Transformasi Irak dari 2019 hingga 2020
Satu tahun pasca aksi demo Oktober 2019, Irak dari sisi sosial dan politik mencicipi kondisi baru, sementara di sektor ekonomi, kondisi negara ini semakin terpuruk.
Irak September 2018 dilanda demo besar-besaran warga Basra dan pembakaran gedung konsulat Republik Islam Iran di kota ini. Sementara Oktober 2019, negara ini menyaksikan aksi demo besar-besaran rakyat anti pemerintah Adel Abdul Mahdi yang berujung pada ratusan warga tewas dan terluka. Pada November 2019, Irak juga menyaksikan aksi kekerasan luas di kota Najaf, tepatnya pembakaran gedung konsulat Iran di kota ini. Meski Basra di musim panas 2020 juga dilanda demonstrasi, namun tingkat kekerasan di aksi ini tidak dapat dibandingkan dengan tahun sebelumnya atau tahun 2018. Di bulan Oktober 2020, Irak juga mengalami instabilitas akibat aksi demo warga.
Kini pertanyaannya adalah, mengapa Irak dari sisi sosial berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya?
Dalam hal ini, beberapa faktor khusus harus diperhatikan. Faktor pertama tampaknya terkait dengan kepentingan politik aktor asing dan beberapa arus internal di Irak. Protes September 2018 terjadi ketika Irak melewati periode pasca Mei 2018 dan kelompok politik berkonsultasi untuk mencalonkan perdana menteri baru. Sebagian pihak di analisis mereka menyebut Iran sebagai penghalang untuk memperkenalkan perdana menteri baru dan mencoba menghasut opini publik terhadap Republik Islam Iran melalui pembakaran konsulat negara ini di Basra. Dengan demikian, kepentingan politik beberapa aktor asing dan sejumlah arus domestik diraih melalui menciptakan kekacauan.
Kondisi tersebut juga terlihat pada demonstrasi 2019 di Irak. Demonstrasi tahun 2019 dilaksanakan dalam dua periode sebelum dan sesudah Arbain. Tujuan utama demonstrasi sebelum Arbain adalah untuk mempengaruhi acara keagamaan yang besar ini. Sebenarnya, tujuannya adalah untuk membuat Irak terlihat tidak aman dan mencegah pawai jutaan orang di acara Arbain. Tahun ini pawai Arbain tidak digelar mengingat penyebaran wabah Corona di Irak dan perbatasan negara ini ditutup, sehingga peziarah asing tidak dapat masuk ke Irak. Secara praktis tertutup potensi manuver Republik Islam Iran dan kelompok yang dekat dengan Tehran di pawai Arbain.
Faktor lain mengenai situasi yang berbeda di Irak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya adalah identitas pemerintah Irak saat ini. Adel Abdul Mahdi bukanlah perdana menteri yang disukai di beberapa negara Arab dan kekuatan Barat, terutama Amerika Serikat. Tuntutan rakyat Irak di bidang mata pencaharian dan masyarakat memang nyata, namun protes berubah menjadi aksi kekerasan jalanan dengan tujuan menggulingkan pemerintahan Abdul Mahdi. Salah satu tanda bahwa demonstrasi tahun lalu memiliki tujuan dan terorganisir adalah pembuatan tagar " العراق ینتفض", yang berarti "Irak yang Bangkit", di jejaring sosial. Analisis menunjukkan bahwa 79 persen dari tweet tagar tersebut berasal dari dalam Arab Saudi melalui robot.
Sekarang ada seorang perdana menteri dan pemerintahan di Irak yang sangat berbeda identitasnya dengan pemerintahan Abdul Mahdi. Mustafa al-Kadhimi berusaha untuk tidak bentrok dengan kelompok perlawanan Irak, tetapi dalam praktiknya dia memiliki sudut pandang dengan kelompok-kelompok ini dan menjadikan perlucutan senjata sebagai salah satu prioritasnya.
Al-Kadhimi, sementara itu, mendorong penarikan pasukan AS dari Irak dalam kebijakan deklarasinya, tetapi dia tidak terlalu memperhatikan masalah ini dalam kebijakannya, dan dia menggunakannya sebagian besar untuk tujuan pemilihannya, yang dijadwalkan untuk tahun depan. Mengenai masalah normalisasi hubungan antara beberapa negara Arab dan rezim Israel, Mustafa al-Kadhimi mengatakan tanpa mendukung masalah Palestina bahwa normalisasi adalah masalah internal negara lain dan tidak ada hubungannya dengan Irak. Sikap ini mencegah aktor asing dan arus domestik di Irak untuk mencoba menggelar demonstrasi dan menggulingkan pemerintah Al-Kadhimi.
Secara politik, Irak telah mengalami peningkatan polarisasi dan sektarianisme selama setahun terakhir. "Setelah penggulingan Adel Abdul-Mahdi, panggung politik Irak menyaksikan ketidakstabilan selama berbulan-bulan, dan setelah periode kebuntuan politik, Mustafa al-Kazemi akhirnya diterima sebagai perdana menteri baru oleh berbagai kelompok politik dan agama. Kehadiran Al-Kadhimi, meski awalnya merupakan harapan untuk perbaikan situasi di Irak, seiring waktu menjadi jelas bahwa pencapaian praktisnya sangat kecil," tulis AFP dalam sebuah laporan tentang peringatan satu tahun protes Oktober.
Mustafa al-Kadhimi, Perdana Menteri sementara Irak, tampaknya sedang mempersiapkan persaingan pemilihan yang serius. "Beberapa anggota parlemen dan anggota partai saingan mengatakan bahwa penasihat perdana menteri sedang mencari kandidat untuk pemilu 2021, kandidat yang bisa menemaninya dalam masa jabatan barunya sebagai perdana menteri," lapor AFP.
Sementara itu, kelompok politik Irak lainnya, terutama mereka yang dipaksa memilih Mustafa al-Kadhimi sebagai perdana menteri, secara serius mempertimbangkan pemilihan parlemen tahun depan, yang telah menyebabkan peningkatan sektarianisme dan polarisasi politik di Irak selama setahun terakhir.
Penting untuk dicatat bahwa al-Kadhimi akan mengikuti pemilu pada Juni 2021 dalam situasi di mana status undang-undang pemilu Irak masih belum diketahui. Parlemen Irak mengesahkan undang-undang pemilu baru pada Desember 2019, tetapi belum jelas apakah individu akan mencalonkan diri dalam pemilu secara mandiri atau apakah daftar tersebut akan terus bersaing dalam partai dan kelompok politik seperti sebelumnya untuk mencalonkan diri di parlemen Irak.
Akar awal protes Oktober 2019 di Irak adalah masalah ekonomi, terutama peningkatan kemiskinan dan pengangguran. Ketika Mustafa al-Kadhimi naik ke tampuk kekuasaan, dia berjanji untuk menarik Irak keluar dari krisis keuangan yang parah yang dihadapi negara ini. Al-Kadhimi mengatakan pundi-pundi pemerintah hampir kosong setelah bertahun-tahun menghabiskan banyak uang dan jatuhnya harga minyak di pasar dunia.
Setelah satu tahun dari demonstrasi Oktober, dan sekitar enam bulan dari jabatan Mustafa al-Kadhimi, kondisi ekonomi rakyat Irak belum juga mengalami perbaikan. Bank Dunia dilaporannya menyabutkan, angka kemiskinan di Irak tahun ini berpotensi dua kali lipat dan mencapai 40 persen. Sekaitan dengan ini, angka pengangguran pemuda saat ini mencapai 36 persen dan diprediksikan akan semakin meningkat.
Keberuntungan menurut ilmu politik juga sangat penting. Al-Kadhimi selain seperti Adel Abdul Mahdi, menyaksikan anjloknya harga minyak, juga disibukkan dengan pandemi Corona. Minyak merupakan pendapatan utama Irak. Pendemo COVID-19 juga berdampak besar pada peningkatan pengangguran dan kemiskinan di Irak, karena dampak dari virus ini adalah penutupan banyak lapangan kerja.