukum internasional, bagaimanapun, setiap orang memiliki hak untuk bergerak bebas di dalam negara mereka sendiri dan untuk memilih tempat tinggal mereka sendiri. Bertentangan dengan hukum internasional, Rohingya di Negara Bagian Rakhine memerlukan izin resmi dan sertifikat transit untuk bepergian ke kota dan bepergian dari satu desa ke desa lain.

Hak asasi manusia penting lainnya yang telah dirampas dari Muslim Rohingya dan sebuah pelanggaran terhadap hukum hak asasi manusia internasional dan hukum domestik Myanmar adalah pelanggaran hak milik mereka di desa-desa tempat tinggal nenek moyang mereka selama ratusan tahun. Namun, Pasal 17 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia secara eksplisit menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memiliki properti sendiri maupun untuk berhubungan dengan orang lain. Myanmar, seperti anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya, wajib melaksanakan deklarasi yang mengikat ini. Namun pemerintah Myanmar telah melakukan pelanggaran serius terhadap hak properti Muslim Rohingya dengan menghancurkan rumah dan menyita properti Rohingya.

Dalam tindakan yang tidak manusiawi, bertentangan dengan semua konvensi internasional, pemerintah Myanmar telah melanggar hak Muslim Rohingya atas makanan dengan menghancurkan harta benda dan aset mereka. Selama invasi militer dan ekstrimis Buddha, desa dan pertanian dibakar, dan sumber makanan utama penduduk desa dihancurkan sehingga mereka sangat kekurangan makanan. Langkah pemerintah Myanmar itu bertentangan dengan Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pentingnya hak untuk mengakses pangan, berdasarkan berbagai konvensi, pelanggarannya digambarkan sebagai ancaman bagi perdamaian dunia.

Salah satu masalah yang dihadapi Muslim Rohingya di Myanmar adalah perampasan hak atas pendidikan anak-anak mereka. Negara Bagian Arakan memiliki tingkat melek huruf terendah, dan Rohingya secara sistematis dilarang belajar di beberapa bidang, seperti kedokteran dan teknik. Anak-anak Rohingya tidak bisa masuk universitas, karena masuk ke disiplin akademik ini membutuhkan kartu kewarganegaraan, di mana warga Rohingya tidak memilikinya. Ini hal-hal yang berkaitan dengan kondisi wajar dan biasa, dan jika kita mempertimbangkan pengungsi Rohingya di dalam dan luar negeri, kemungkinan anak-anak Rohingya memasuki sistem pendidikan akan sangat rendah.

Pemisahan perempuan dan anak-anak Rohingya dari suami

Dalam kasus hak asasi Rohingya untuk mengakses kesehatan, situasinya mengerikan. Rohingya praktis kehilangan akses ke perawatan kesehatan dan akses ke obat-obatan dan dokter, bahkan dalam keadaan normal. Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia telah menerima laporan yang terdokumentasi bahwa Muslim Rohingya menghadapi pembatasan akses ke fasilitas medis yang parah dan meluas.

Menurut aturan hukum internasional, pembatasan akses ke pusat kesehatan yang membahayakan kesehatan masyarakat Rohingya ini merupakan pelanggaran hak atas kesehatan. Jika penundaan perlakuan adil tersebut dilakukan maka merupakan pelanggaran terhadap hak untuk hidup yang pelakunya layak mendapatkan hukuman.

Pada Desember 2019, Majelis Umum PBB mengeluarkan beberapa resolusi yang mengutuk pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Rohingya dan minoritas lainnya di Myanmar. Penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kematian di penjara Myanmar adalah contoh pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Myanmar dalam resolusi ini. Bukti penyiksaan yang terang-terangan dan tak terbayangkan terhadap Muslim begitu jelas sehingga Majelis Umum mengeluarkan resolusi dengan 134 suara mendukung, 9 menentang dan 28 abstain, dan meminta pemerintah Myanmar untuk mengambil tindakan segera untuk melawan Penyebaran kebencian terhadap Muslim Rohingya dan minoritas lainnya di Negara Bagian Rakhine, Kachin dan Shan.

Sayangnya, merebaknya virus Corona telah memberikan alasan bagi Aung San Suu Kyi dan pembunuh Muslim Myanmar lainnya untuk mengelak dari tanggung jawab mereka dan melanjutkan kebijakan represif mereka terhadap Muslim. Lusinan Muslim, kebanyakan dari mereka wanita, masih hilang setelah berbulan-bulan, dan sebagian besar mayat korban telah ditemukan di dekat sebuah pulau di sebelah timur Teluk Benggala.

Televisi Euro News terkait kejahatan pemerintah, militer dan ekstrimis Budha Myanmar menyatakan, "Resolusi Majelis Umum PBB dari sisi hukum tidak mengikat, namun merefleksikan pemikiran dan kekhawatiran dunia! Pemerintah Myanmar menandatangani berbagai konvensi yang berkaitan dengan HAM internasional dan berkomitmen menjaga  HAM. Namun faktanya adalah pemerintah Myanmar bahkan di kondisi setelah mundurnya para jenderal pengkudeta dari kekuasaan dan berkuasanya [e,eromtajam sipil, tetap melanggar komitmen HAMnya yang berkaitan dengan Rohingya dan militer beserta aparat keamanan negara ini melanjutkan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap Muslim Rohingya. Tapi yang unik adalah di sapming pengesahan berbagai resolusi tidak mengikat di Majelis Umum PBB terhadap pembantaian sistematis Muslim Rohingya, tidak ada berita mengenai pengesahan resolusi mengikat di Dewan Keamanan PBB berkaitan dengan kasus ini."

 

Tags