Sejarah Permusuhan Arab Saudi Terhadap Iran 4
Hubungan Iran dan Arab Saudi memasuki era baru dengan kunjungan Amir Sultan bin Abdulaziz, menhan Arab Saudi pada awal bulan Mei 1999, ke Tehran. Dalam kunjungan itu, dia bertemu dan berdialog dengan sejumlah pejabat tinggi Republik Islam dalam kerangka kerjasama keamanan dan pertahanan, khususnya ketika bertemu dengan Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran. Pertemuan tersebut menyedot perhatian media massa.
Rahbar pada pertemuan itu menyeru pejabat Saudi tersebut untuk memperhatikan propaganda musuh umat Islam dalam menghalau kerjasama antarnegara Islam. Beliau juga menekankan pentingnya kerjasama berkesinambungan Iran dan Arab Saudi dalam mewujudkan solidaritas dan hubungan persahabatan antarpemerintah Islam. Ayatullah Khamenei menegaskan bahwa Iran senantiasa mengharapkan persatuan dan kerjasama dengan negara-negara Islam, sementara negara-negara besar seperti Iran dan Arab Saudi dapat bekerjasama menunaikan tugas besar ini.
Akan tetapi, Arab Saudi sekarang menilai Iran sebagai rival dan bahkan musuhnya di kawasan. Riyadh merasa sedang dikalahkan Iran di kancah persaingan regional. Dengan asumsi tersebut, Arab Saudi lantas melakukan segala cara untuk keluar dari konsisi tersebut. Arab Saudi. Ditambah lagi dengan langkah Amerika Serikat dan media massa Barat dengan kerjasama rezim Zionis berusaha mengesankan Iran sebagai ancaman untuk keamanan regional dan negara-negara tetangga Arabnya.
Terpengaruhi atmosfer agitatif rekayasa Barat terkait program nuklir Iran itu, Arab Saudi terjebak perangkap "kekhawatiran terhadap program nuklir Iran" yang didiktekan oleh Israel dan Barat. Pada tahap selanjutnya, Arab Saudi gencar mempropagandakan ancaman dari Iran. Akan tetapi sebenarnya siapa yang diuntungkan dari gejolak dan friksi antara Iran dan Arab Saudi ini?
Amerika Serikat pada tahun-tahun lalu mengemukakan prakarsa "Timur Tengah Raya" untuk melakukan perubahan terarah dan terkontrol di Timur Tengah. Prakarsa itu digulirkan pada 2003 dengan tujuan memperluas apa yang diklaim dengan proses reformasi politik dan ekonomi di kawasan. Prakarsa itu berpedoman pada perspektif Barat bahwa tidak adanya demokrasi dan kebebasan di Timur Tengah, akan menimbulkan ancaman keamanan untuk negara-negara lain di dunia khususnya Barat.
Berbagai transformasi pasca 11 September 2011, khususnya invasi Amerika Serikat ke Afghanistan dan Irak serta penggulingan Taliban dan rezim Baats, juga munculnya gelombang baru kebangkitan bangsa-bangsa Arab, merupakan di antara rangkaian peristiwa yang membuat kawasan Timur Tengah dengan cepat memasuki era baru intervensi Amerika Serikat.
Pada era baru itu, Arab Saudi yang merupakan pion utama yang dikendalikan Amerika Serikat serta condong ke rezim Zionis Israel, berniat mendongkrak posisi dan peran regionalnya. Pada prosesnya, terjadi perubahan kondisi politik di Bahrain, Suriah dan Yaman. Sementara Arab Saudi berupaya ingin mengendalikan transformasi regional sehingga menguntungkannya melalui intervensi langsung.
Pada tahun-tahun itu, Raja Arab Saudi cukup berhasil melewati masa sensitif tersebut dengan selamat, meski sempat membuatnya khawatir menyusul tumbangnya para diktator di kawasan. Berbagai transformasi seperti runtuhnya rezim Saddam sebagai salah satu musuh utama Republik Islam Iran, membuat Arab Saudi mengahdapi tantangan serius dengan munculnya persaingan di kawasan.
Perang 33, 22, delapan dan 51 hari pada tahun 2006, 2008, 2012 dan 2014, termasuk di antara sederet peristiwa lain yang merontokkan posisi dan pengaruh regional Arab Saudi. Sementara di sisi, pengaruh dan peran Republik Islam Iran sebagai pemain independen dalam transformasi regional meningkat.
Tentunya Arab Saudi memiliki banyak alasan untuk khawatir. Termasuk di antara kekhawatiran utama Arab Saudi adalah meluasnya gelombang kebangkitan Islam di kawasan yang oleh Barat disebut-sebut dengan nama "Musim Semi Arab". Perkembangan tersebut mengguncang pilar-pilar rezim monarki Arab Saudi. Oleh karena itu, para pejabat Arab Saudi, tergesa-gesa dan akhirnya mengambil berbagai langkah keliru yang justru merugikannya.
Di sektor ekonomi, Arab Saudi memulai perang ekonomi dengan membanting harga minyak sehingga Riyadh sendiri saat ini menghadapi defisit bujet yang pada akhirnya mendorong banyak ketidakpuasan di dalam negeri. Dampak dari langkah itu menurut para pengamat tidak dapat diprediksi bagi Riyadh. Di kancah krisis regional, Arab Saudi juga sedang terjebak politik tergesa-gesanyadi Yaman, Suriah dan juga Bahrain. Karena pada akhirnya api perang itu akan membakar Saudi.
Para pengamat berpendapat bahwa Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz, terlalu lemah dan tidak berdaya untuk mengontrol petualangan gila para pejabat muda yang baru berkuasa di Riyadh. Dampak akibat eksekusi mati Syeikh Nimr Baqir Al-Nimr di saat pemikiran radikal di dalam tubuh penguasa rezim Al-Saud telah mencapai puncaknya, dan juga tragedi getir di Mina akibat ketidakbecusan para pejabat haji Arab Saudi yang menelan lebih dari 5,000 nyawa, semuanya menunjukkan bahwa Arab Saudi sedang melalui jalan menukik yang tajam.
Pada hakikatnya pengelola semua peristiwa tersebut adalah putra raja, Pengeran Muhammad bin Salman, Menteri Arab Saudi saat ini. Sementara, instruksi Raja Salman untuk melaksanakna berbagai vonis pincang eksekusi di negara itu semakin merapuhkan posisinya di dalam negeri.
Koran Financial Times dalam laporannya menulis, hari-hari kelam dan mengkhawatirkan sedang menanti orang-orang Saudi. Arab Saudi saat ini tercantum di barisan terakhir dalam list yang dirilis LSM Freedom House dalam hal kebebasan sipil dan hak-hak politik. Telah banyak lembaga-lembaga HAM yang pada tahun 2015 merilis laporan mengecam peradilan pincang, lama masa penjara tidak masuk akal dan vonis mati terhadap para aktivis politik dan HAM oleh rezim Al-Saud.
Majalah Toronto Star terbitan Kanada dalam laporannya menulis, "Rezim Saudi dengan mengeksekusi Syeikh Nimr, hanya semakin menyingkap titik kelemahannya dan langkah tersebut justru membuktikan kelemahannya daripada kekuatannya."
Laporan yang dirilis beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa Qorvis/MSL Group adalah salah satu perusahaan penerima dana terbesar Arab Saudi untuk propaganda pencitraan Arab Saudi di kawasan. Perusahaan tersebut setiap bulannya menerima 240 ribu dolar dari Arab Saudi untuk proyek pencitraan positif rezim Arab Saudi. Perusahaan yang sama juga diberi mandat untuk mendongkrak citra Arab Saudi dalam berbagai program pemberantasan terorisme, perwujudan perdaimaian di Timur Tengah dan lain-lain. Setiap tahunnya, Arab Saudi mengeluarkan jutaan dolar untuk perusahaan-perusahaan yang aktif di sektor humas di Amerika Serikat, untuk proyek pencitraan.
Sikap ini menunjukkan betapa para pejabar Arab Saudi telah menempuh jalan menyimpang untuk menutupi seluruh kegagalan dan kekeliruannya. Hal itu dilanjutkan Saudi dengan memutus hubungan diplomatik dengan Iran dan bahkan mendesak negara-negara lain untuk mengambil langkah yang sama. Melalui cara itu, Riyadh ingin menyudutkan dan mengucilkan Iran.
Kondisi tersebut mungkin sangat menguntungkan Arab Saudi dalam jangka pendek, akan tetapi akan sangat merugikan Riyadh, mengingat mereka sedang mengoyak dunia Islam. Sulit untuk memungkiri fakta bahwa politik Arab Saudi penuh dengan kontradiksi dan jauh dari prinsip dan kesantunan internasional. Dipastikan Riyadh sendiri yang akan menjadi korban politiknya.
Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif beberapa waktu lalu, dalam suratnya yang dilayangkan kepada Sekjen PBB, Ban Ki-moon menegaskan, "Tampaknya beberapa orang di Arab Saudi berniat menyeret seluruh kawasan ke jurang konflik." Zarif menegaskan bahwa Iran sama sekali tidak ingin terlibat dalam friksi regional dan berharap Arab Saudi menempuh jalan rasional. Menurutnya, Arab Saudi bisa saja melanjutkan dukungan terhadap para teroris dan menebar kebencian sektarian, atau dapat menempuh jalur kerukunan bertetangga dan memainkan peran konstruktir dalam membangun keamanan regional.