May 08, 2021 18:53 Asia/Jakarta
  • Malam Lailatul Qadar
    Malam Lailatul Qadar

Orang yang berpuasa di bulan Ramadhan ingin mendekatkan dengan Tuhan dengan ibadah individunya, namun ini bukan berarti bahwa amal ibadah individu terpisah dari ibadah sosial dan masyarakat.

Sejatinya puasa selain memiliki pengaruh spiritual dan maknawi individu, juga memiliki pengaruh sosial yang signifikan. Berdasarkan data yang dirilis lembaga terkait, setiap tahun seiring dengan tibanya bulan suci Ramadhan, tingkat kriminal sosial di seluruh negara Islam menurun drastis.

Akar dari reformasi sosial ini harus dicermati di kecenderungan anggota masyarakat terhadap sisi maknawi. Sejatinya atmosfer spiritual dan maknawi di bulan suci Ramadhan merupakan persiapan untuk menjauhkan diri dari hal-hal tak bermoral. Hal ini karena ketika manusia menahan haus dan lapar selama berjam-jam untuk meraih keridhaan Tuhan, maka ia tidak akan lagi berminat untuk merusak nilai-nilai mulai moral. Uniknya di bulan suci ini, bukan saja mereka yang berpuasa berkomitmen melakukan sejumlah amalan, bahkan di tengah masyarakat muslim baik mereka yang berpuasa atau tidak, akan merasakan perubahan khusus.

Muslim di bulan suci Ramadhan lebih aktif untuk berusaha membantu mereka yang membutuhkan dan menyantuni anak yatim. Hal ini karena puasa membangkitkan simpati kepada mereka yang tidak mampu. Orang yang berpuasa lebih mudah memahami rasa lapar orang miskin ketika mereka menahan lapar dan haus sementara saat berpuasa sehingga ia berusaha untuk tidak melanggar hak orang yang tak mampu dan tidak lalai akan penderitaan mereka.

Di tengah kondisi pandemi Corona saat ini dan ketika penerapan protokol kesehatan serta jaga jarak sosial untuk mencegah penyebaran pandemi tersebut, justru hati umat Muslim semakin dekat dengan sesamanya. Di bulan suci ini, umat muslim berlomba untuk memiliki saham lebih besar membantu sesamanya yang membutuhkan.

Di kesempatan kali ini kami akan membahas Had At-Tarakhus dan jarak syar'i serta berbagai poin terkait hukum bepergian (musafir).

Orang yang berpuasa dan ingin bepergian atau keluar dari kota di bulan suci Ramadhan, jika ia melakukannya sebelum azan Zuhur, maka puasanya sah, tapi jika bepergian setelah Zuhur dan jaraknya lebih dari 20-22 km dari tempat tinggalnya, maka puasanya batal. Jarak ini yang disebut sebagai jarak syar'i bukan hanya khusus untuk orang yang bepergian (musafir).

Jarak syar'i minimumnya adalah 8 farsah pulang-pergi (minimum 41 dan maksimum 45 km). Seseorang setelah menempuh jarak tersebut maka shalatnya harus diqashar dan jika berpuasa maka ia harus berbuka. Dengan demikian, seseorang ketika mencapai jarak empat farsah (20-24 km) maka shalatnya harus diqashar dan puasanya batal. Tapi jika jarak yang ditempuh kurang dari empat farsah maka puasanya sah dan shalatnya penuh tidak diqashar. Ukuran jarak syar'i adalah rumah terakhir di kota, yakni ketika tembok kota tidak lagi terlihat atau suara azan tidak terdengar.

Istilah lain yang patut diperhatikan di hukum shalat dan puasa adalah  Had At-Tarakhus.  Had At-Tarakhus adalah jarak yang memberi kemudahan kepada musafir untuk tidak menunaikan shalat secara penuh dan tidak berpuasa. Musafir di kondisi ini harus menunaikan shalatnya secara qashar dan membatalkan puasanya.  Had At-Tarakhus sejatinya jarak 1350 meter setelah pintu masuk kota.

Seorang musafir yang melakukan perjalanan sebelum Zuhur dan tiba di  Had At-Tarakhus dapat membatalkan puasanya. Poin penting di sini adalah seseorang tidak diperbolehkan membatalkan puasanya jika belum sampai ke  Had At-Tarakhus, misalnya di pagi hari ketika bangun tidur ia sarapan karena berniat untuk bepergian dan menjahui tempat tinggalnya, kemudian keluar dari rumahnya. Dengan demikian seseorang yang berpuasa membatalkan puasanya sebelum keluar dari kota, maka menurut hukum intiyat (berhati-hati) wajib baginya kafarah (hukum orang yang berbuka secara sengaja di bulan Ramadhan). Tapi jika ia lalai dan lupa hukum, maka tidak wajib kafarah baginya.

Kini kita semakin mendekati akhir bulan suci Ramadhan. Menurut nasehat para ulama, mulai awal Ramadhan dan bahkan sebelum bulan ini, kita dianjurkan untuk memperhatikan secara khusus malam lailatul qadar. Kita harus mempersiapkan diri menyambut malam penuh berkah tersebut dan bergabung dengan rahmat luas ilahi. Malam lailatul qadar adalah malam malam di mana rencana kita untuk tahun yang akan datang, termasuk kesehatan, umur panjang, kemakmuran, malapetaka, kesusahan, dan setiap peristiwa, ditentukan.  Namun kepastian malam tersebut masih diperdebatkan, bahkan sejumlah ulama rela untuk beribadah di malam hari sepanjang tahun demi mendapat malam lailatul qadar, karena tidak ada yang tahu tepatnya malam penuh berkah tersebut.

Di doa hari ke-27 bulan Ramadhan disebutkan:

"اللهمّ ارْزُقْنی فیهِ فَضْلَ لَیلَةِ القَدْرِ و صَیّرْ أموری فیهِ من العُسْرِ الی الیسْرِ واقْبَلْ مَعاذیری وحُطّ عنّی الذّنب والوِزْرِ یا رؤوفاً بِعبادِهِ الصّالِحین"

"Ya Allah, berkahilah aku di bulan ini dengan mendapatkan lailatul qadr. Ubah arah hidupku dari hidup yang susah menjadi mudah. Terimalah segala permohonan maafku dan hapuskan dosa-dosa dan kesalahanku. Wahai Yang Maha Penyayang terhadap hamba-Nya yang saleh."

Ayatullah Mojtahedi Tehrani, salah satu ulama akhlak dan irfan ketika menjelaskan doa ini mengatakan, "Berdasarkan bagian pertama doa ini yakni,  «اللهمّ ارْزُقْنی فیهِ فَضْلَ لَیلَةِ القَدْرِ» sebagian orang berasumsi bahwa malam lailatul qadar adalah malam ke-17 bulan Ramadhan. Syiah berpendapat, kemungkinan terbesar malam lailatul qadar adalah malam ke-23 bulan Ramadhan dan saudara kita dari Ahlu Sunnah meyakini malam 27 adalah malam lailatul qadar. Mereka sepanjang malam tersebut beribadah dan bermunajat serta menunaikan amalan malam berkah ini....Sementara di bagian doa «وصَیّرْ أموری فیهِ من العُسْرِ الی الیسْرِ» kita memohon kepada Tuhan untuk memudahkan urusan kita. Dan di cuplikan doa «واقْبَلْ مَعاذیری» kita menghadap Baitullah dan memohon ampunan atas amalan kita. Jika seorang anak meminta maaf kepada ayahnya, maka sang ayah akan memaafkannya dan mencintainya. Sementara Tuhan sangat penyayang kepada hamba-Nya, melebihi seorang ayah kepada anaknya. Ia pasti akan memaafkan kesalahan hamba-Nya."

یَا مَادَّ الظِّلِّ وَ لَوْ شِئْتَ لَجَعَلْتَهُ سَاکِناً وَ جَعَلْتَ الشَّمْسَ عَلَیْهِ دَلِیلاً ثُمَّ قَبَضْتَهُ (إِلَیْکَ) قَبْضاً یَسِیراً یَا ذَا الْجُودِ وَ الطَّوْلِ وَ الْکِبْرِیَاءِ وَ الْآلاَءِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ عَالِمُ الْغَیْبِ وَ الشَّهَادَةِ الرَّحْمَنُ الرَّحِیمُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ یَا قُدُّوسُ یَا سَلاَمُ یَا مُؤْمِنُ یَا مُهَیْمِنُ یَا عَزِیزُ یَا جَبَّارُ یَا مُتَکَبِّرُ یَا اللَّهُ یَا خَالِقُ یَا بَارِئُ یَا مُصَوِّرُ یَا اللَّهُ یَا اللَّهُ یَا اللَّهُ‏ لَکَ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَ الْأَمْثَالُ الْعُلْیَا وَ الْکِبْرِیَاءُ وَ الْآلاَءُ أَسْأَلُکَ أَنْ تُصَلِّیَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ وَ أَنْ تَجْعَلَ اسْمِی فِی هَذِهِ اللَّیْلَةِ فِی السُّعَدَاءِ وَ رُوحِی مَعَ الشُّهَدَاءِ وَ إِحْسَانِی فِی عِلِّیِّینَ وَ إِسَاءَتِی مَغْفُورَةً وَ أَنْ تَهَبَ لِی یَقِیناً تُبَاشِرُ بِهِ قَلْبِی وَ إِیمَاناً یُذْهِبُ الشَّکَّ عَنِّی وَ تُرْضِیَنِی بِمَا قَسَمْتَ لِی‏ وَ آتِنَا فِی الدُّنْیَا حَسَنَةً وَ فِی الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ الْحَرِیقِ‏ وَ ارْزُقْنِی فِیهَا ذِکْرَکَ وَ شُکْرَکَ وَ الرَّغْبَةَ إِلَیْکَ‏ وَ الْإِنَابَةَ وَ التَّوْبَةَ وَ التَّوْفِیقَ لِمَا وَفَّقْتَ لَهُ مُحَمَّداً وَ آلَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَیْهِ وَ عَلَیْهِمْ‏

Wahai yang Membentangkan bayangan (sehingga meliputi segala sesuata). Jika Kauberkehendak, niscaya Kaujadikannya diam (tak bergerak) dan Menjadikan matahari sebagai petunjuk kepadanya. Kemudian, (setelah bayangan itu terbentang), Kaukumpulkan kembali sedikit demi sedikit. Wahai Pemilik kedermawanan, karunia, kebesaran, dan karunia, tiada tuhan (sejati) selain Engkau yang Maha Mengetahui yang gaib dan tampak, yang Maha Pengasih nan Maha Penyayang, tiada tuhan (sejati) selain Engkau, wahai yang Mahakdus, wahai yang Maha Penyelamat, wahai yang Maha Pemberi rasa aman, wahai yang Maha Menguasai, wahai yang Mahamulia, wahai yang Mahakuat, wahai yang Mahaagung, ya Allah wahai Maha Pencipta, wahai yang Maha Pewujud, wahai yang Maha Pembentuk, ya Allah, ya Allah, ya Allah, hanya bagi-Mu asma-asma yang baik, seluruh perumpamaan yang tinggi, kebesaran, dan karunia. Aku mohon kepada-Mu agar Kaucurahkan shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, menjadikan namaku pada malam ini di antara orang-orang yang berbahagia, ruhku bersama para syahid, kebaikanku di surga ‘Illiyin, dan kejelekanku terampuni, menganugerahkan padaku keyakinan yang dengannya Kauawasi kalbuku dan keimanan yang dapat menyirnakan keraguan dariku, dan merelakanku terhadap apa yang telah Kautentukan bagiku. Berikanlah pada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, lindungilah kami dari siksa api neraka yang membakar, dan anugerahkan padaku di malam ini untu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, merindukan-Mu, kembali kepada-Mu, bertaubat, taufik (untuk menggapai) apa yang (telah digapai oleh) Muhammad dan keluarga Muhammad dengan taufik-Mu.