Tsunami Selat Sunda dan Pentingnya Perbaikan Peralatan EWS
(last modified Tue, 25 Dec 2018 04:35:48 GMT )
Des 25, 2018 11:35 Asia/Jakarta
  • Ombak laut.
    Ombak laut.

Korban tewas akibat tsunami Selat Sunda yang melanda Banten dan Lampung berjumlah 373 orang. Selain itu, ada 1.459 orang yang mengalami luka-luka.

"Data sementara dampak bencana tsunami yang menerjang pantai di Selat Sunda hingga Senin (24/12/2018) pukul 17.00 WIB, tercatat 373 orang meninggal dunia, 1.459 orang luka-luka, 128 orang hilang, dan 5.665 orang mengungsi," kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho kepada wartawan, Senin (24/12/2018).

 

Kemudian, ada juga kerugian fisik akibat tsunami yang meliputi 681 unit rumah rusak, 69 unit hotel dan vila rusak, serta 420 unit perahu dan kapal rusak. Dia mengatakan saat ini tim gabungan terus melakukan penyisiran dan evakuasi terhadap korban.

 

"Tim SAR gabungan terus melakukan penyisiran, evakuasi, pencarian dan penyelamatan korban bencana tsunami di sepanjang daerah terdampak landaan tsunami di Selat Sunda. Beberapa daerah yang sebelumnya sulit dijangkau karena akses jalan rusak dan tertutup oleh material hanyutan tsunami, sebagian sudah dapat jangkau petugas beserta kendaraan dan alat berat," tuturnya.

 

Sutopo menyatakan penanganan darurat terus dilanjutkan dengan fokus pada evakuasi, pencarian, dan penyelamatan korban, hingga perbaikan sarana dan prasarana umum. Menurutnya, saat ini kondisi listrik masih padam sebagian dan sedang dalam pemulihan oleh petugas PLN.

 

Tanpa ada peringatan dini, tsunami menerjang pesisir barat pulau Jawa dan pesisir Lampung. Sistem peringatan dini tsunami yang hanya memantau gelombang laut hasil gempa tektonik tak dapat mendeteksi fenomena ini. Pelajaran harus dipetik. Jangan sampai kejadian serupa terulang.

 

Informasi soal tsunami yang terjadi pada Sabtu malam, 22 Desember 2018 ini sempat simpang siur. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) awalnya mencuit lewat Twitter resminya bahwa gelombang air di Pantai Anyer bukan tsunami, hanyalah air pasang. Tapi kemudian diralat bahwa memang terjadi tsunami.

 

Minggu dini hari, BMKG melakukan jumpa pers mengklarifikasi kesimpangsiuran yang ada bahwa Pantai Anyer dan Lampung Selatan terkonfirmasi bencana tsunami. Tapi saat itu BMKG perlu memastikan lagi karena tsunami terjadi malam hari sehingga kesulitan melakukan penelitian karena kondisi gelap.

Ketika itu BMKG juga masih menduga tsunami terjadi karena longsoran dari erupsi Gunung Anak Krakatau. Disampaikan dalam konferensi pers itu, kebenaran akan penyebab tsunami itu harus diteliti ulang.

 

"Sebetulnya tsunami dipastikan akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau. Lebih detil apakah karena longsoran perlu nanti diteliti lebih lanjut. Namun ini dipastikan tsunami di Banten dan Lampung akibat aktivitas Anak Gunung Krakatau," kata Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono di Kantor BMKG, Jakarta Pusat, Minggu (23/12/2018)

 

Pada Senin (24/12/2018) siang, BMKG menggelar jumpa pers lagi. Dwikorita kini menjabarkan lebih rinci awal mula penyebab tsunami. Kali ini dia lebih yakin, tsunami di Selat Sunda diakibatkan oleh longsoran dari erupsi Gunung Anak Krakatau.

 

"Kolaps kepundan (kawah) ini lah yang akhirnya mengakibatkan longsor bawah laut dan akhirnya menimbulkan tsunami. Jadi tsunami ini memang ada kaitannya dengan erupsi Gunung Anak Krakatau," kata Dwikorita dalam jumpa persnya, Senin (24/12/2018) siang tadi.

 

Dwikorita menuturkan tsunami terjadi 24 menit setelah longsor terjadi. Dari hasil penelitian BMKG, penyebab awal tsunami terjadi karena longsoran di kawah Gunung Anak Krakatau seluas 64 hektare.

"Longsoran bawah laut ini dianalisis setara dengan kekuatan guncangan dengan magnitudo 3,4 dan epicenternya ada di Gunung Anak Krakatau," jelasnya.

 

BMKG mengakui tak mendapatkan soal informasi terkait adanya bencana tsunammi akibat gempa vulkanik Gunung Anak Krakatau. Dwikorita mengatakan BMKG tak memiliki data langsung yang menangkap adanya gempa vulkanik. BMKG hanya bisa memberi peringatan tsunami akibat gempa tektonik saja.

 

"Jadi BMKG memantau khusus gempa tektonik. Karena lebih dari 90 persen kejadian tsunami di Indonesia diakibatkan gempa tektonik, dengan informasi gempa tektonik, kami bisa berikan peringatan dini, maksimal 5 menit setelah gempa apakah berpotensi tsunami apa tidak. Tetapi sekali lagi peristiwa kemarin itu bukan karena gempa tektonik, sehingga informasi itu kami tidak ada akses. Data itu tidak ada di BMKG, tapi ada di kantor lain sehingga itulah yang terjadi," jelas Dwikorita.

 

Untuk diketahui, tugas BMKG adalah melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara dan Geofisika sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Merujuk pada UU 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, disebutkan bahwa pemerintah melalui badan yang menangani meteorologi, klimatologi dan geofisika bertanggung jawab untuk memberikan peringatan dini tsunami.

Presiden RI Joko Widodo memantai penanganan korban tsunami di Selat Sunda.

Sistem Peringatan Dini Harus Dibenahi

 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri meminta peristiwa tsunami ini dijadikan tonggak perbaikan. Dia memerintahkan BMKG untuk membeli alat-alat deteksi early warning system atau alat peringatan dini tsunami, khususnya untuk wilayah Selat Sunda.

 

"Kita telah melihat di lapangan dan tsunami di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan di tempat ini (Carita, Banten), dan juga di Lampung Selatan ini betul-betul di luar perkiraan dari BMKG. Karena sebelumnya biasanya itu ada gempa terlebih dahulu sehingga memang kita melihat kesiapan masyarakat, kesiapan yang baru berliburan, baik di Pantai Carita ini, juga di Pantai di Labuan, di Tanjung Lesung, di Sumur, dan tidak memiliki untuk kesiapan untuk menghindar," kata Jokowi di Hotel Mutiara Carita, Banten.

 

"Ke depan saya perintahkan BMKG untuk membeli alat-alat deteksi early warning system yang bisa memberikan peringatan-peringatan dini kepada kita semua, kepada masyarakat, sehingga masyarakat bisa (waspada)," kata Jokowi.

 

Senada dengan Jokowi, Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta BMKG dan BNPB untuk segera melengkapi dan memperbaiki alat pendeteksi bencana atau early warning system (EWS). Hal ini dilakukannya, guna mencegah banyaknya korban jiwa jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam seperti di Perairan Selat Sunda.

"Mendorong BMKG dan BNPB untuk segera melengkapi dan memperbaiki peralatan early warning system (EWS) untuk mencegah jatuhnya korban jiwa, apabila terjadi kembali bencana alam seperti longsor, banjir, gempa bumi, maupun tsunami, mengingat waktu peringatan dini merupakan aspek yang paling penting dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat sehingga dapat meminimalisir terjadinya korban jiwa dan materi, serta mengajak masyarakat untuk bersama-sama merawat peralatan EWS," ujar Bamsoet dalam keterangan tertulis. (Detik)